Featured Slider

Aroma Karsa, Karya Wangi Dee Lestari yang Menegangkan

Awal membaca buku ini, yang terpikir olehku adalah Raras sebagai tokoh utama. Entah, aku suka nama Raras. Dan pada suatu saat berharap menyematkan nama itu sebagai salah satu nama tokohku. Tapi ternyata bukan. Peristiwanya maju bertahun kemudian. Yang tampil adalah anak Raras, Suma, yang memiliki ketajaman penciuman yang tak biasa. Kemampuan yang menjadi muasal segala obsesi Raras. Bersama Jati, sosok yang dikenal dengan julukan si hidung tikus, Suma bertualang mencari jawaban atas satu kisah yang didengarnya sedari kecil, yaitu Puspa Karsa. Aroma Karsa, menjadi buku ketiga Dee Lestari yang kubaca. Baru sadar, ternyata kok nggak banyak, ya? Padahal Dee sudah menelurkan belasan karya. 


Baca juga: Perjalanan Menuliskan Fragmen 9 Perempuan

Aroma Karsa kudapatkan dari seorang kawan medsos. Sebagai kado ulang tahun kesetengah abad. Senang sekali, karena sudah lama mengangankan bisa baca buku ini. Maka demikianlah, akhirnya terbaca. Awalnya merasa lambat alurnya. Entah karena hari itu terlalu lelah. Hanya sanggup membaca 20 halaman. Sisanya ternyata tak tertahankan, ngebut. Tuntas dalam dua hari kemudian. 


Sinopsis

Cerita diawali dengan pertemuan Raras Prayagung dengan eyangnya, Eyang Janirah, yang sedang berada di ujung usia. Raras punya hubungan dekat dengan neneknya, mantan abdi dalam keraton yang berhasil menjadi bagian keluarga dan sukses sebagai pengusaha karena kecerdasan dan kegigihannya. Dalam pertumbuhannya sejak kecil hingga remaja di lingkungan istana keraton, ia menemukan rahasia tentang Puspa Karsa. Sebuah rahasia yang menjadi awal kesuksesannya. Rahasia yang masih menyimpan rahasianya yang lain. Itulah salah satu cerita yang kerap dituturkan oleh Eyang Janirah kepada Raras. Cerita paling menarik dan menyita perhatiannya dibandingkan cerita lain yang dibagikan sang eyang.

Akhirnya harinya tiba. Eyang Janirah berpulang. Raras segera mengambil alih semuanya. Tanggung jawab dan rencana dari mimpi-mimpi Eyang Janirah yang belum terwujud.

Baca juga: Mengenal Vincent van Gogh melalui Novel Lust for Life

Upaya perburuan Raras menemukan titik terang saat muncul satu sosok pencuri. Adalah Jati Wesi yang salah satu pekerjaannya meracik parfum di sebuah toko parfum kecil, Attarwalla. Rupanya ia meracik aroma yang adalah milik perusahaan Raras. Sebuah kesialan. Dari sekian ujicoba Jati, kenapa justru racikan itu yang terlacak.

Mendapati potensi Jati, Raras meminta pemuda itu bekerja padanya. Bukan pekerjaan biasa, bahkan ia meminta Jati untuk tinggal di rumahnya. Usut punya usut, Raras punya rencana terhadap Jati berkaitan dengan perburuan Puspa Karsa. Konflik pun muncul. Tanaya Suma, anak semata wayang Raras tak bisa terima. Selama ini Suma berpikir bahwa dialah yang punya hak melakukan perburuan terhadap bunga yang menjadi legenda sekaligus mitos tersebut. 

Menyadari adanya konflik dan sikap permusuhan dari Suma, Raras bukannya surut, malah semakin mengistimewakan Jati. Di sisi lain, kemarahan Suma terhadap Jati yang makin meruncing melahirkan keingintahuan besar pada diri gadis itu yang kemudian dengan diam-diam menacri tahu latar belakang kehidupan Jati. 

Dalam perjalanannya, banyak hal tak terduga terjadi. Satu per satu misteri dan rahasia terbongkar. Sekian peristiwa yang dialami Jati beserta kebetulan-kebetulan yang mengikutinya, menjadikan Jati lambat laun menyadari bahwa dirinya bukanlah sosok ia kira selama ini. Tidk ada yang kebetulan. Semuanya sudah dirancang, meski faktanya belum benderang. Hingga waktu melakukan ekspedisi Puspa Karsa tiba. Ekspedisi yang awalnya terasa mustahil akhirnya dapat terlaksana namun dengan sejumlah perubahan yang signifikan. Termasuk Suma yang akhirnya menemukan rahasia gelap Raras, ibu angkatnya itu. 

Lebih lengkapnya, baca sendiri saja, ya. Tidak seru kalau dicertakan lebih detail. Yang pasti, novel ini berujung koma. 

Baca juga: Book Sleeve, Pembaca Buku Wajib Punya


Aroma Karsa, Bukti Dee Lestari sebagai Periset yang Handal

Bisa dibilang aku bukan pembaca Dee, meski saat baca pertama karyanya aku mendaku diri punya kecenderungan menulis gaya dia. Tapi tak pernah mempelajari gaya penulisannya dengan serius. Itu pun sudah lupa detailnya karena sudah terlalu lama. tahun 2001 atau 2002, ya?

Membaca lagi karya Dee, buku yang diterbitkannya pada 2018 ini hal yang dengan jernih terbaca adalah kerja keras Dee dalam risetnya. Kubayangkan ia mengubek-ubek sejumlah hal sekaligus. Mulai dari metode pembuatan parfum hingga metode mencari jejak sejarah. Aku belum pernah baca tuturan Dee soal proses penulisan buku ini. Tapi aku yakin, cerita Bantar Gebang bukan semata ia peroleh dari referensi. Ia pasti pernah datang langsung ke lokasi dan mendapatkan suasana yang akan ia bangun dalam novel. Membayangkan tumpukan sampah menggunung di TPA yang pernah menewaskan banyak manusia itu sudah membuatku mual, apalagi mesti berada di lokasi. Kurasa itulah yang menjadikan tulisan di soal latar belakang Jati Wesi di Bantang Gebang terasa begitu nyata. 

Riset Dee soal Gunung Lawu juga menarik. Ada hal-hal mistis yang juga dikembangkan Dee dalam ceritanya. Aku pernah menyimak cerita soal manusia immortal yang tinggal di Gunung Lawu. Bukan hal yang mudah untuk dibuktikan. Tapi ketika itu dituangkan dalam cerita fiksi, jadilah bebas dan sangat menggoda buatku. 

Baca juga: Perempuan-Perempuan dalam Karya PAT

Penjabaran Dee untuk tiap tokohnya juga sangat matang. Masing-masing tokoh utama tertampilkan dengan baik. Penuturannya untuk masing-masing karakter membuatku terseret dan berasa langsung berhadapan dengan tokoh-tokoh lengap dengan keunikannya masing-masing.

Menuliskan ulang sedikit hal yang kutangkap saat membaca Aroma Karsa, menyadarkanku kalau Dee menulis dengan sangat keren. Dan hasilnya adalah buku yang keren. Kubayangkan jika novel Indonesia karya Dee ini dijadikan film, bakal keren. Tentu saja jika digarap oleh penulis skenario yang tepat, sutradara yang mumpuni, dan komponen pendukunga yang lainnya. Langsung terbayangkan bagaimana suasana mencekam di dalam hutan terlarang yang hanya diketahui oleh mereka yang diinginkan untuk datang.   

Aroma Karsa akan jadi buku referensiku kalau suatu kali menulis kisah petualangan. Kapan? Nantiiiiiii... tunggu, ya hehe. Terima kasih banyak untuk Eka Situmorang yang telah menghadiahkan buku yang dilengkapi dengan tanda tangan Dee ini buatku. Aku masih akan membacanya beberapa kali lagi.


Judul: Aroma Karsa

Penulis: Dee Lestari

Penerbit: PT Bentang Pustaka

Terbit: Maret 2018 (cetakan pertama) 

Tebal: 696 halaman


Baca juga: FSP di Kajian Jumaahan dan Majelis Sastra Bandung




Body Process, Sebuah Upaya Membebaskan Diri dari Depresi

Baru-baru ini aku belajar Body Process (BP). Apa itu body process? Nanti kita bahas, ya. Mungkin secara khusus BP tak cukup banyak. Namun ada referensi lain yang bisa dibagikan terkait Access Conciousness sebagai pencetus metode ini. Yang pasti ini merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dengan membebaskan diri dari persoalan kesehatan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, stres, gangguan makan/tidur, Obsessive-Compulsive Disorder (OCD), gangguan emosional akibat trauma, dll. Syukur-syukur jika nantinya bisa memberikan kontribusi bagi orang lain.

Baca juga: Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup Lebih Baik

Kapan hari secara random sedikit ngobrol dengan kenalan di satu media sosial. Membahas soal depresi. Pertanyaanku: dalam kondisi apa seseorang bisa menyebut diri sebagai depression survivor? jawab si kawan: semua yang berhasil bertahan hidup dari depresi boleh menyebut diri survivor, kok. Aku tak ingin memperpanjang dengan mencari tahu soal istilah ini. Hanya mencoba menggarisbawahi --setidaknya dari pengalaman orang yang kutanya baik pengalaman dirinya sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya, bahwa setiap orang pernah mengalami depresi. Kadarnya saja yang mungkin berbeda. Pun cara penanganannya. 


Mari Kenali Kondisi Kejiwaan Diri

Minggu lalu aku mendapat kunjungan keponakan. Generasi Z. Konon ia sedang mengalami stres yang berdampak pada pengerjaan skripsi yang tak tuntas-tuntas. Atau skripsinya yang membuat ia stres. Itu informasi awalnya. Tak ingin membahas si keponakan secara khusus. Sekadar memberikan gambaran bahwa gangguan kesehatan mental begitu mudah kita temukan di sekitar kita. Bahkan kita sendiri bisa jadi belum terbebas dari permasalahan tersebut. 

Mengacu pada istilah yang dikeluarkan World Health Organization (WHO), kesehatan mental diartikan sebagai kondisi kesejahteraan mental yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi tekanan dalam hidup, mengekspresikan kemampuannya, belajar dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, mereka yang mengalami gangguan mental berpengaruh terhadap kondisi emosi, pikiran, dan perilaku mereka. 

Masalah mental bukanlah hal yang remeh-temeh dan bisa dipandang sebelah mata. Terlebih jika gangguan yang lebih serius terjadi secara terus menerus. Selain membuat penderitanya merasa tidak bahagia juga mengakibatkan produktivitas terganggu. Perlu segera dicari solusi agar bisa lebih berdamai dengan diri sendiri dan keadaan, sehingga dimampukan untuk melakoni kehidupan dengan lebih sehat. 

Buatku, solusi pertama adalah menyadari dan mengakui jika diri punya masalah dengan mental. Setelahnya, barulah menemukan solusi berikutnya.

Baca juga: Doa, Meditasi, dan Vibrasi Energi

Ada banyak metode yang disarankan untuk mengatasi aneka gangguan mental, mulai dari hal-hal sederhana yang bisa dilakukan sendiri maupun dengan bantuan profesional.  

Pertama: jaga kesehatan fisik. Kita mencatat pemeo lama yang menyebutkan bahwa dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. 

Kesehatan fisik dapat dimulai dari apa yang masuk ke tubuh kita. Pilih makanan dengan gizi seimbang. Hindari konsumsi makanan dan minuman olahan, yang sebagian besarnya sangat royal dengan gula dan natrium yang tak bermanfaat bagi kesehatan jika dikonsumsi secara berlebihan. Konsumsi alkohon juga sebaiknya dikurangi atau dihindari. Jadwal makan juga disarankan untuk diperhatikan, agar tak mengalami masalah dengan lambung. Stres dan gangguan lambung sering kali berjalan beriringan. Bagi para perokok, perlu dipertimbangkan juga untuk menghentikan kegemarannya tersebut.

Fisik yang terjaga juga dipupuk lewat latihan. Olahraga. Aktivitas fisik ini dapat menghasilkan endorfin, senyawa kimia dalam otak yang punya peran memunculkan rasa gembira, meningkatkan mood, mengurangi stres. Jika dilakukan secara teraktur dapat meningkatkan kualitas tidur. Bagaimanapun tidur yang nyenyak memberikan pengaruh signifikan terhadap keseimbangan kimia di otak, sehingga membantu menjaga kesehatan mental. Olahraga apa yang tepat, bisa didiskusikan dengan dokternya jika sudah memiliki gangguan kesehatan. Atau bisa dibicarakan dengan pelatihnya. 

Aku sendiri memulainya dengan berjalan kaki, minimal 5000 langkah sehari. Dan itu sudah sangat membantu. 

Kedua: melakukan meditasi dan mngembangkan keterampilan koping

Meditasi merupakan salah satu yang banyak disarankan sebagai solusi mengatasi persoalan gangguan mental seperti stres, cemas, depresi, dan gangguan lainnya. Saat bermeditasi, kita diminta untuk berfokus pada pernapasan. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri, untuk menikmati masa "kini" dan tidak membiarkan pikiran berkelana. Apalagi pikiran-pikiran yang mengganggu dan menjadi pencetus masalah mental. 

Sedangkan keterampilan koping adalah kemampuan dalam membuat strategi dalam mengelola emosi, mengubah pola pikir, memanfaatkan atau mengatur waktu dengan tepat, dll. Ketreampilan ini dibutuhkan dalam menghadapi tantangan dan tekanan hidup yang berpotensi memberikan dampak terhadap kesehatan mental.

Belakangan ada metode baru yang mulai banyak dipakai, yakni Metode Sedona atau Sedona Methode. Selain membantu mengatasi aneka gangguan mental, metode ini juga mengarahkan kita untuk mendapatkan apa yang menjadi manifestasi kita dengan law of attraction. Salah satu hal yang --menurutku-- cukup signifikan memunculkan masalah gangguan mental ini adalah ketidaksesuaian antara ekspektasi dan kenyataan. Cukup penting untuk tak sekadar berekspekstasi namun juga melakukan praktik manifestasi. 

Ketiga: menyerahkannya kepada profesional. Dalam hal ini bisa berkonsultasi kepada psikolog atau psikiater jika membutuhkan pengobatan. Atau terapi alternatif yang lainnya, seperti hipnoterapi. Aku sendiri pernah melakukan ketiga-tiganya. 

Terapi psikologis penting dilakukan jika kita tak mampu menemukan masalah kita sendiri. Mereka yang profesional di bidang ini memiliki metodologi dalam menggali informasi yang mereka butuhkan. Dengan cara itu mereka akan melakukan identifikasi persoalan dan menentukan strategi dalam menghadapi atau mengatasinya. 

Baca juga: Hidup Sehat dengan Reiki


Mengenal Body Process (BP)

Persisnya adalah Access Body Process karena metode ini dikembangkan oleh Access Consciousness. Tetapi untuk memudahkan kita singkat BP saja. Access Consciousness sendiri adalah gerakan New Age pseudoscientific yang didirikan oleh Gary Douglas pada 1995 di Santa Barbara, California. 

BP merupakan teknik penyembuhan dengan pendekatan yang unik. Titik berangkatnya adalah tubuh. Tujuannya adalah mengaktifkan kemampuan alami tubuh dalam memulihkan diri sendiri. Karena tubuh kita menyimpan banyak potensi. Selain mampu menyembuhkan dirinya sendiri, tubuh pun dapat kita ajak kerja sama dengan menyampaikan permintaan. Tekniknya adalah dengan menggunakan sentuhan ringan pada tubuh dengan permintaan melepaskan energi yang terjebak. Bukan hanya pada aspek fisik, melainkan juga aspek emosional dan mental. Dengan BP, kita tak hanya merawat dan memelihara tubuh kita, namun juga memberikan ruang kepada tubuh untuk hidup lebih berdaya dan bebas dari batasan. 

Sebelum BP, ada metode lain dari Access Consciousness yang lebih dulu dikenal, yakni Access Bars (AB). Ini merupakan salah satu metode yang belakangan banyak dimanfaatkan dalam menangani depresi. Metode terapinya dengan memberikan sentuhan di 32 titik di kepala. Melalui sentuhan itu, tubuh akan melepaskan pikiran, perasaan, dan emosi yang mengganggu. Dengan begitu, terlepaslah trauma, redalah stres, pergilah depresi. Tentu saja tak mudah, terlebih untuk persoalan yang sudah berkarat. Barangkali dibutuhkan proses yang lama dan berulang.  

Prinsip yang mendasari teknik, baik pada BP maupun AB sama, yakni meng-unlock segala yang selama ini tersembunyi, terpendam, tertutupi, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak, bahkan hal-hal yang bisa jadi sebetulnya tak dimaui oleh tubuh. Misalnya nilai-nilai tertentu yang ditanamkan oleh keluarga dan lingkungan yang sebetulnya tak sejalan dengan pemikiran kita sendiri. 

Baca juga: Apakah Kita Boleh Marah?

Baik praktisi AB maupun BP tidak menyalurkan energi kepada klien. Klien juga tidak perlu menceritakan apa yang menjadi persoalannya. Tubuh klien yang akan memulihkan dirinya sendiri. Para praktisi hanya menjalankan fungsi sebagai mediator, sama sekali tidak ada upaya mempengaruhi klien. Urusan klien sendiri jika tubuhnya memutuskan untuk tidak melepaskan beban dalam dirinya. Praktisi memberikan ruang bagi tubuh untuk membuat pilihan.

Dalam tata laksana terapi dengan metode AB, klien akan diminta untuk berbaring secara rileks. Berikutnya praktisi akan melakukan sentuhan di 32 titik di kepala. Sedangkan pada BP, praktisi hanya meletakkan dua telapak tangan di dua lokasi. Ini untuk BP yang pernah kupelajari. Ada banyak titik lain dengan peruntukannya masing-masing. Durasi terapi bervariasi, kisaran 30-60 menit. Namun bisa jadi lebih cepat jika tubuh memberi isyarat untuk berhenti, dan sebaliknya isyarat untuk lanjut. 

Bagaimana efeknya?

Aku pernah menjadi klien AB. Tak lama mendapatkan sentuhan di beberapa titik di kepala, disergap rasa tenang lalu berubah menjadi kantuk. Aku tertidur dalam waktu sekitar setengah jam dan bangun dalam kondisi lebih segar. Sedangkan BP, aku pernah berperan sebagai klien, pernah pula sebagai praktisi. Sebagai klien, rasanya lebih kurang sama dengan efek AB. Sedangkan sebagai praktisi, aku merasakan sensasi yang berbeda. Ada rasa membahagiakan. Barangkali karena sebelumnya dibekali kekhawatiran di benakku dipenuhi pikiran. Ternyata tidak. Bisa menjalankan fungsi praktisi dengan baik. 

Seru, tapi masih buanyak sekali yang masih perlu dipelajari. Ada yang tertarik? Boleh kontak saiah kalau berminat, ya, di sini. Baik untuk belajar maupun sebagai klien.

Ini berbagi pengalaman dari sebagai pembelajaranku untuk hidup lebih sehat, dan terbebas dari depresi. Semoga bermanfaat. Namaste.

Baca juga: Memilih Batu Kristal yang Selaras dengan Energi Kita

Berkunjung ke Kota ATLAS, Semarang

Akhir Agustus lalu ada kesempatan melakukan perjalanan ke Semarang. Sebuah pekerjaan yang mengharuskanku ke satu kawasan di area Soekarno-Hatta. Tentu saja ini menjadi hal yang menyenangkan. Rasanya kaki ingin segera menjejaki kota-kota lain, wilayah-wilayah asing. Baiklah, biar kucatatkan di sini beberapa tempat yang sempat kukunjungi, barangkali kalian membutuhkan referensi. Setidaknya ada tiga jenis makanan yang kucicipi, yakni, nasi goreng gongso babat ala Pak Karmin, tahu gimbal, dan tentu saja lumpia. Mencicipi kopi di dua lokasi, dan melewatkan malam Minggu di area Kota Lama, serta tak ketinggalan Lawang Sewu-nya. Pengalaman menyenangkan tiga hari di kota yang dikenal sebagai Kota ATLAS ini.


Baca juga: Menjajal Bus Trans Metro Pasundan

Ini bukan kali pertama aku ke Semarang. Beberapa lokasi sudah sempat kukunjungi. Tapi kota-kota senantiasa berubah. Begitu pula dengan Semarang. Kisahnya pun tak serupa. 

  

Nasi Goreng Babat Pak Karmin

Nama persisnya ternyata nasi goreng babat gongso. Aku pernah mendengar namanya disebut oleh kawan di media sosial. Akhirnya mencicipi. Kami, aku bersama tim dari Jakarta mampir pada hari kedua kami di Semarang. Sudah sangat lelah, tapi lapar. Setelah menyelesaikan pekerjaan terakhir, kami meluncur ke kawasan Mberok, Kota Lama, Semarang. 

Babat bukanlah jenis makanan yang kusukai. Tapi masa iya tidak mencicipi? Dan ternyata, enak. Pilihanku bumbu pedas. Daging babatnya empuk dengan lemak yang meleleh. Tidak tercium bau prengus dari babat. Bukan hanya kaena telah bercampur bumbu, namun juga menunjukkan kalau babat diolah dengan baik. Konon, Pak Karmin mencuci babat dengan air mengalir berkali-kali hingga bersih. Butuh waktu lama juga untuk merebusnya. Babat dengan daging halus butuh minimal tiga jam untuk merebusnya hingga lunak. Sedangkan untuk babat kasar butuh waktu jauh lebih lama, yakni 8 jam! 

Buat yang tidak suka babat, masih ada pilihan yang lain, kok. Pokoknya kalau sudah sampai Semarang, cari warung tenda Pak Karmin di kawasan Mberok. Setidaknya kenalilah bagaimana usaha Pak Karmin mampu bertahan lebih dari lima dekade. 

Harga nasi goreng babat gongso: Rp25.000 


Baca juga: Ragam Kuliner Halal dan Nonhalal di Bali


Lumpia Mbak Lien

Aku sangat suka lumpia Semarang. Aku nyaris tak pernah dengan sengaja belanja dan makan lumpia, kecuali lumpia Semarang. Segitunya? Iyes! Buatku, perpaduan lapisan luar lumpia yang renyah-gurih dengan isian rebung dan udang dan teman-temannya, bertemu dengan saus yang legit, daun bawang dan acar yang segar merupakan sebuah kenikmatan yang mewah. Beberapa kali aku order langsung lumpia Semarang buat dikirim ke Bandung.

Nah, kawan pemilik rumah yang kemudian aku menginap --pasca selesai kerjaan, Mima, mengajakku menikmati salah satu lumpia lejen di Semarang. Lumpia Mbak Lien. 

Konon, kata cerita, lumpia Mbak Lien ini terlahir dari kisah asmara dua orang beda budaya. Adalah seorang pemuda asli Tionghoa, Tjoa Thay Joe yang mengolah makanan berbahan rebung di Semarang. Saat berdagang ini, Tjoe berjumpa dengan seorang gadis, Wasih yang kebetulan juga menjadi penjual makanan dengan bahan yang sama, rebung. Alih-alih bersaing, mereka yang sudah kadung jatuh cinta itu malah menyatukan resep mereka menjadi satu bisnis bersama. Lumpia. Nama lumpia diambil dari nama lokasi saat mereka menjajakan makanan olahan baru itu, yakni di sebuah area pasar malam era Belanda, Olympia Park. Lumpia pasangan ini kemudian dilestarikan oleh keturunan mereka, di antaranya Mbak Lien yang merupakan generasi ketiga pasangan Tjoa Thay Joe dan Mbok Wasih.                       

Gerai lumpia Mbak Lien ada di kawasan Jalan Pemuda. Ada cukup banyak gerai lumpia di sini. Gerai Mbak Lien bukan ada di jalan utamanya, melainkan harus masuk gang. Nggak jauh, sekitar 20 meter saja. Selain lumpia, ada aneka jajanan untuk oleh-oleh yang bisa dibelanja di gerai ini. Yang ingin menikmati di tempat, disediakan meja-kursi di area teras. Lumayan buat ngerumpi sekadarnya.

Harga lumpia Mbak Lien: mulai dari Rp18.000 



Baca juga perjalanan ke Bali:


Tahu Gimbal

Awalnya aku tak terpikir untuk mencoba tahu gimbal. Kupikir tahu gimbal tak akan jauh dari tahu telor petis ala Jawa Timuran. Kesempatan mencoba datang saat ngopi di Margo Redjo, lapar dan tidak ada menu makanan berat yang menggodaku. Ada lapak gerobak tahu gimbal di seberang kedai kopi ini, atau di depan Stasiun Kopi. Maka kucobalah.

Aku memesan tahu gimbal sekaligus melihat dari dekat proses pembuatannya. Yang disebut gimbal itu ternyata olahan tepung dan udang, semacam bakwan yang dipotong saat penyajiannya. 

Jadi, yang pertama dilakukan Mbak penjual adalah menggoreng tahu berbentuk dadu. Dia akan tanya, kol mentah atau goreng. Kalau pembeli mau kol goreng, ia akan memasukkan irisan kol sekalian bersama tahu. Termasuk jika pembeli ingin tambahan telur ceplok. Udang goreng biasanya sudah disiapkan lebih dulu, tinggal potong. Sambil menunggu tahu matang, Mbaknya menyiapkan bumbu ulekan. Sepertinya tak terlalu jauh beda dengan sambal petis. 

Semua bahan ditaruh di piring, lalu siram dengan sambal. Krupuk disiapkan sebagai pelengkap. Berhubung aku ingin mencoba, waktu Mbaknya tanya pakai ini dan itu, lengkap, ternyata isinya banyak sekali. Butuh 3 jam untuk aku betul-betul menghabiskannya. Enak, aku suka. Lain waktu ke Semarang, aku pasti akan cari tahu gimbal. Nyam!

Dengan komposisi lengkap, aku membayar Rp25.000 untuk tahu gimbal yang kumakan. 


Baca juga: Lima Macam Rujak yang Perlu Dicoba

Bermalam Minggu di Kota Lama

Berada di satu titik di Kota Tua, aku merasa dejavu. Ternyata pada suatu masa aku memang pernah melintasi kawasan ini. Dalam  nuansa yang berbeda. Aku ingat, kisaran tahun 2006-2007 aku melintasi area samping atau depan Gereja Blenduk. Jalanan penuh lubang dan becek oleh air sisa hujan. Kini sudah berbeda. Jalanan itu sudah rata oleh paving block. Terhubung dengan jalan-jalan yang lain yang membentuk kawasan Kota Tua. Kawasan ini dibebaskan dari kendaraan. Para pengunjung menikmati suasana malam di Kota Tua dengan saling bercengkerama dan tentu saja tak ketinggalan di masa kini: berfoto. Baik swafoto maupun memanfaatkan jasa tukang foto profesional yang banyak menawarkan jasanya di seputar lokasi.

Dalam sejarahnya, Kota Lama Semarang merupakan pusat perdagangan pada abad 19-20. Sebanyak tak kurang dari 50 bangunan tua khas Eropa yang hingga kini masih terawat baik dalam usia 200 hingga 300 tahun. Kawasan ini menjadi salah satu destinasi wisata andalan Kota Semarang. Beberapa bangunan menjadi andalan di kawasan ini. Di antaranya adalah Marba, gedung ikonik yang dibangun pada abad 19 oleh Marta Badjunet, seorang saudagar kaya asal Yaman bernama. Di kemudian hari, bangunan ini dinamai Marba, yang merupakan kependekan dari nama si saudagar. 

Gedung lain yang bisa dikunjungi di Kota Lama Semarang adalah Marabunta, Semarang Contemporary Art Gallery, dan Semarang Creative Gallery. Selain itu ada Taman Srigunting yang ada di sebelah timur Gereja Blenduk dan Jembatan Berok yang di masa lalu merupakan simbol pembatasan antara golongan kaya kolonialis Belanda dan pribumi miskin. 


Baca juga perjalanan ke Bali:


Lawang Sewu

Tujuan berikutnya adalah Lawang Sewu. Mata sudah sepet. Ingin segera terlelap. Tapi, baiklah, mari kita menengok bangunan bersejarah yang merupakan aset PTKAI ini.

Secara harfiah, lawang sewu artinya pintu seribu atau seribu pintu. Namun bagi orang Jawa, sewu tak lantas berarti seribu. Bisa jadi hanya menunjukkan jumlah yang sangat besar. Tak terhitung. Jumlah pintu di Lawang Pintu konon tercatat sebanyak 928 buah. Entah, pintu yang semacam apa masuk dalam daftar tersebut.

Lawang Sewu berdiri di atas lahan seluas 18.232 m², di Jalan Pemuda, kawasan pusat kota. Dulunya, gedung ini merupakan kantor administrasi Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), perusahaan kereta api masa kolonial.

Lawang Sewu terdiri dari lima gedung yang pengerjaannya dilakukan oleh beberapa arsitek pada kurun waktu yang berbeda. Material yang digunakan adalah batu bata keramik berwarna oranye. Pada masa itu batu bata sangat langka dengan harga yang sangat mahal. Hal itu menunjukkan simbol kekayaan, kemakmuran, sekaligus kasta tertinggi. 

Aku pernah berkunjung ke Lawang Sewu pada tahun sekian, lupa persisnya. Saat itu yang kuingat adalah nuansa spooky-nya. Yang kutemui kemarin adalah adalah Lawang Sewu yang semarak. Sama sekali berbeda dengan kesan yang kutangkap saat itu. Bersama Mima, aku menjelajahi hampir semua ruang di Lawang Sewu. Terpesona dengan lukisan patri kaca pada dinding-dinding tingginya. Kaca patri itu berkisah tentang keindahan dan kemakmuran Pulau Jawa, juga penguasaan Belanda atas Batavia dan Semarang. Disinggung pula soal kejayaan kereta api. 

Untuk memasuki area Gedung Lawang Sewu yang kini dimanfaatkan sebagai museum itu, kita cukup menyediakan Rp20.000 untuk tiket masuk. Ada banyak hal menarik terkait perkeretapian di tanah air. Baik sejarah dari masa ke masa maupun bagian dari badan kereta api serta aneka perniknya. Lokasi yang cocok bagi para siswa dan remaja bermain seperti celotehan Pak Bambang Irwanto si Kurcaci Pos  yang dibagikan di blognya, blog berbagi cerita ceria.



Menjajal Kopi Legenda Semarang, Margo Redjo

"Mbak, aku mau ajak kamu ngopi di kafe legenda," kata Mima pagi itu. "Sambil kutinggal kerja, ya, lanjutnya.

Kami pun meluncur ke kawasan Wotgandul. Di depan nomor 14 kami berhenti. Tidak ada tanda-tanda itu adalah bangunan usaha. Area depan tertutupi tempat usaha orang berupa warung tenda dan lapak ban. Hanya tersisa ruang terbuka seluas pintu masuk ke dalam bangunan. 

Begitu memasuki bagian dalam, terasa keteduhanya. Pohon kayu besar menaungi (aku sedang mengingat-ingat itu pohon apa), bambu menjadi pagar tanaman di balik tembok tinggi yang mengelilingi bangunan, dan aneka tanaman bunga yang tersebar di beberapa titik. 

Showroom kopi ada di sisi kanan. Di ruang ini kita memilih kopi sekaligus membayar pesanan. Sebagian besarnya kopi arabika tanah air. Aku memilih kopi Gunung Wayang. 

Aku memilih duduk di lokasi paling dekat dengan bangunan utama yang menjadi salah satu cagar budaya Kota Semarang. Lumayan, sempat mengedit naskah sambil menghabiskan waktu hingga kafe tutup, sekitar jam 5 sore. Sempat jalan-jalan ke museum kopi mini di area belakang. Mendengar rentetan cerita sejarah berdirinya Margo Redjo. Selengkapnya bisa baca di sini.

Oiya, di sini tidak menyediakan makanan. Tapi diperbolehkan membawa makanan dari luar. Di sinilah aku mencicipi tahu gimbal.


 
Baca juga perjalanan ke Baduy:


Ngopi di Stasiun Kopi

"Masih denger radio, Mas?" tanyaku ke pemilik kedai.

"Di sini dengernya radio, Mbak," jawab si pemilik yang kemudian aku tahu namanya Heri.

"Syukurlah," kataku --yang entah bersyukur atas apa. Mungkin sedikit gembira mendapati masih ada orang yang mau mendengarkan radio, meski aku sendiri sudah tak bergiat di dunia radio.

Ke sinilah kemudian aku menuju, Kedai Stasiun Kopi yang lokasinya tepat di seberang Margo Redjo. Persisnya nomor 19. Nuansanya sederhana dan klasik. Hiasan yang terpajang di dinding maupun di rak, bernuansa vintage. Ada aneka sketsa buatan Heri yang punya latar belakang desain grafis. Kedai ini merupakan bagian depan dari rumah tinggal Heri, barista dan sekaligus pemilik kedai. Bagi penggemar kafe kekinian, tempat ini tentu bukanlah pilihan. Namun bagi penyuka ketenangan, kesederhanaan, suasana hangat, aku sendiri merekomendasikannya. 

Dalam suasana sore di Semarang yang hangat, aku menyesap kopi ditemani roti sarikaya dan alunan lagu lama dari radio transistor. Sebuah sore yang nikmat.


Baca juga: Olahraga Jalan Kaki di Podomoro Park

Baiklah, sekian dulu pengelanaan di Kota ATLAS kali ini. Terima kasih untuk Valent, ajakan melakukan tugas lapangan ke Poltek PU yang bikin Ibu Meong bisa berkunjung kembali ke kota ini. Terima kasih juga Mamak Meong Mima, yang sudah jabanin jalan-jalan ke beberapa titik kota dan icip-icip makanannya. Sampai ketemu lagi, Semarang!




Mengapa Perempuan Perlu Bekerja?

Pada zaman medsos ini begitu banyak hal yang dijadikan perdebatan. Ibu rumah tangga vs ibu bekerja. Bayi ASI vs bayi sufor. Melahirkan normal vs sesar. Itu baru versi emak-emak. Ada banyak lagi versi anak muda. Anak muda laki dan anak muda perempuan pun beda persoalan. Orang berebut untuk menyampaikan komentarnya dengan berbagai alasan. Nggak, saiyah ndak pengin membahas soal pertentangan tersebut. Cuma mau ambil salah satunya, tentang perempuan. Persisnya tentang mengapa perempuan perlu bekerja. 


Baca juga: Perempuan-Perempuan dalam Karya PAT

Pada banyak kasus pertanyaan "mengapa perempuan perlu bekerja" adalah saat perempuan dihadapkan pada pernikahan. Hal yang sering kali menjadi dilema, terutama jika perempuan disodori pilihan: berhenti atau tetap bekerja. Banyak pendapat yang pro dan kontra. Terutama dari kalangan relijius yang menganggap pernikahan sebagai ibadah dan perempuan harus menurut pada suami. Atau pandangan konservatif yang semata melihat perempuan sebagai sosok yang hanya perlu 5 M (masak, macak, manak, mulang, milih). Atau pandangan bahwa uçuÅŸan perempuan hanyalah dapur, sumur. Ya, perempuan seolah tak puasa kuasa atas pilihan-pilihannya, hanya memiliki tugas tempelan. 


Apa, sih, Alasanmu Menikah?

Ada sebuah tayangan video yang beredar luas, yang menggambarkan tentang perempuan yang sedang dilamar kekasihnya dengan menyodorinya cincin. Digambarkan, saat perempuan itu mencoba cincin yang diberikan si lelaki, sontak ia terlempar ke sebuah situasi. Berada di rumah dengan segudang kerepotan, mengerjakan ini dan dan itu, dari urusan pekerjaan, anak, hingga tetek bengek domestik sendirian. Lepas cincin, kembali normal. Diulang, terjadi lagi. 

Tentu saja dalam sebuah rumah tangga tak selalu seperti itu. Gambaran itu menjadi semacam stereotip pernikahan ketika perempuan seolah menjadi bulan-bulanan dalam kehidupan berumah tangga. Tak hanya perempuan yang memang memilih full time sebagai ibu rumah tangga, melainkan juga perempuan yang berdiri di dua kaki, sebagai pekerja sektor publik sekaligus domestik. 

Alasan menikah ini menjadi hal penting yang perlu dipikirkan, baik oleh laki-laki dan terutama dalam konteks tulisan ini adalah perempuan. Di luar pertimbangan berdasarkan agama --yang notabene bukan ketertarikanku, banyak laki-laki yang menikah untuk alasan yang menurutku "enggak banget". Misalnya bosan sendiri, tak bisa mengurus diri sendiri, ingin ada yang memanjakan, dsb. Begitu pun dengan perempuan, yang pada level yang sama mengatakan bahwa keinginan menikah atas alasan butuh dibiayai, sudah lelah bekerja keras sendiri, membutuhkan perlindungan, dsb. 

Nah, jika alasannya adalah seperti di atas, barangkali perlu dikaji ulang rencana pernikahannya. Karena pada hakikatnya pernikahan bukanlah lembaga yang menjadikan seseorang menggantungkan hidupnya atas yang lain. Sebaliknya, pernikahan merupakan pertemuan dua sosok yang masing-masing mampu membangun dirinya sendiri, yang pada akhirnya komitmen untuk bersama itu lebih menegaskan dukungan kepada masing-masing pihak untuk lebih berkembang. Tidak ada yang merasa lebih dominan atau superior dalam hubungan tersebut. Yang ada hanyalah berbagi peran sesuai keinginan dan kemampuan masing-masing dengan bersandar pada cita-cita masa depan yang telah dicanangkan bersama. Sehingga aneka kendala dan tantangan dalam pernikahan yang bisa jadi menguras perhatian itu akan sanggup untuk diselesaikan bersama. Mau tahu apa yang menjadi masalah, tinggal dibicarakan bersama.

Baca juga: Menjadi Perempuan Mandiri dan Merdeka


Perempuan, antara Karir dan Keluarga

Menjadi perempuan memang tidak mudah. Secara takdir, ia memiliki rahim yang memberinya kesempatan untuk melahirkan kehidupan. Hal inilah yang di kemudian hari memunculkan dilema bagi perempuan, apakah cukup menjadi ibu rumah tangga yang setia di rumah saja atau tetap bekerja setelah menikah. 

Ada sejumlah pertimbangan, mengapa perempuan perlu bekerja.

1. Membangun percaya diri. Perempuan merupakan pribadi kompleks yang sebagian besarnya dibentuk oleh budaya patriarki yang sering kali menomorduakan perempuan. Rasa percaya diri bahwa ia mampu, dibutuhkan oleh kaum perempuan. Dan salah satunya adalah dengan tetap mempertahankan kemampuan dalam menghasilkan uang. Ia akan merasa lebih berdaya karena mampu menghadapi tantangan dan mengambil inisiatif. Ia telah memberikan nilai di tengah masyakarat yang membuat ia merasa dihargai dan diakui. 

2. Mendapatkan kemandirian finansial. Dalam banyak kasus, ketergantungan finansial perempuan terhadap pasangannya melahirkan masalah. Bagi keluarga yang secara finansial melimpah, barangkali tak jadi soal. Ketika masing-masing anggota keluarga sudah dibekali dengan materi yang cukup dan pendukung lainnya seperti asuransi, tabungan, dan ivestasi, masa depan relatif lebih aman. Berapa persen kalangan yang dimampukan untuk melakukan hal tersebut di negeri ini? Yang lebih banyak terjadi adalah perempuan yang bergantung secara finansial, tanpa dibekali dengan pendukung lain, yang pada akhirnya menyebabkan perempuan kelimpungan saat ditinggal pergi suami, baik karena kematian maupun penyebab lainnya. 

Melalui kemandirian finansial, perempuan memahami tujuan keuangan. Meraka juga dimampukan untuk mengontrol keuangannya sendiri yang di antaranya bisa untuk membangun mimpinya sendiri. 

3. Memberikan andil dalam perekonomian keluarga. Bukankah sumber keuangan yang datang dari dua arah lebih baik dibandingkan yang datang dari satu arah saja? Terlebih satu arah pun dalam kategori pas-pasan? Pada masa yang secara ekonomi serba sulit, upaya mengumpulkan pundi-pundi sebaiknya dilakukan oleh semua pihak. Dalam keluarga, pasangan suami-sitri sudah semestinya untuk sama-sama produktif untuk menyiapkan kebutuhan bagi masa depan. Terlebih jika sudah memiliki anak, yang biaya pendidikannya tidak murah. 

4. Melawan stereotip gender dan menjadi inspirasi bagi generasi masa depan. Selama ini stereotip perempuan menyebutkan bahwa "cita-cita dan mimpi perempuan akan berakhir setelah menikah". Bahwa perempuan hanya memiliki fungsi sebagai pengasuh dan penerima finansial. Faktanya perempuan dapat terus memabngun dirinya dan berdaya secara ekonomi meski telah menikah. Hal yang dapat membangun impiannya sendiri. Fakta ini dapat menjadi inspirasi para generasi mendatang, bukan hanya kaum perempuan namun juga para lelaki, bahwa perempuan memiliki peran penting dalam keluarga dan masyarakatnya. 

Baca juga: Pernikahan dan Jatah Mandan

Perempuan yang ingin memiliki penghasilannya sendiri tidak melulu harus bekerja dalam kantor yang jauh dari rumah dan membutuhkan usaha ekstra untuk mencapainya. Di masa kini, banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh perempuan dari rumah. Sejumlah pekerjaan yang bisa dilakukan secara daring dapat dijadikan pilihan. Misalnya sebagai pembuat konten. Aneka media yang terbuka untuk publik dapat dipilih untuk berkarya sebagai pembuat konten. 

Menjadi penulis juga dapat dijadikan pilihan bagi perempuan yang ingin bekerja dari rumah. Ada banyak platform yang menyediakan ruang berkaya baik tulisan fiksi maupun nonfiksi dengan tata cara pembayarannya masing-masing. Bagi yang gemar menulis, layak dicoba 'kan?

Punya hobi tertentu? Kenapa tidak dimanfaatkan? Misalnya hobi merajut, melukis, bertaman. Hasilnya dapat dipasarkan secara luring maupun daring. Kalau tidak, jual beli bisa memanfaatkan jaringan yang dimiliki tanpa harus produksi sendiri atau mengeluarkan modal untuk pengadaan barang. 

Bagi yang memiliki kemampuan mengajar, dapat menjual kepiawaiannya tersebut dalam pelatihan-pelatihan yang saat ini juga banyak dibutuhkan. Baik secara mandiri maupun bergabung dengan lembaga tertentu yang membebaskan keanggotaan pekerjanya. 

Ada yang lainnya? Mau menambahkan? Pastinya masih banyak pilihan yang bisa diambil bagi para perempuan yang memang merasa perlu untuk bekerja, baik semata demi eksistensi, kemandirian finansial, maupun sebagai pendukung ekonomi keluarga. 

Meski demikian, kesepakan terkait pilihan perempuan untuk bekerja tetap perlu dibicarakan dengan pasangan. Bagi perempuan yang sudah berkeluarga ada banyak kompromi yang harus dilakukan. Bagaimanapun ada tugas lain yang perlu diemban dalam sebuah rumah tangga. Pembagian tugas bersama pasangan dan mengatur waktu supaya perhatian terhadap keluarga tetap terjalani dengan baik perlu dibahas dengan pasangan. Dalam hal ini komunikasi memiliki peran penting agar kepentingan bersama dan harmoni dalam tetap terjaga. 

Catatan ini semata opini penulis, yang sangat mungkin berubah dan mengalami penyesuaian mengikuti perkembangan zaman. Semoga setidaknya ada sedikit manfaat. Namaste

Baca juga: Menemukan Makna Hidup bersama Viktor E Frankl

Olahraga Jalan Kaki di Area Pedestrian Podomoro Park Bandung

Sudah beberapa waktu terakhir aku memaksakan diri untuk bergerak. Seiring pertambahan usia, kemampuan fisik menurun, otot mulai mengendur, potensi dihampiri penyakit lebih besar. Meski masih banyak bolongnya, aku sudah sudah bisa mengapresiasi positif upaya menjadi lebih sehat yang sudah kulakukan. Sesekali aku menyelinginya dengan joging, tapi tak mau memaksakan diri. Nah, aku baru menemukan jalur jalan kaki yang menyenangkan, yang membuatku merasa lebih nyaman dan aman. Di Podomoro Park, kawasan Bojongsoang, Kabupaten Bandung.


Baca juga: Mengelola Pikiran Agar Terhindar dari Stres Berlebihan

Ini bukan iklan, ya. Sekadar apresiasiku karena memanfaatkan area ini untuk kebutuhan menyehatkan diri. Meski sebetulnya ini bukan ranah privat yang perlu izin, tetap saja, aku merasa diuntungkan. Tapi sebelum bahas pengalaman jalan-jalan di area Podomoro Park, ingin mengulas ulang manfaat jalan kaki. Untuk lebih memacu diri sendiri, dan siapa tahu ada yang sedang butuh tambahan motivasi.

Manfaat Jalan Kaki

Tentu saja ini bukan topik baru. Dua puluh tahun lalu saat menggawangi program siaran kesehatan, jalan kaki juga sudah dianjurkan oleh para dokter. Terutama bagi yang usianya sudah melewati 40 tahun, terlebih bagi yang sudah mengalami gangguan kesehatan tertentu seperti jantung, paru-paru, atau pada persendian. Berenang atau jalan kaki merupakan pilihan terbaik.

Mengutip laman resmi Kemenkes, setidaknya ada lima manfaat jalan kaki. 

1. Memperlancar sirkulasi darah

Secara umum, berbagai latihan fisik dapat membantu meningkatkan denyut jantung serta jumlah oksigen dalam darah. Dengan sirkulasi darah yang lancar, risiko terjadinya penyumbatan di pembuluh darah jantung pun berkurang.

2. Mengurangi risiko penyakit jantung

Melakukan jalan kaki secara rutin dapat menurunkan kadar LDL atau kolesterol jahat dalam darah, mengurangi peradangan, serta menjaga tekanan darah tetap stabil. Semua hal ini berpotensi menurunkan risiko penyakit jantung koroner dan serangan jantung.

3. Menjaga berat badan tetap stabil

Aktivitas jalan kaki dapat membakar kalori dalam tubuh. Makin lama, sering, dan teratur, makin banyak kalori yang terbakar. Dengan demikian tidak sempat ada penumpukan lemak, berat badan pun terjaga ideal. Hal ini merupakan penunjang kesehatan jantung yang penting.

4. Meningkatkan kebugaran fisik

Dengan rutin berjalan kaki, kekuatan tulang dapat ditingkatkan. Begitu pula otot dan energi, dan menjadikan tubuh lebih bugar.

5. Mengelola stres

Saat berjalan kaki, tubuh akan melepaskan hormon endorphin atau hormon pemicu rasa bahagia. Hormon ini dapat membuat suasana hati lebih baik serta mengurangi kecemasan dan depresi, yang dapat membuat jantung lebih kuat.

Baca juga: Kesehatan Mental dan Skala Hawkins

Apa saja yang perlu disiapkan sebelum menjalankan aktivitas jalan kaki secara rutin? 

Sebelum menyiapkan perangkat dan tahapan memulai aktivitas ini, hal yang pertama perlu dilakukan adalah menghimpun niat. Serius! Buatku sendiri, ini penting banget. Sebelumnya, aku menetapkan diriku untuk joging. Nyatanya, tubuhku tak selalu menginginkan joging. Dan kalau sudah menolak, akhirnya malah tidak bergerak sama sekali. Ini menjadi salah satu alasan untuk aku menggantinya menjadi jalan kaki. Dengan jalan kaki aku tak membutuhkan banyak pertimbangan. Langsung bergerak, langsung jalan. 

Kalau sudah bulat niatnya, lanjutkan dengan menentukan target dan persiapan lainnya.

1. Berkomitmen untuk melakukannya secara rutin

Jalan kaki yang disarankan agar mendapatkan hasil maksimal adalah secara rutin selama sekurangnya 30 menit, sebanyak 5 kali dalam seminggu. Jika masih bolong-bolong, kembali ke komitmen awal.  

2. Siapkan perangkat 

Sepatu dan pakaian seperti apa yang sekiranya nyaman untuk dikenakan? Pastikan alas sepatu tidak gundul. Tidak kesempitan, tidak pula kelonggaran sehingga nyaman. Begitu pula dengan pakaian, tidak terlalu ketat atau longgar. Pilih yang bahannya menyerap keringat. Siapkan topi agar kepala dan wajah terlindungi. Jangan lupa juga menyiapkan sunscreen jika jadwal jalannya sudah di bawah terik matahari. 

3. Wajib lakukan pemanasan dan pendinginan

Meski sebentar, lakukan pemanasan yang bisa berupa peregangan otot yang sederhana saja. Begitu pula setelah selesai. Hal ini untuk menghindari risiko sakit dan cedera pada tulang dan sendi. 

4. Lakukan bertahap, tak perlu tergesa

Jika baru memulai, baiknya melakukan jalan kaki dengan kecepatan bertahap. Saat baru mulai perjalanan, lakukan dengan kecepatan ringan. Berikutnya tingkatkan intensitasnya. Untuk hari yang sama maupun hari-hari berikutnya. Termasuk dalam hal jarak. 

5. Siapkan perbekalan

Kita yang tahu masing-masing kebutuhan tubuh kita. Misalnya, aku rentan mengalami hipoglikemi. Maka aku melengkapi perbekalan dengan permen atau gula. Untuk mencukupkan kebutuhan cairan, jangan lupa berbekal air minum.

Yang sudah melakukan jalan kaki dengan baik, mari saling menyemangati. Yang baru mulai, segera dimulai, yuk. Tapi, ingat, ya, tetap menyesaikan kebutuhan tubuh. Terlebih jika sudah ada catatan kesehatan yang perlu jadi pertimbangan. Sebaiknya konsultasikan juga dengan dokter keluarga.

Baca juga: Doa, Meditasi, dan Vibrasi Energi


Menikmati Area Pedestrian Podomoro Park

Awalnya tak terlintas sedikit pun untuk memasuki area Podomoro. Bukan golongan orang yang kepoan dengan hal-hal baru. Lantas terpikir gara-gara terlecut oleh aneka pemberitaan perkara kriminal yang muncul di media pada waktu-waktu terakhir. 

Alkisah, salah satu jalur yang terbilang rutin kulalui memiliki kawasan sepi yang cukup panjang. Pada sisi kiri adalah kawasan pengolahan air limbah PDAM, dan sisi kanan sungai yang curam. Jalan hanya mampu dilewati kendaraan roda dua. Pada sejumlah titik, sisi-sisi jalan dipenuhi semak tinggi. Dulu, meski tak sering, sesekali aku melewati kawasan ini. Nah, kali ini merasakan ketidaknyamanan yang kental. Kupikir perlu untuk segera mencari jalur alternatif. 

Pada waktu-waktu terakhir sudah berpindah ke rute yang berbeda. Tak cukup nyaman karena berada di jalan yang ramai kendaraan. Jalur lintasan beberapa kawasan menuju jalan utama Bojongsoang, Kabupateng Bandung. Hingga suatu kali, saat iseng melakukan perjalanan menggunakan bus, aku memutuskan untuk jalan kaki menuju rumah melewati jalur Podomoro Park. Dan, loh, kok menyenangkan?! Maka demikianlah, pada sebuah pagi aku memulai agenda jalan kaki di area ini.

Podomoro Park ini lokasinya tak jauh dari rumah aku tinggal. Ada dua pintu masuk. Pintu utama di Jalan Bojongsoang, dan pintu belakang di Kampung Cikoneng. Gerbang belakang ini hanya dibuka antara pukul 07.00-20.00. Nah, yang tak jauh dari area aku tinggal adalah pintu belakang ini. Sekitar 1500 langkah. 

Baca juga: Perbedaan Darah Rendah dan Kurang Darah

Perumahan di bawah naungan Agung Podomoro Land ini berdiri di lahan seluas lebih dari 100 hektare. Konsep yang diusung adalah “harmony with nature”, menawarkan kawasan hunian yang mengutamakan keselarasan dengan alam. Dengan tagline: "mengembalikan keasrian Bandung tempo dulu". 




Dari pengalaman yang sedikit itu, baru empat kali menjajaki jalan kaki di kawasan ini, sangat menyenangkan. Ruang pedestrian yang longgar, leluasa sekali untuk para pejalan kaki. Zebra cross tersedia di beberapa titik, untuk memudahkan penyeberang dan pengingat bagi kendaraan untuk hati-hati. Udara segar, karena kendaraan yang lewat masih terbatas dan pepohonan yang semarak di sisi jalan dan tersebar di seantero kawasan. Pembangunan diawali dari area depan, pintu Bojongsoang. Area menuju kawasan Cikoneng kebagian jadwal belakangan.

Sebagai gambaran, untuk kawasan hunian dan bisnis, masih tersisa lahan-lahan yang baru diratakan. Beberapa bagian lain sedang dalam tahap pembangunan. Mungkin masih butuh waktu cukup lama untuk menjadikan kawasan ini seturut blue print yang sudah disiapkan. Karena tentu saja membangun kawasan hunian tak bisa cepat. Sudah disiapkan dengan rapi pun tetap ada pergeseran waktu. Seperti yang baru-baru lalu ramai menjadi bahan perbincangan, yakni pembangunan IKN. Catatan menarik soal proses di sana bisa cek di catatan Blogger IKN yang juga kawan influencer Balikpapan

Baca juga: Mindfulness dan Upaya Mengatasi GERD

Kembali ke Podomoro Park, untuk jalur pedestriannya barangkali sekitar 30% belum terbangun. Terutama jalur utama yang menghubungkan gerbang depan dan pintu belakang. Meski demikian sudah banyak warga sekitar yang memanfaatkan kawasan ini untuk berolahraga. Kurasa sebagian besarnya malah bukan penghuni Podomoro Park. Banyak anak muda yang datang sekadar untuk membuat konten. Kelompok-kelompok pesepeda juga sering terlihat beriringan melintasi jalur jalan yang masih lapang. 


Semoga kenyamanan kondisi jalan dan pedestrian kawasan Podomoro Park masih akan terus terjaga. Cukup berharap pada kawasan yang memang lebih terencana dengan baik ini terutama sumbangan tanaman sebagai paru-paru kawasan. Ada yang mau jalan-jalan di kawasan ini juga? Untuk ruteku, dari rumah hingga gerbang depan pulang pergi adalah sejauh 8 ribu sekian langkah. Kisaran 7 km. Nanti lagi akan coba mengulik rute lain, bukan hanya di jalan utama. Berminat? Yuk!