The Most Precious of Cargoes, Kisah Muram Penyintas Holocaust

Saat berselancar di dunia maya, tak sengaja berjumpa dengan ini film. Awalnya agak ragu. Sedang butuh hiburan, tapi dari poster filmnya tampak muram. Tetap, dilanjutkan menonton dan aku tidak menyesal. Film ini rilis dalam bahasa Perancis, La Plus Précieuse des Marchandises. Atau dalam versi Inggrisnya, The Most Precious of Cargoes. Film yang dirilis pada 2024 lalu ini digarap oleh sutradara peraih Oscar, Michel Hazanavicius.



Baca juga: Black Book, Kisah Perjuangan Perempuan Yahudi

Filmnya memang muram. Apalagi latarnya adalah kemiskinan, konflik ras, dengan nuansa yang didominasi warna putih abu salju. Namun, ada nilai kebaikan universal yang ditawarkan film ini. 


Sinopsis

Kisah bermula pada sebuah hari yang gelap bersalju. Seorang perempuan, istri penebang kayu yang sedang mencari makanan di hutan sekitar rumahnya mendengar tangisan bayi. Tak jauh dari rel kereta api, dilihatnya sebuah bungkusan yang ternyata berisi bayi perempuan. Istri penebang kayu tak menimbang lama untuk membawa bayi itu pulang. Tak mungkin ia membiarkan makhluk mungil itu beku di luaran. Di sisi lain, ia meyakini bayi itu adalah kiriman dari Tuhan setelah sekian lama ia hanya hidup berdua dengan sang suami tanpa hadirnya seorang anak.

Kebingungan mulai menyergapnya begitu ia sampai rumah. Ia harus kasih makan apa itu bayi? Dalam kemiskinannya, tak mungkin ia belanja susu untuk bayi tersebut. Tak kehilangan akal, perempuan itu mendatangi tetangganya yang memelihara domba. Ia mengajukan penukaran, ranting kayu dengan susu. Sang tetangga yang ditampilkan sebagai sosok yang sangar, ternyata memiliki kebaikan hati. Ia bersedia menyediakan susu buat si bayi.

Masalah berikutnya adalah saat sang suami mengetahui sosok bayi itu. Di pikirannya hanya ada satu: tidak mungkin! Karena menerima keberadaan bayi itu di rumah mereka artinya mencari masalah.


Baca juga: Pangku, Cermin Getir Perempuan di Pesisir Jawa


Film ini mengambil latar Perang Dunia II, pasca peristiwa Holocaust. Pasangan miskin, penebang kayu dan istrinya ini tinggal di pedalaman hutan Polandia. 

Siapa sebenarnya bayi itu? Yup, bisa ditebak. Ia adalah anak penyintas Holocaust. Bayi itu adalah salah satu anak dari anak kembar pasangan yang sedang dalam perjalanan menuju Auschwitz. Suasana menegangkan, saat ribuan orang membutuhkan suaka dan di tengah ketidakpastian, pasangan Yahudi ini kewalahan dengan keluarga kecil mereka. Begitu si suami mendapati istrinya tak cukup memiliki ASI untuk kedua anak kembarnya, ia memutuskan untuk membuang salah satunya. Tampaknya lemparan itu cukup aman hingga si bayi ditemukan dalam keadaan baik-baik saja. 

Namun, ya itu ... masalah bapak penebang pohon menolak keras bayi itu ada di rumah mereka. Butuh waktu lama untuk meluluhkan laki-laki itu. Awalnya ia menolak keras. Akhirnya ia menyerah saat istrinya mengancam akan pergi jika ia harus kembali membuang itu bayi. Penerimaan pun bersyarat, ia tak mau tahu dengan keberadaan bayi tersebut. Berkat ketelatenan sang istri, dan secara alamiah sesungguhnya ada kebaikan tersembunyi di hatinya, diam-diam laki-laki itu tumbuh sayang kepada gadis kecil Yahudi tersebut. Ia bahkan menerima dengan tangan terbuka, menganggap gadis kecil itu sebagai buah hatinya.

Penerimaan itu harus dibayar mahal. Dalam sebuah perbincangan dengan sesama penebang, keluarlah pernyataan si bapak. Sesuatu yang terhubung dengan keberadaan seorang asing. Seorang yang terlarang. Tak lama berselang pecahlah pertikaian. Lelaki penebang kayu itu terbunuh setelah ia terlebih dulu mencederai mereka yang mengacau rumahnya. Lelaki pemilik peternakan juga ikut terbunuh dalam rangkaian peristiwa itu. 

Sang istri penebang segera mengambil keputusan cepat. Ia bawa gadis kecil itu menjauh dari hutan, memulai kehidupan baru. Hidup berpihak kepada mereka. Kelak bapak dari bayi buangan itu berhasil dipertemukan dengan anaknya, meski hanya melihat dari jauh.


Baca juga: The Fighter, Film tentang Keluarga dan Pengorbanan


Potret Muram Jejak Holocaust

Memang ada film yang bersinggungan dengan Holocaust tampil dalam nuansa ceria? Hmmm ... rasanya sih belum pernah nonton. Yang sudah tertonton semuanya dalam nuansa muram. Begitu pula The Most Precious of Cargoes yang adalah film animasi ini. 

Film ini merupakan hasil adaptasi dari novel karya Jean-Claude Grumberg yang juga dilibatkan dalam penulisan naskah. Gumberg menerbitkannya pada 2019, dan filmnya baru rilis 5 tahun kemudian. Sebetulnya Hazanavicius mendapatkan proyek ini pada tahun yang sama dengan kemunculan novelnya. Sayangnya proses tidak dilanjutkan karena pandemi COVID-19, dan baru dilanjutkan kembali tiga tahun kemudian.

Ada beberapa fakta menarik terkait film ini.

Hazanavicius adalah bagian dari keluarga penyintas. Pada masanya, keluarganya melarikan diri dari Nazi di Eropa Timur. Awalnya ia enggan mengerjakan proyek tersebut. Namun, akhirnya kisah yang ditulis oleh seorang teman lama keluarga itu berhasil menyentuh perasaannya. Terlebih ia menyadari kondisi kesehatan para penyintas tersisa kemungkinannya sudah tak baik-baik saja. Ia pun tertantang untuk menggarap film animasi, jenis film yang belum pernah ia tangani.

Fakta lainnya adalah bahwa narator dalam film ini, Jean-Louis Trintignant meninggal dunia tak lama setelah suaranya direkam. Ia tak pernah menikmati hasil akhir karyanya tersebut. 

Baca juga: Unforgiven, Film Clint Eastwood yang Panen Penghargaan

Sebelum dimulai penggarapan film, telah dimulai publikasinya yang di antaranya menyebutkan pengisi suara Penebang Kayu adalah Gérard Depardieu. Saat akhirnya dimulai prosesnya,   Depardieu dikeluarkan dari daftar pemeran karena pada saat itu namanya sedang muncul sebagai tertuduh kasus pemerkosaan dan penyerangan seksual. Posisinya digantikan oleh Grégory Gadebois.

The Most Precious of Cargoes dirilis di Prancis pada 20 November 2024, terpilih untuk berkompetisi memperebutkan Palme d'Or di Festival Film Cannes ke-77 pada 24 Mei 2024. Momentum ini sekaligus menjadi waktu tayang perdana film ini; film animasi pertama yang ditayangkan dalam kompetisi utama di Cannes sejak Waltz with Bashir karya Ari Folman pada 2008.

Meski muram, film ini layak tonton. Terutama bagi penggemar film-film animasi dan film dengan latar sejarah dunia. Sepertinya buat tontonan ke depan masih akan cari film animasi. Buat penggemar film Korea, maafkan, sangat jarang nonton. Kalau butuh rekomendasi, cek sini: Spoiler Ending dan ulasan film Korea.

Sampai ketemu di film berikutnya.


Baca juga: Film Mafia yang Layak Tonton di Malam Minggu

Franca Viola, Perempuan Muda yang Berani Guncang Hukum dan Tradisi

Membaca kisahnya membuatku berpikir bahwa masih begitu banyak hal yang bisa disyukuri di masa kini. Bukan berarti menafikan berbagai persoalan kesenjangan terkait gender, namun tak ada salahnya mensyukuri hal-hal sederhana. Masih banyak PR yang menjadi tugas kita untuk menyelesaikannya. Dan mari belajar dari seorang Franca Viola, yang pada zamannya telah berani menentang tradisi yang demikian menyudutkan dan menempatkan perempuan di posisi yang demikian rendah.


Baca juga: Berkaca dari Kasus Tiara, Femisida dan Pencegahannya

Keberanian Franca Viola telah mencatatkan sejarah, terutama terkait hukum dan keadilan berbasis gender. Topik ini masih menjadi persoalan di berbagai negara. Termasuk Italia, negaranya Franca Viola. Perjuangan masih panjang.   


Perempuan Muda yang Menuntut Keadilan

Kisah ini bermula dari sebuah kota kecil bernama Alcamo, di pulau Sisilia. Nama kawasan yang barangkali cukup akrab di telinga para penggemar film mafia. Nama ini terutama nempel di film epik klasik yang mengangkat kisah keluarga mafia Corleone. Ada sejumlah film tentang mafia Italia yang juga menyebutkan dengan jelas kawasan ini. Namun, ini bukan kisah tentang mafia. Ini tentang seorang perempuan sederhana, tetapi memiliki tekad sekuat baja.

Namanya Franca Viola. Pada penghujung tahun 1965, ia berusia 17 tahun. Gadis muda ini memiliki seorang kekasih, Filippo Melodia. Kekasihnya sudah mengenal keluarganya, orang tua dan adik laki-lakinya, Mariano, yang baru berusia 8 tahun. Ketika suatu kali akhirnya Franca mengetahui latar belakang keluarga Melodia yang adalah mafia, ia memilih mundur. Sayangnya, lelaki itu tak terima diputuskan hubungan secara sepihak. Apa yang terjadi kemudian sama sekali di luar perkiraan Franca dan keluarganya. Franca diculik!

Saat itu sehari setelah perayaan Natal, 26 Desember 1965. Sekelompok laki-laki bersenjata menerobos masuk rumah sederhana keluarga Franca. Ayah Franca, Bernardo, sedang bekerja di ladang anggur keluarga. Hanya bersama ibu dan adik kecilnya, Franca tak sanggup melawan. Ibunya kena pukul, sedangkan ia dan Mariano dibawa pergi secara paksa. 

Tak beberapa lama, Mariano dilepaskan. Sedangkan Franca disekap dalam sebuha ruangan. Ia disiksa dan diperkosa selama 8 hari dalam penyekapan. Aturan Italia saat itu memberikan mandat kepada pelaku pemerkosaan untuk menikahi korban, agar terbebas dari jerat hukum. Hukum yang disebut “matrimonio riparatore” itu didasari oleh anggapan bahwa pernikahan dapat “mengembalikan kehormatan” perempuan korban. Bukan keadilan. Namun, kehormatan; itu pun dalam versi mereka. 

Alih-alih menerima tawaran pernikahan demi menyelamatkan kehormatan, Franca datang ke kantor polisi untuk menuntut Filippo Melodia ke pengadilan. Franca tidak sendiri. Sang ayah erat menggandeng tangannya.


Baca juga: Laki-Laki dan Peran Pentingnya dalam Kekerasan Berbasis Gender


Kata "Tidak" yang Mengubah Sejarah

Tak lama setelah pembebasannya dari sekapan Melodia, Franca sudah langsung disodori opsi untuk menikah dengan pelaku. Dorongan bukan hanya datang dari pihak Melodia. Orang-orang yang ada di sekelilingnya, tetangga, teman, keluarga jauh, semuanya berpikir hal yang sama bahwa Franca harus “menyelesaikan masalah” dengan menikah. Dengan begitu kehormatan Franca tetap terjaga. 

Franca menolak. Opsi itu bukan untuknya. 

Penolakan itu bukan hanya membuat berang keluarga Melodia. Warga sekitar pun mencelanya. Mereka menganggap Franca telah mengangkangi tradisi. Bukan sekadar sikap menjauhi dan kata-kata hinaan yang mereka lontarkan. Bahkan mereka membakar ladang keluarga Franca. 

Franka tidak surut. Dengan ayah yang berdiri tegak di sisinya, bersikeras menuntut keadilan. Lelaki itu sadar betul, keputusan Franca akan membawa masalah besar. Namun, ia memilih memberikan dukungan sepenuhnya bagi anak perempuannya; melindungi kebenaran dan kehormatan anaknya dan bukan mempertahankan tradisi yang menindas.

Apa yang dilakukan Franca memunculkan kegemparan yang luas. Bagaimana tidak, seorang perempuan muda berani menentang hukum dan tradisi yang ratusan tahun dijadikan pijakan dalam penanganan masalah perkosaan. Dan Franca menang. Upayanya tidak sia-sia. Semua hinaan, celaan, dan cibiran orang yang ditelannya dengan susah payah itu membuahkan hasil. Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara selama 11 tahun kepada Filippo Melodia.


Baca juga: Tetap Bahagia dan Giat Berkarya saat Menjalani Hidup Sendiri


Keberanian yang Mengubah Masa Depan

Peristiwa yang terjadi di kota kecil bernama Alcamo, di pulau Sisilia itu menjadi topik pembicaraan nasional. Media massa menurunkan berita perkembangan kasusnya. Franca Viola, gadis berusia belasan tahun itu menjadi perempuan pertama di Italia yang secara terbuka menuntut pelaku pemerkosaan dan menolak mengikuti tradisi “pernikahan pemulihan”. 

Sejumlah tokoh menunjukkan apresiasinya. Presiden Italia saat itu, Giuseppe Saragat, menyampaikan pujian atas keberanian gadis itu. Bahkan Paus Paulus VI memberikan dukungan moral dengan menemuinya secara pribadi. Sebagai seorang gadis muda--dengan kasusnya itu--Franca tentu saja dihadapkan pada rasa malu, terhina, takut, namun ia memilih berani mengubah keadaan. 

Franca tidak hanya memenangkan kasus tersebut. Ia telah berhasil mengguncang sistem hukum dan budaya di negaranya. Meski demikian tak serta merta hukum dan tradisi itu ditiadakan. Dibutuhkan waktu 15 tahun untuk betul-betul menggoncang sistem tersebut. Pada 1981, akhirnya hukum “pernikahan pemulihan” dihapuskan dari sistem hukum Italia. 

Selang dua tahun dari peristiwa tersebut, Franca menikah dengan teman masa kecilnya, Giuseppe Ruisi. Mereka menjalani pernikahan yang bahagia, damai dan tenang membesarkan anak dan cucu; jauh dari sorotan publisitas. Meski demikian, publik mengenang Franca Viola sebagai pelopor hak-hak perempuan di Italia. 

Dapatkan tips pernikahan bahagia dan rumah tangga harmonis di blog deestories.


Baca juga: Menjadi Perempuan Mandiri dan Merdeka

Pangku, Cermin Getir Kehidupan Perempuan di Pesisir Utara Jawa

Kapan hari kubaca ulasan singkat seorang kawan medsos tentang film Pangku yang baru ditontonnya. Betul-betul singkat. Padahal aku mengenalnya sebagai seorang akademisi yang gemar bercerita. Intinya, ia pulang nonton merasa tidak membawa apa-apa. Alias itu film terlalu biasa buat dia. Tentunya sah-sah saja, karena apresiasi seseorang sangat dipengaruhi pengalaman pribadinya. Bisa jadi ia tak banyak bersentuhan dengan dunia yang disodorkan Reza Rahadian lewat debutnya sebagai sutradara di film ini. Buatku sendiri, banyak hal cukup menancap di benak: kemiskinan, perjuangan perempuan, kondisi sosial-ekonomi masyarakat pesisir, hal-hal yang sangat akrab dalam perjalananku. 


Baca juga: Gundala, Sebuah Harapan Baru untuk Film Indonesia

Belakangan aku tak cukup mengikuti perkembangan film-film terbaru. Tapi aku sudah dengar soal Pangku ini dari kawan, yang pekan lalu nraktir nonton Rangga dan Cinta. Katanya, sebetulnya ia ingin mengajakku nonton Pangku, sayangnya belum tayang. Nah, awal pekan kemarin kok ya pas ada tawaran dari Dini, kawan di Radio Raka yang menjadi media partner penayangan film ini. Pas banget! Makasih, ya, Din dan Raka FM.


Sinopsis

Cerita diawali dengan gambaran perjalanan sebuah truk. Ada tiga orang dalam truk tersebut, sopir, kenek yang pulas tertidur di bagian tengah kendaraan, dan seorang perempuan. Si perempuan tampaknya menumpang pada penggal perjalanan yang tak diketahui si kenek. Karena begitu terjaga si kenek menunjukkan keberatannya. Atau barangkali bukan kenek, ya. Mungkin malah yang nandem, karena si sopir mengikuti anjurannya, menurunkan si perempuan di kawasan truk mereka mogok. 

Perempuan yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Sartika (Claresta Taufan) itu pun berjalan terseok menyandang tas kain di pundaknya. Mukanya tampak lusuh oleh minyak dan keringat. Kakinya yang hanya beralas sandal jepit, apalagi.

Tak jauh dari persimpangan jalan raya, ia segera menjumpai deretan warung yang semarak oleh lampu dan musik hingar. Pada langkah kesekian akhirnya ia menemukan warung milik Maya (Christine Hakim). Rupanya di situlah takdir barunya berawal.

Maya memberikan tumpangan kepada Sartika, yang ia sadari akan kesulitan menemukan pekerjaan di tempat lain. Terlebih dengan kondisi kehamilan tuanya. Secara ekonomi, kehidupan Maya tak terlalu baik. Rumahnya semi permanen berdiri di pinggir pantai tempat berlabuh kapal nelayan. Rumah tanpa sekat dengan onggokan barang di sana-sini. Namun, Maya merawat Sartika dengan baik, memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Begitu pula suami Maya. Ketika akhirnya bayi dalam kandungan Maya lahir, mereka menyebut diri Kakek dan Nenek.

Suatu hari Sartika memutuskan untuk melanjutkan tradisi yang pernah ada di warung Bu Maya: kopi pangku. Awalnya ia dipenuhi kegundahan dalam menjalankan profesi yang buatnya masih ganjil itu. Barangkali karena menyadari tak punya banyak pilihan, Sartika cepat belajar. Dari yang awalnya takut-takut, akhirnya ia mulai bisa berinisiatif agar para tamu lebih banyak berbelanja.


Baca juga: Berkaca dari Kasus Tiara, Femisida dan Peran Perempuan untuk Pencegahannya


Hingga suatu kali datanglah Hadi, pengepul ikan yang bertandang untuk ngopi, sekadar mengusir kantuk dalam perjalanan. Laki-laki itu pun tertambat hatinya akan kecantikan Tika dan bersimpati pada rumitnya kisah hidupnya yang harus membesarnya anaknya, Bayu, sendirian. Perhatian Hadi bersambut. Lambat laun, dua orang yang awalnya hanya saling mencuri pandang itu bersepakat untuk menjalani hubungan yang serius. Hadi dengan sepenuh hati memberikan dukungannya kepada Tika dan Bayu. Menyediakan diri sebagai bapak saat Bayu membutuhkan persyaratan administrasi di sekolah. Bukan sekadar itu, mereka meresmikan hubungan dalam pernikahan. Memang, tak ditunjukkan apakah itu pernikahan resmi baik secara negara ataupun agama, yang jelas mereka pindah ke rumah baru. 

Kehidupan mereka terus membaik, ditandai dengan bangunan rumah yang diperbarui, dan Hadi menyiapkan gerobak baru untuk Sartika memulai usaha mi ayamnya. 

Pepatah lama mengatakan, "sepandai-pandai tupai melompat, pada saatnya akan jatuh juga." Itulah yang terjadi pada si penolong, Hadi, yang tak lain adalah lelaki yang hanya memanfaatkan ketidakhadiran istrinya yang sedang menjadi buruh migran. Cerita berikutnya bisa ditebak.

Setelah didatangi istri Hadi, Sartika bergegas mengajak Bayu pulang kembali ke rumah Nenek. Membawa serta gerobak mi ayam yang belum tuntas digarap Hadi.

Sartika pun kembali ke kehidupan sebelumnya. Kali ini bertambah tanggungan baru, anak dalam kandungannya. Dengan ikhlas ia menjalani kehidupan yang tak muluk-muluk. Mimpi masa depan yang dikubur dan menjalani keseharian seapaadanya yang dihadirkan di depan mata. 


Baca juga: Perempuan-Perempuan dalam Karya Pramoedya Ananta Toer


Pangku, Kisah Getir Perempuan Pesisir

Getir, itulah yang kurasakan sejak scene awal film ini. Semuanya terhubung dengan beberapa pengalamanku. 

Aku punya bibi yang suaminya sopir truk jurusan Surabaya-Jakarta. Lalu, suaminya itu menghilang begitu saja, tanpa kabar, meninggalkan bibi dan kedua anaknya. Gambaran itu langsung muncul di benakku saat menyaksikan adegan pertama Pangku. Begitu scene rumah-rumah petak, gambaran yang muncul adalah rumah bibiku yang lain. Dua orang tua dengan 3 anak tinggal di sebuah rumah petak yang kondisinya tak jauh beda dengan rumah Bu Maya. Hanya, mereka bukan di pesisir melainkan di wilayah kumuh pinggiran Surabaya. 

Kemiskinan itu cukup akrab dalam pengalamanku. Masih untung, dalam keterbatasan keluargaku, kami masih tinggal di desa. Meski tinggal di rumah bilik, di tanah milik orang, paling tidak kami masih bisa menikmati makanan sekadarnya dari tanah yang kami tinggali. Pun, bukan ada di wilayah yang orang dengan mudahnya menceburkan diri ke prostitusi hanya demi memperbaiki nasib. 

Tentang Indramayu dan segala kerumitannya sudah kuketahui sejak lama. Dari kawan-kawan media, aktivis perempuan, dan beberapa kali singgah di kota ini. Warung-warung remang juga mengingatkanku pada kunjunganku ke Pangandaran bersama kawan-kawan penggiat kampanye soal HIV/AIDS. Di lokalisasi Pamugaran, pesisir Pangandaran, aku sempat berkenalan dengan seorang PSK asal Purbalingga. Ceritanya bisa baca di sini

Ya, nonton Pangku ini sejak awal sudah membuatku tertohok. Sesak. Adalah fakta bahwa tak semua orang memiliki kebebasan untuk memilih. Kalaupun ada, tak cukup pengetahuan dan pengalaman untuk melihat berbagai pilihan tersebut.

Selain temanya, film ini menarik buatku karena digarap dengan sangat baik. Kurasa Reza Rahardian sukses mendapuk dirinya sebagai sutradara. Patut diacungi jempol juga untuk pilihan temanya. Alih-alih memilih cerita yang glamor dan wangi, Reza malah menyajikan tontonan kampung kumuh, para pemeran yang dihujani debu dan peluh, dan kehidupan nyata yang senyata-nyatanya ada di sekitar kita. Bukan romansa yang mempertemukan pelacur dengan cinta sejatinya yang seorang milyarder. 

Semua berjalan sewajarnya, tanpa dijejali dengan pesan-pesan moral apa pun. Seolah memang Reza hanya memaparkan potret kehidupan masyarakat pesisir utara yang kali ini diwakili Indramayu. Warung kopi itu hanya oase, tempat sejenak singgah dari kepenatan hidup. Namun juga tak ada kesedihan di sana. Kerasnya kehidupan di pantura telah lama menguras air mata mereka. Bahwa kenyataan pahit bukanlah barang baru di tengah keseharian masyarakat ini. Dan memang diakui oleh Reza, segala persoalan itu telah menjadi sesuatu yang biasa buat mereka.

"Waktu saya ngobrol sama mereka, gila, mereka nggak punya waktu buat mengeluh. Nggak ada momen di mana kayak, 'ya namanya kita orang susah, Mas,' itu nggak ada. Mereka di situ kerja, yang penting bisa makan. Kebetulan, suami nelayan, pulang sebulan sekali. Jadi, kalau bisa kerja, kenapa enggak?" Demikian cerita Reza Rahadian seperti dikutip Historia (7/11/2025)

Tentu saja film ini berhasil karena para pemeran menjalankan lakonnya dengan sangat baik. Semua. Semua aktor dan aktris menjalankan perannya dengan prima. Dari semua pemain, aku hanya tahu Christine Hakim, yang sudah tak perlu diragukan kualitasnya. Ekspresinya, cara dia merokok, BH-nya yang nglembreh ke-mana-mana, sangat alami. Pun dalam ekspresi diam dan tangis yang begitu hidup. Selebihnya aku tak tahu seperti apa mereka melakonkan peran di film mereka sebelumnya. 


Baca juga: Laki-Laki dan Andil Pentingnya dalam Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender


Fedi Nuril aku cuma tahu cuitannya di X yang sekali waktu melintas. Tapi di film ini, menurutku oke. Dia memerankan tokoh Hadi dengan alami. Tak berlebihan. Begitu pula Claresta Taufan yang menampilkan diri sebagai perempuan yang tak cukup berdaya menghadapi nasibnya harus menjadi ibu tunggal, tapi memilih tidak menyerah dan berjuang dengan caranya. Penampilannya yang bermetamorfosis dari perempuan bertampang murung dan kusut menjadi sosok yang lebih berani juga berlangsung dengan halus, tanpa terlihat ada paksaan. Bahkan si bocah, Devano Danendra yang berperan sebagai Bayu juga menampilkan gaya yang ciamik. 

Yang agak luput dari pemantauanku adalah sosok si bapak. Setelah film usai aku baru tahu kalau si bapak diperankan oleh Jose Rizal Manua. Sebetulnya, pemeran yang lain aku juga tak tahu dari awal. Bedanya, sebetulnya aku cukup sering ketemu dengan penyair ini saat tinggal di Cikini. Kok aku nggak hafal? Mungkin karena tubuhnya terlihat lebih tambun. Senang juga melihat bapak ini masih terus berkarya di usianya. Beberapa kali dulu kulihat ia main catur sama Remy Sylado yang sudah berpulang tiga tahun lalu. Dan yang khas dari kehadiran Jose adalah kucing-kucing yang sliweran. Kurasa itu bukan tanpa sengaja. Reza pasti tahu kalau Jose Rizal adalah bapak kucing. 

Di Pangku, Jose Rizal Manua sama sekali tak bersuara. Tapi sikap, ekspresi, bahkan helaan napasnya mencerminkan sesuatu yang sarat dengan makna. Begitu pun hampir keseluruhan bagian film yang memang sangat hemat dialog ini telah berhasil menonjolkan makna walau tanpa kalimat verbal.

Meski bernuansa murung, film ini juga sempat memancing tawaku. Memang, lebih pada tawa miris. Misalnya adegan teman Hadi yang meminjam kamar untuk berhubungan dengan PSK. 

Beberapa scene mengingatkanku pada lagu Iwan Fals. Ada dua, Gali Gongli tentang bocah yang hidup di area pelacuran dan lagu berlirik begini:

     habis berbatang-batang tuan belum datang

     dalam hati resaha menjerit bimbang

     adakah esok hari anak-anakku dapat makan

     oh, Tuhan, beri setetes rezeki

Aku hafal betul lirik lagu yang judulnya aku baru tahu dari googling: Doa Pengobral Dosa.

Namun, dua lagu itu tidak muncul. Lagu yang kukenal belakangan dari suara Nadin Amizah, Rayuan Perempuan Gila, hadir dengan pas di film ini. Lalu di penghujung aku dikejutkan dengan suara Iwan Fals yang ternyata betul-betul ada. Pilihannya adalah "Ibu". Lagu ini seolah menjadi gong penutup bahwa film Pangku ini merupakan kisah perjuangan seorang perempuan, seorang ibu.

Buat yang belum nonton dan masih ada kesempatan buat mendatangi bioskop, tonton, deh.

Baca juga: Menjadi Perempuan Mandiri dan Merdeka

Menikmati Sajian Menu ala Aceh Lengkap dengan Daun Karinya

Kalian tahu daun kari? Bukan, bukan bumbu kari, ya. Bukan bumbu kari seperti salah satu menu mi instan itu. Atau jenis masakan seperti kari ayam dan lontong kari. Memang, kari di sini berkaitan dengan makanan. Kari yang kumaksud adalah tanaman bernama kari. Oke, kalau belum tahu. Aku sendiri baru kenal daun kari mungkin kisaran tahun 2019, saat seorang kawan mengajak mencicipi masakan ala Aceh, ayam tangkap. Waktu itu di bilangan Jalan Tubagus Ismail, Bandung. Sensasinya kena betul di lidah, yang bikin aku acap datang kembali ke rumah makan itu saat sedang kehilangan selera makan.



Baca juga: Kuliner Wonosobo: dari Mi Ongklok yang Manis Gurih hingga Entog Pedas 

Ini bukan endorse, tapi kali pertama aku mencicipi ayam tangkap di Kedai Tarik Ulur, aku langsung jatuh cinta. Daun karinya bertumpuk menjulang, renyah, kranci, dengan ayam yang bumbunya pas. Tak lebih, tak kurang. Disajikan bersama nasi hangat dan sambal yang aduhai betul. Aku selalu bilang, nasi dan sambil itu faktor penting sebuah sajian terasa nikmati atau tidak. Dan padanan yang disajikan kedai ini pas buatku. 


Manfaat Daun Kari bagi Kesehatan

Mengutip dari berbagai sumber, daun kari ternyata dikenal dengan beberapa nama, di antaranya salam koja atau temurui. Dua nama yang di kupingku juga masih terasa asing. Jadi, bisa dibilang aku memang blas nggak kenal ini tanaman.

Nama ilmiah pohon kari adalah Murraya koenigii, tanaman asli India dan Srinlanka. Sekilas aromanya menyerupai jeruk. Dengan aroma dan rasa khas yang dimilikinya, menjadikan daun kari sebagai salah satu bumbu penting masakan ala Aceh. Namun, selain sebagai bumbu, rupanya banyak kasiat lain terutama bagi kesehatan karena memiliki kandungan antioksidan, vitamin (A, B, C), dan mineral (zat besi dan kalsium). Manfaatnya antara lain membantu pencernaan, mengontrol gula darah, menjaga kesehatan jantung, dan melindungi rambut. 

Lebih detail kukutipkan dari Alodokter, manfaat daun kari bagi kesehatan.

Menangkal radikal bebas

Radikal bebas seperti polusi, asap rokok, dan makanan tidak sehat yang menyerang kita berpotensi memunculkan bermacam penyakit kronis. Nah, daun kari dengan kandungan flavonoid, vitamin C, dan senyawa fenolik dapat membantu melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas. 

Menjaga kesehatan saluran cerna

Ada yang punya kebiasaan mengunyah daun jambu batu saat diare? Nah, kali berikutnya bisa coba kunyah daun kari. Kandungan antiradang dalam daun kari bisa mengurangi iritasi pada lambung dan usus sehingga sering kali dimanfaatkan sebagai pereda masalah pencernaan ringan, seperti perut kembung, mual, atau diare. Selain itu juga dapat memaksimalkan kerja enzim pencernaan dan membantu penyerapan nutrisi serta melancarkan buang air besar.

Mengontrol kadar gula darah

Daun kari memiliki manfaat mengoptimalkan kerja insulin dan memperlambat penyerapan gula di usus sehingga dapat membantu mengontrol kadar gula darah. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan rujukan ilmiah sebagai alternatif pananganan diabetes melitus. 


Baca juga: Berkunjung ke Kota Atlas Semarang


Memenuhi kekurangan zat besi

Selama ini kenalnya daun bayam sebagai daun dengan kandungan zat besi tinggi? Daun kari memang belum terlalu familier karena keberadaannya yang belum semenyebar bayam. Namun, daun ini memang dapat dijadikan sumber alami zat besi. Konsumsi teratur dapat membantu lancarnya pembentukan sel darah merah dan mencegah anemia. 

Menurunkan kadar kolesterol

Kapan kamu terakhir cek kolesterol? Sekarang sudah tidak melulu karena usia tua, lo. Kolesterol tinggi dapat menyerang usia muda. Nah, sebagai bantuan suplai makanan, bisa masukkan daun kari ke dalam meu, karena tanaman ini dapat memabntu menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol jahat (LDL) dalam darah. 

Menjaga tekanan darah tetap stabil

Kalium memiliki fungsi menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Sedangkan antioksidan melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Kandungan antioksidan dan mineral ini dapat membantu mengontrol tekanan darah. 

Menjaga kesehatan liver

Daun kari diketahui memiliki manfaat menangkal racun. Selain itu kandungan aktioksidannya juga membantu merawat sel liver dari kerusakan akibat radikal bebas. Karena itu, daun kari dapat dimasukkan ke dalam bagian menu masakan sehari-hari. 

Menjaga kesehatan rambut dan kulit

Selain untuk bumbu masakan dan pengobatan dalam, daun kari ternyata juga diolah menjadi minyak. Olahan ini dimanfaatkan untuk mengatasi masalah ketombe, serta memperkuat akar rambut dan menjaga kesehatan kulit kepala. Cuma belum kutemukan referensi tentang cara pengolahannya hingga menjadi minyak. 

Gimana, sudah siap konsumsi rutin daun kari? Coba cari bibitnya, deh, biar bisa tanam dan panen dari lahan sendiri.

Baca juga: Berburu Rujak Cingur di Bandung


Aneka Resep Daun Kari untuk Masakan

Dalam perkembangannya, tanaman ini menyebar ke berbagai negara di Asia Selatan dan Tenggara, dan banyak dimanfaatkan sebagai bumbu masakan. Di Indonesia secara khusus dijadikan bumbu masyarakat Aceh. Paling tidak, ada 5 jenis masakan Aceh yang diketahui menggunakan daun kari sebagai salah satu komponen bumbunya, yakni payeh udeung, masakan menyerupai pepes udang dengan lebih berlimpah rempah termasuk daun kari dan asam sunti; kuah pliek, seperti gulai di tanah Jawa dengan bahan utama sayuran seperti terung, kacang panjang, labu siam, atau nangka muda, dengan bahan wajib ada yakni pliek atau glondo/galendo (Jawa/Sunda); gulai masam keueng, gulai asam pedas yang memadukan rasa segar, pedas, dan asam dengan isian ikan tongkol atau bandeng; keumamah, olahan ikan--biasanya tongkol--menjadi makanan kering; dan ayam tangkap, olahan ayam goreng dengan daun kari yang menggunung. 

Sebagai referensi, kusertakan beberapa resep masakan dari cookpad yang menggunakan daun kari. Menunya bukan hanya dari Aceh, tapi sudah dimodifikasi menjadi makanan umum. Jika ada yang asli dari Aceh, mungkin sedikit mengalami pergeseran.


Ayam Tangkap

Bahan:

  • 1 ekor ayam (kampung/negeri/pejantan) 
  • 10 tangkai daun kari, ambil daunnya
  • 7 lembar daun pandan, potong kecil
  • 8 buah cabai hijau, potong besar
  • 8 siung bawang merah, iris tipis
  • 1 buah jeruk nipis
  • 3 sdm air asam jawa (sekitar 3 biji)
  • 2 sdt garam 
  • 300 ml air kelapa 
  • Minyak goreng

Bumbu halus:

  • 6 siung bawang merah
  • 3 siung bawang putih
  • 5-8 buah cabai rawit hijau atau sesuai selera
  • 1 sdt kunyit bubuk
  • 1/2 sdt merica bubuk
  • 1 ruas jari jahe

Cara pembuatan:

  • Potong ayam dengan ukuran sesuai selera, cuci bersih. Bubuhi air dari perasan setengah bagian jeruk nipis, diamkan beberapa saat, bilas lalu tiriskan.
  • Siapkan wajan. Balur ayam dengan garam, sisa air perasan jeruk nipis, dan 3 sdm air asam jawa. 
  • Masukkan ayam ke dalam wajan. Masukkan bumbu halus, taruh merata. Tambahkan air kelapa, masak dalam keadaan tertutup dengan api kecil. 
  • Panaskan wajan dengan minyak goreng penuh. Goreng ayam dengan api sedang. Setelah kedua sisi ayam berwarna keemasan, masukkan daun kari, daun pandan, cabai hijau, dan bawang merah iris. Lanjutkan menggoreng hingga ayam dan bawang merah berwarna kecoklatan, dan rempah daunnya kering. Angkat, tiriskan. 
  • Sajikan ayam tangkap dalam keadaan panas, selagi dedaunannya masih kriuk. Jika suka, tambahkan sambal bawang.


Baca juga: Ragam Kuliner Halal dan Nonhalal di Bali


Gulai Kambing

Bahan:

  • 1/2 kg daging kambing (jika suka bisa ditambahkan tulangan dan jeroan) 
  • 300 ml santan segar 

Bumbu:

  • 8 siung bawang merah
  • 4 siung bawang putih
  • 10 buah cabe rawit merah atau sesuai selera
  • 5 buah cabe merah keriting atau sesuai selera
  • 1 sdt merica bubuk
  • 1/4 sdt jinten
  • 1/4 butir pala
  • 4 buah kapulaga
  • 4 cengkeh
  • 1 ruas jahe
  • 1 ruas kunyit
  • 1 ruas lengkuas
  • 5 lbr daun salam
  • 2 batang serai
  • 3 lbr daun jeruk
  • 3 tangkai daun kari
  • Garam dan penyedap rasa secukupnya

Cara pembuatan:

  • Rebus dalam panci bertutup rapat selama 10 menit. Buang air rebusan pertama, potong daging sesuai selera. Rebus kembali dengan air mendidih. Tambahkan lengkuas geprek, jahe geprek, daun salam, daun jeruk, dan sereh. Rebus selama 10 menit. Selama merebus, biarkan panci dalam keadaan tertutup. Matikan kompor, diamkan rebusan selama setengah jam dengan panci masih tertutup rapat. Setelahnya, buang air rebusan. Daging siap diolah ke proses berikutnya.
  • Haluskan bumbu selain yang dipakai untuk rebusan, tumis. Masukkan daun kari, aduk hingga wangi. 
  • Masukkan daging hingga teraduk rata dan bumbu meresap sempurna. 
  • Masukkan santan, tambahkan garam dan penyedap rasa. Koreksi rasa dan lanjutkan memasak gulai hingga matang.


Sambel Pete Ikan Layang Daun Kari

Bahan:

  • 6 ekor ikan layang (atau sesuai selera) 
  • 3 tangkai daun kari
  • 2 papan petai
  • 1 buah tomat
  • 1 batang sereh
  • 300 ml air 
  • Garam dan penyedap rasa secukupnya

Bumbu ulek:

  • 8 siung bawang merah
  • 3 siung bawang putih
  • 1 ruas kunyit
  • 1 ruas jahe
  • 2 cabe merah
  • 3 cabe ijo
  • 20 cabe rawit

Bumbu marinasi:

  • 1 buah jeruk nipis
  • Sejumput garam
  • 1/2 saset bumbu marinasi instan (jika suka)

Cara pembuatan:

  • Baluri ikan yang telah dicuci bersih dengan air jeruk nipis dan bumbu marinasi. Biarkan selama 10 menit, lalu goreng hingga matang. Tiriskan, sisihkan.
  • Ulek kasar bumbu, tumis hingga wangi. Masukkan serai dan daun kari, tumis sampai daun lemas. 
  • Masukkan petai dan tomat.
  • Terakhir masukkan ikan yang sudah digoreng. Masukkan air sesuai selera. 
  • Tambahkan garam dan penyedap rasa, koreksi rasa. Aduk perlahan agar ikan tidak hancur. Jika sudah matang dan tercampur rata, angkat dan hidangkan. 


Ayam Rica Sambel Ijo

Bahan: 

  • 275 gr ayam potong 
  • 1 buah jeruk nipis
  • 1 saset bumbu ayam goreng
  • 300 ml air
  • Secukupnya minyak goreng

Bumbu halus:

  • 10 buah cabe hijau keriting
  • 10 buah cabe rawit hijau
  • 5 butir bawang merah
  • 2 siung bawang putih
  • 1 cm jahe
  • 1 cm lengkuas
  • 1 butir kemiri

Bumbu cemplung:

  • 1 siung bawang putih, cincang halus
  • 1/2 siung bawang bombay, iris
  • 3 sdm minyak untuk menumis
  • 2 buah cabe hijau, iris serong
  • 1 batang serai, geprek
  • 3 lbr daun jeruk
  • 1 lbr daun salam
  • 4 tangkai daun kari, ambil daunnya
  • 1 sdm saus tomat
  • Garam dan penyedap rasa secukupnya
  • 100 ml air

Cara pembuatan:

  • Cuci bersih ayam, baluri air perasan jeruk nipis. Setelah didiamkan selama 5 menit, bilas.
  • Rebus ayam dalam panci tertutup bersama bumbu ayam goreng sampai matang.
  • Goreng ayam hingga keemasan, angkat, sisihkan.
  • Haluskan bumbu. 
  • Tumis bawang putih, bombay, dan cabe hijau hingga harum. Masukkan daun salam, daun jeruk, serai, dan daun kari. Aduk rata hingga tercium aroma khasnya.
  • Masukkan bumbu halus, tumis dengan pakai api kecil. 
  • Masukkan saus tomat, garam, dan penyedap rasa. Aduk merata. 
  • Masukkan ayam, tambahkan air. Aduk, koreksi rasa. Lanjutkan memasak hingga air menyusut sejumlah yang diinginkan. 
  • Angkat, hidangkan. 

Empat cukup, ya. Bisa dicoba seminggu sekali dalam sebulan. Masakan nuansa Aceh menggunakan daun kari. Resep-resep lain coba cek rubrik kuliner-nya kawan food blogger yang seru-seru!

Selamat mencobaaa ....

Baca juga: Bali 2024, Wisata Kuliner dan Religi

Kesehatan Mental dan Fisik dari Tinjauan TCM dan Art Therapy sebagai Salah Satu Solusi

Ketertarikanku terhadap tema kesehatan mental membawaku ke tayangan iklan di berbagai media sosial. Tayangan-tayangan itu berisi promosi kelas-kelas berbayar terkait kesehatan mental. Betul-betul cepat sekali apa yang kita lakukan terpantau algoritma aneka platform di internet ini. Nah, salah satu sempat kujajal kelasnya adalah kelas Art Therapy yang digelar secara daring. Kelas ini bertujuan menjadi wadah belajar untuk ekspresi emosi dan pelepasan emosi yang sehat. Kebetulan saat ini aku juga tengah belajar akupunktur, yang menggunakan falsafah dasar Pengobatan Tradisional Tiongkok (Traditional Chinese Medicine/TCM).


Baca juga: Kesehatan Mental dalam Skala Hawkins

Aku baru tahu, ternyata cukup banyak platform yang juga menyelenggaran kelas serupa. Tapi algoritma mempertemukanku dengan kelas yang diampu oleh Konselor dan Energy Reader, Katherine Eka Laila. Begitulah, aku ikut kelas daringnya, dan ruang evaluasi dan konsultasi dibuka selama 14 hari ini grup whats app. 


Apa itu Art Therapy?

Sebelumnya, aku suka menggambar doodle ala-ala. Itu pun manual saja, belum sampai menggunakan aplikasi gambar, misalnya canva. Tak pernah belajar secara khusus soal teori coret-coret ini, termasuk jika dikaitkan dengan terapi kesehatan mental. Dulu, ini terhitung sering kulakukan. Sekadar karena ingin menggambar saja. Sementara buku mewarnai malah blas tak tersentuh. Niatnya belum bulat sepertinya buat mewarnai.  

Dalam kelas daring yang kuikuti, lebih kurang dijelaskan bahwa art therapy merupakan suatu bentuk psikoterapi yang menggunakan media seni sebagai sarana utama untuk membantu mengekspresikan diri dan memahami emosi untuk meningkatkan kesehatan mental. Terapi ini memudahkan kita dalam mengkomunikasikan emosi, melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda, dan memahami diri dengan lebih baik. Beberapa persoalan yang dapat dibantu tangani antara lain peristiwa traumatis, stres berkepanjangan, kecanduan obat-obatan, gangguan mental, dan masalah perilaku pada anak.


Baca juga: Doodle sebagai Sarana Melatih Imajinasi


Dalam praktiknya, kelas-kelas art therapy menggunakan metode yang beragam. Misalnya penyaluran emosi dilakukan melalui musik, tulisan, tari, atau seni peran. Tentu saja dibutuhkan pendamping ahli atau konselor yang bertugas melakukan evaluasi dari proses yang dijalankan oleh tiap peserta. Karena yang dilihat dalam terapi ini bukanlah hasil akhir yang prima seperti lukisan yang bagus, suara yang indah, gerakan tari yang memesona, melainkan proses dari awal memulai hingga waktu terakhir yang ditentukan. 

Misalnya art therapy dilakukan dengan metode gambar. Peserta diminta untuk menggambar motif-motif tertentu yang memiliki makna masing-masing sesuai emosi yang tengah dirasakan. Seperti yang kuikuti di kelasnya Katherine Eka Laila, setelah pertemuan zoom lebih dari 2 jam, pendampingan dilakukan selama 2 minggu setelahnya. Peserta diminta untuk memotret gambar yang dibuat. Gambar pertama adalah motif sesuai dengan emosi yang sedang dialami saat melakukan coretan. Berapa pun motif yang bisa digambarkan. Tahap berikutnya adalah membuat pola baru--menimpa yang lama--yang dimaksudkan untuk mengatasi emosi yang sebelumnya. Gantinya tentunya yang lebih ceria, lebih positif. Corak lama kemungkinan besar tidak akan hilang, tetap terlihat mesti ditutupi. Hal itu menunjukkan bahwa jejak persoalan dalam hidup bisa jadi tetap ada, tapi kita sudah menyikapinya dengan cara yang berbeda. 

Baca juga: Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup Lebih Baik


Mengapa Kita Perlu Melepaskan Emosi?

Dalam TCM emosi merupakan salam satu penyebab penyakit fisik atau penyakit di tubuh kita. Emosi adalah energi yang bergerak. Saat ia tertahan, ia akan menjadi sumbatan, memadat dan akan menjadi pengganggu kesehatan, baik fisik maupun mental. Dengan emosi yang terjaga dan diatur pelepasannya, maka keseimbangan energi (qi) akan terjaga. Qi ini merupakan bahasan penting di TCM. Dalam filsafat Tiongkok kuno, qi diartikan sebagai "energi vital" atau "kekuatan hidup". Qi mengalir melalui alam semesta, tubuh, dan semua makhluk hidup. Qi dapat menjaga kesehatan dan keseimbangan tubuh jika mengalir dengan baik. Di lain waktu aku akan buat catatan tentang TCM secara khusus.  

Di TCM secara detail disebutkan bahwa emosi kita terhubung dengan organ-organ tertentu secara khusus.

Kemarahan dan Hati (Liver)

Kemarahan memicu naiknya qi. Gejala yang dengan mudah kita kenali adalah wajah memerah, leher kaku, sakit kepala, pusing, dan tinitus. Kemarahan juga dapat menyebabkan gangguan lambung, usus, dan jantung. Jika amarah ditekan, akan terjadi stagnasi qi hati yang menyebabkan gangguan pada organ liver.

Kegembiraan dan Jantung

Emosi yang berkaitan dengan jantung adalah gembira yang memperlambat qi. Kegembiraan berlebihan atau sebaliknya, depresi karena tidak adanya sukacita dapat mengganggu kerja jantung. Gejala yang mudah kita kenali dari kondisi ini adalah gairah berlebihan, palpitasi, insomnia, dan ujung merah ke lidah. 


Baca juga: Body Process dan Upaya Membebaskan Diri dari Depresi


Kesedihan dan Paru-Paru/Jantung

Emosi sedih dapat melarutkan qi. Gejala yang muncul adalah kelelahan, sesak napas, rasa tidak nyaman di dada, menangis tanpa alasan, depresi. Pada beberapa kasus di tubuh perempuan, kondisi ini dapat menguras darah di hati.

Kekhawatiran/Kecemasan dan Paru-Paru/Limpa

Rasa khawatir dan cemas yang berlebihan dapat mengikat qi jadi tersimpul. Gejala yang dapat dikenali berkenaan dengan organ paru adalah sensasi tidak nyaman di dada (paru-paru), sedikit sesak napas, batuk kering, suara melemah, bahu tegang, kulit pucat. Sedangkan pada limpa, gejala yang muncul adalah kehilangan napsu makan, sensasi tidak nyaman di epigastrium, distensi abdomen, kelelahan, dan kulit pucat.

Terlalu Banyak Berpikir dan Limpa

Kita di masa kini menyebutnya over thinking, kondisi yang dapat membuat qi menyimpul. Gejala yang ditimbulkan adalah nafsu makan yang memburuk, sedikit epigastrik, distensi dan rasa tidak nyaman di perut, kelelahan, dan kulit memucat.   

Ketakutan dan Ginjal

Ketakutan dapat menyebabkan qi turun. Gejala yang bisa kita kenali adalah enuresis nokturnal, inkontinensia urisn, dan diare. Pada kasus lain dapat pula terjadi qi yang justru naik dan menimbulkan gejala palpitasi, insomnia, berkeringat di malam hari, mulut kering, dan malar flush.

Keterkejutan dan Jantung

Rasa terkejut yang ekstrem dapat menceraiberaikan qi. Gejala yang muncul adalah jantung berdebar, sesak napas, dan insomnia. Jika kondisi ini berlangsung lama dan berkepanjangan dapat melukai ginjal.

Demikianlah, ketegangan emosional dapat menyebabkan ketidakharmonisa organ dalam tubuh kita. Dan sebaliknya, ketidakharmonisan organ internal dapat menyebabkan ketidaksimbangan organ tubuh. Makanya pada judul-judul kecil di atas kutuliskan menggunakan "dan" karena keduanya saling memberikan pengaruh. Dibutuhkan penanganan secara holistik untuk menjadikan keduanya selaras.


Baca juga: Waspada Kesehatan Mental dan Upaya Penanganan dengan Terapi Energetik


Jadi, persoalan emosi itu bukan hal sederhana, ya. Jangan menggampangkan. Pada jangka panjang, stagnasi emosi membuat tubuh kita digerogoti penyakit. Ingat, ya, emosi itu hadir untuk menyampaikan pesan kepada kita. Mari berdamai dengan emosi dengan cara mengelolanya. Caranya bukan dengan menekan emosi yang kita rasakan, melainkan menghormati emosi itu pengalaman batin yang menumbuhkan kesadaran kita terhadap Semesta besar dan semesta kecil, yakni tubuh kita.

Bagi yang membutuhkan bantuan melancarkan stagnasi emosi melalui terapi terapi energetik, sila kontak aku, ya: WA Ibu Meong.