Featured Slider

Pendidikan Seks sebagai Bagian Penting dari Parenting

Kapan hari di medsos yang --menurutku-- paling berisik sekaligus bisa jadi sumber informasi, kutemukan satu thread yang membahas perselisihan yang terjadi antara pasangan (pacar). Lebih kurang dalam tayangan itu diceritakan si laki-laki marah gara-gara mendapati darah haid pacarnya tembus ke pakaian. Reaksi netizen beragam. Tapi sebagian besarnya menyebutkan si lelaki muda itu dianggap tak cukup mendapatkan pendidikan seks (sexual education). 



Baca juga: Mengapa Perempuan Perlu Bekerja

Sering kudengar cerita tentang anak-anak yang bertanya tentang alat kelaminnya. Atau bertanya proses kelahirannya. Atau keinginan mereka memiliki adik, yang konon bikin orang tua kewalahan untuk menjawabnya. Karena tak pernah berada di lingkungan dengan anak-anak, aku tak punya pengalaman berinteraksi dengan anak-anak secara langsung. Tapi rasanya cukup banyak kutemukan cerita yang menunjukkan bahwa sebetulnya anak-anak, bahkan dari usia balita memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi. Pastinya sangat disayangkan jika keingintahuan itu tidak terpenuhi lewat pemberian informasi yang memadai. 


Kapan Pendidikan Seks Sebaiknya Mulai Diterapkan?

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) membagi periode pendidikan anak dan remaja dalam kelompok usia, yakni: 5-8 tahun, 9-12 tahun, 12-15 tahun, dan 15 hingga di atas 18 tahun. Materi pembelajaran untuk anak-anak menyesuaikan pembagian usia tersebut. Termasuk bahasan terkait seksualitas.

Organisasi di bawah naungan PBB yang berfokus bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan ini pada 2018 lalu mengeluarkan panduan mengenai pendidikan seks (International Technical Guidance on Sexuality Education). Disebutkan ada delapan topik yang perlu dibahas dalam pendidikan seksualitas, meliputi: 

  • Relasi 
  • Hak asasi dan seksualitas dalam budaya 
  • Gender 
  • Pencegahan terhadap kekerasan seksual 
  • Kesehatan dan kesejahteraan terkait seksualitas 
  • Tubuh manusia dan pertumbuhannya 
  • Seks dan perilaku seksual 
  • Kesehatan reproduksi 

Penjabarannya tak selalu mudah, terutama bagi lingkungan dan orang-orang yang menganggap seksualitas adalah hal tabu. Padahal UNESCO memberikan gambaran materi yang terbilang memudahkan. 

Dua kelompok pertama adalah anak-anak usia Sekolah Dasar (SD).

Untuk kelompok usia pertama, TK hingga kelas 3 SD dapat diberikan pemahaman tentang keluarga dan peran setiap anggota keluarga. Diperkenalkan pada organ tubuh, perbedaan organ laki-laki dan perempuan, dan perlunya menjaga privasi terkait organ tubuh. Terhubung pula dengan bahasan soal hubungan sosial yang sehat.  

Untuk siswa kelas 4 – 6 SD dapat dilakukan pengulangan dari materi kelas sebelumnya dengan ditambahi soal kesehatan organ reproduksi, konsep diri, dan etika berelasi sosial. Termasuk di dalamnya cara melindungi diri dari pelecehan atau kekerasan seksual. 

Di kelompok tiga, kita dihadapkan kepada anak-anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Memasuki SMP, anak-anak sudah mendapatkan mata pelajaran biologi, yang di antaranya mempelajari tubuh manusia. Di masa ini bisa disampaikan materi soal aneka macam relasi sosial yang lebih intim seperti pertemanan, pacaran, suami-istri. Konsep gender juga bisa diberikan, juga serta perilaku seksual dan konsekuensinya. Tak ketinggalan bahasan soal kesehatan reproduksi termasuk siklus menstruasi dan kehamilan.  

Pengenalan terhadap fisik manusia juga perlu dibarengi dengan konsep penghormatan terhadap tubuh. Dengan begitu dapat dicegah potensi perilaku pelecehan maupun sebagai korban tindak pelecehan. 

Kelompok terakhir, anak-anak usia Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga perguruan tinggi.

Pada jenjang ini, para pengajar tetap perlu membahas ulang materi yang telah disampaikan sejak jenjang awal, semata memastikan para siswa memiliki pemahaman yang setara mengingat kemungkinan mereka tidak mendapatkan materi yang seragam. Materi berikutnya adalah tentang kehamilan dan kelahiran, pengendalian kelahiran, hak reproduksi, serta tugas dan peran gender. Di usia menuju dewasa ini, pembelajaran tentang kesehatan seksual makin kental, dibarengi dengan kesadaran akan dampak perilaku seksual. Mereka juga sudah mulai dibekali pengetahuan tentang membangun keluarga yang sehat. 

Baca juga: Berhati-hatilah dengan Siapa Kamu Bercinta


Bagaimana Penerapan Pendidikan Seks di Sekolah?

Siapa yang tidak miris mendengar kabar peristiwa pencabulan hingga pemerkosaan yang terjadi di lingkungan pesantren. Bukan perihal lingkungannya, itu bahasan yang lain. Kebetulan saja kasus yang akhir-akhir ini berendeng muncul adalah laporan pelecehan seksual terhadap anak-anak didik di pesantren. Yang kondisinya bahkan hingga si anak-anak perempuan itu hamil. 

Mendapati kabar-kabar itu, buatku pribadi, mengisyaratkan bahwa pendidikan seksual belum dijalankan dengan baik. Di lingkungan sekolah maupun di rumah.

Seperti dikutip CNN Indonesia (cnnindonesia: kemdikbud-pendidikan-seks-sudah-masuk-kurikulum/21 Mei 2016), Direktur Pendididikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad menyatakan bahwa mereka telah memasukkan materi pendidikan seksual pada 2013 untuk tiap jenjang pendidikan dalam kurikulum pembelajaran. Ia mengakui bahwa materi pendidikan seksual tidak dicantumkan dalam kurikulum. Namun, secara eksplisit masuk dalam pendidikan kesehatan reproduksi. 

Hamid Muhammad menyampaikan hal tersebut sebagai bantahan atas opini yang beredar di masyarakat yang menganggap Kemdikbud abai terhadap isu pendidikan seks ini. Saat itu (2016), Hamid mengklaim pendidikan seksual tidak perlu dijadikan kurikulum tersendiri. Menurutnya, selama pihak sekolah bisa menyampaikan materi pendidikan terkait kesehatan reproduksi, pelajar bakal bisa memahami soal seksualitas. Saat itu, tampaknya detail model pengajaran diserahkan ke masing-masing sekolah. Dengan begitu, rasanya sulit, ya, untuk membuat evaluasinya. 

Sayangnya aku tak berhasil menemukan sumber informasi terbaru soal kebijakan pendidikan seks ini dikaitkan dengan kurikulum sekolah. Tolong ingatkan, ya, kalau memang pasca UNESCO mengeluarkan rekomendasi pembelajaran tentang pendidikan seks ada kebijakan baru dari pemerintah. 

Sejauh ini, dalam bayanganku detail pendidikan seksual ini diserahkan ke masing-masing institusi. Kemudian menjadi penting apa yang harus disiapkan orang tua. Bagaimana topik-topik soal pendidikan seks bisa dijadikan bagian dari parenting modern. Orang tua membekali anak-anaknya dengan pemahaman yang tepat perihal seksualitas. Tak perlu dilakukan pembatasan aktivitas anak jika mereka memahami pilihan tindakannya. 

Dengan kelonggaran akses internet, keingintahuan anak-anak perihal seksualitas dapat dengan mudah dipenuhi oleh internet, yang berpotensi melahirkan perbedaan nilai. Tetap, menjadi PR bagi orang tua agar anak-anak memiliki pemahaman yang tepat tentang seksualitas. Pada saatnya, mereka tahu cara menempatkan diri di tengah lingkungannya, tak lagi gagap saat ada persoalan datang. Mereka akan menjadi anak-anak yang memahami tubuh dan dirinya secara utuh, dapat melindungi diri dari pelecehan dan kekerasan seksual, dapat berlaku adil terhadap sesama. 

Pendidikan seks yang tepat dapat membawa generasi muda menuju masa depan yang sehat. Tanpa asumsi, tanpa prasangka, tanpa penghakiman, menghargai tubuh, dan menghormati pilihan orang lain. 

Baca juga: Kekerasan Verbal dan Trauma Healing



 

Tak Cuma Percantik Penampilan, Perhiasan Miliki Sejarah dan Perkembangan yang Unik

Siapa bilang perhiasan hanya milik kaum perempuan? Dalam sejarahnya, laki-laki juga gemar mengenakan perhiasan. Tentunya sesuai dengan peruntukannya pula. Pada setiap masa ada kekhasan, seturut dengan peristiwa budaya. Misalnya, di masa lalu, perhiasan terutama yang dikenakan kaum lelaki bukan sekadar penghias tubuh melainkan lebih memiliki fungsi sebagai senjata, menjadi perangkat "tolak bala". Begitu pun dengan bahan yang dipakai. Di era terdahulu, bahan perhiasan semata diambil dari alam. Perkembangan berikutnya memanfaatkan banyak sumber daya lainnya. 

Baca juga: Memilih Batu Kristal yang Selaras dengan Energi Kita

Tahun kemarin sempat menerima pekerjaan penulisan, membuat narasi tentang museum yang rencananya akan didirikan di IKN. Jadi terpikir buat menyalin sebagian informasinya di sini. Karena dari hasil perburuan data, ternyata seru. Negeri kita ini betul-betul kaya akan budaya. Bahkan urusan perhiasan saja unik ceritanya.


Fungsi Perhiasan dalam Perkembangannya

Indonesia memiliki wilayah yang luas, terpisah-pisah oleh laut, dan masing-masing memiliki tradisinya yang khas. Jadi, bisa dibayangkan jika semua produk budaya tercatat lengkap semua secara detail. 

Dari sejumlah referensi yang kudapatkan, setidaknya ada 5 fungsi perhiasan yang pernah berlaku di tanah air. 

Simbol status 

Simbol status ini masih berlaku di masa kini. Ditandai dengan bahan yang digunakan, misalnya emas, perak, permata, dan batu-batuan atau jenama tertentu. Sebuah jenama bisa mewakili harga dan kelas atau status sosial. 

Di masa lalu, simbol status itu mewakili keluarga kerajaan atau keluarga jelata. Kalangan jawara atau rakyat biasa. Kalangan kaya atau golongan miskin. 

Contohnya, perhiasan Mamuli dari Sumba biasa digunakan oleh keluarga raja atau pemimpin  masyarakat. Kalung Kalububu dari Pulau Nias menandakan pemakainya adalah seorang telah berhasil mengalahkan musuh. Mahkota yang terbuat dari emas dan permata merupakan simbol seorang raja atau sultan.

Baca juga: Wisata Kuliner dan Religi di Bali, 2024


Penolak bala

Apakah perhiasan dengan fungsi ini masih berlaku hingga kini? Masiiiiih! Banyak orang yang mempercayai hal tersebut. Namun, di masa lalu, perhiasan sebagai penolak bala ini direncanakan dengan sungguh-sungguh sebagai bagian dari tradisi.

Di Kalimantan, orang Dayak mengenakan perhiasan kalung yang terbuat dari manik-manik berbahan tulang dan taring binatang yang diharapkan akan menambah kekuatan pemakainya. 

Di Lombok, ada kalung berupa untaian beberapa komponen dalam bermacam bentuk, seperti emas, perak, dan batu mulia yang dikemas dalam aneka bentuk binatang. Ornamen lainnya berupa uang kepeng, manik-manik dari batu dan kaca, perak berbentuk lempengan, dan lain-lain. Kalung ini menghindarkan pemakainya dari segala rintangan dan bahaya yang mengancam.

Di Papua, banyak suku di sana menggunakan perhiasan berupa kalung berbahan biji-bijian, kuku dan taring binatang buas. 

Di Sulawesi Tengah ada perhiasan Taiganja. Bahannya umumnya perak. Bagi yang berduit, bahannya bisa dari emas. Perhiasan yang bentuknya menyerupai bentuk alat vital perempuan ini berfungsi sebagai pelindung dari pengaruh jahat.

Sarana pengobatan

Para pencinta batu perhiasan, biasanya meyakini bebatuan itu memiliki energi tertentu yang dapat membantu manusia, di antaranya untuk pengobatan. Misalnya agate atau akik diyakini bisa membantu menurunkan demam. Topas dapat mencengah penyakit dalam akibat luka bakar. Safir biru berfungsi sebagai penolak racun. Giok memabntu atasi masalah pencernaan. Dan sebagainya. 

Kepercayaan ini dipupuk sejak masa lalu. Perhiasan terbuat dari material tertentu dengan bentuk khusus yang dianggap memiliki kekuatan. Bisa juga bentuk asli benda yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti kuku atau taring binatang. Selain itu, bebatuan juga merupakan material penting pengobatan. 

Aksesori penari

Salah satu fungsi tarian adalah sebagai bagian dari ritual. Saat tampil, para penarinya dilengkapi dengan aneka perhiasan. Kini, tarian tak hanya bagian ritual namun juga pertunjukan. Tentu saja perhiasan sebagai pelengkap akan dibuat semeriah dan semewah mungkin agar tampil maksimal. 

Bekal kubur

Ada yang nyaris seragam dalam tradisi berbagai suku di tanah air dalam pemanfaatan bebatuan dan cangkang kerang. Sejak masa prasejarah, perhiasan-perhiasan tersebut dijadikan bekal kubur.

Temuan arkeologis terkait perhiasan sebagai bekal kubur itu dapat ditemukan di antaranya di Kubur Batu Pandusa, Bondowoso, Waruga di Sulawesi Utara, Batu Dolmen di Sumba, Situs Pasir Angin di Bogor, Situs Gilimanuk di pantai Barat Bali.



Baca juga: Menjajal Trans Metro Pasundan


Museum Perhiasan

Apakah kamu tertarik dengan museum khusus perhiasan? Aku, sih, iyes! Hasil pencarian di dunia maya, meski tak banyak, ada beberapa museum yang mengkhususkan diri menampilkan perhiasan.


Museum Perhiasan Runa

Museum ini didirikan dan dikelola oleh Runa Palar bersama sang suami, Adriaan Palar. Pasangan ini mendirikan museum tersebut pada 1976, menjadi museum ini disebut-sebut sebagai museum perhiasan pertama di tanah air. Awalnya adalah kegemaran mereka dalam merancang busana dan membuat perhiasan sendiri, baik dari bahan perak atau emas. Produk Runa yang bisa ditemukan di museum yang berlokasi di Gianyar, Bali ini antara lain kalung, cincin, gelang, bros, giwang, dan lain-lain. Selain perak dan emas, perhiasan dilengkapi dengan batu mulia atau semi mulia. 


Museum Naga Sanga Amurwabhumi

Aku pernah mengunjungi museum ini. Lokasinya di Denpasar. Pemiliknya adalah keluarga I Nyoman Eriawan yang juga pemilik jenama UC Silver Gold.

Selain membuat produk yang bisa langsung dibeli oleh pengunjung, UC Silver Gold membangun museum yang direncanakan untuk menampilkan jejak sejarah perhiasan Nusantara. Meski tak selengkap yang direncanakan semula, namun buatku sendiri sangat menarik dan layak kunjung. Ruangan museum diwarnai bongkahan batu alam dan piranti dari kayu yang sudah berumur. Yang monumental tentunya patung naga yang terbuat dari 720 kilogram perak murni 925 sterling, dengan panjang 20 meter, lebar 1,35 meter, dan tinggi 1,8 meter. Sang Naga ini dikerjakan dalam kurun 5 tahun. 

Selain untuk beli perhiasan emas, di UC Silver Gold ini juga dilengkapi dengan workshop yang menampilkan cara membuat perhiasannya. 


Baca juga: Melihat dari Dekat Naga Sanga Amurwabhumi


Cukup dua ini saja yang kutemukan. Barangkali ada yang punya referensi terkait museum perhiasan, boleh berbagi informasinya, ya.

Museum-museum umum juga memiliki koleksi perhiasan meski tak banyak. Biasanya ada spot khusus untuk memajang perhiasan lengkap dengan catatan sejarahnya. Baik perhiasan asli yang datang dari masanya maupun sekadar replika. Pada momentum tertentu akan digelar pameran khusus dengan tema perhiasan nusantara. Ini seperti yang kutemukan dalam salah satu kegiatan yang diselenggarakan oleh Museum Adityawarman, Padang, yang pada Oktober 2022 lalu menggelar pameran perhiasan yang menampilkan secara khusus sebanyak 90 koleksi, yakni 75 koleksi emas dan perak milik Museum Adityawarman, sisanya adalah koleksi milik Museum Kotagede Yogyakarta.

Lalu, bagaimana kelanjutan museum perhiasan yang sedianya akan dibangun di IKN? Entahlah, aku tak mendapatkan informasi perkembangannya. Padahal bisa jadi banyak yang ingin mengunjungi museum khusus perhiasan ini, atau sekadar jalan-jalan di kawasan IKN. Namun, mau di IKN atau di lokasi lain, sepertinya menyenangkan sekali memiliki museum khusus perhiasan Nusantara. 

Baca juga: Mengenal Tempat Pemujaan Umat Hindu

Pulihkan Trauma dan Ciptakan Hidup Sehat Selaras dengan Terapi BCR

Trauma healing merupakan topik yang sering kuangkat di blog. Mengapa? Karena aku tahu persis. Aku menghadapi orang-orang yang mengalaminya. Aku sendiri mengalaminya. Aku merasakan dampaknya, baik bagi pertumbuhan mental dan batin diri sendiri maupun dalam interaksi dengan orang lain. Bukan cuma sekali-dua kali aku mencari solusi. Mulai dari pengobatan psikiatri hingga pengobatan alternatif lainnya. Terakhir, aku dipertemukan dengan Body Communication Resonance (BCR), sebuah metode energi terkait kesadaran dan kesehatan yang dikembangkan oleh dr. Dhavid Avandijaya Wartono.


Baca juga: Trauma Bonding, Luka yang Sering Disangka Cinta


Aku menuliskan ini sebagai bagian dari perjalanan panjang trauma healing. Titik mulanya adalah saat aku sudah di Bandung, masih berstatus mahasiswa sekaligus bekerja di sebuah radio siaran di Bandung. Saat itu menemukan kawan senior yang kurasa pas sebagai tempat bercerita. Trauma terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang-orang dekat dan kekerasan verbal yang dilakukan orang tua. Usai bercerita, aku seperti mengalami korslet. Barangkali karena terlalu lama menyimpan cerita itu sendirian, mencoba mengelola emosi sendirian. Ini awal perkenalanku dengan obat-obatan dari psikiater. Namun, ini sekaligus menjadi pengantar aku melakukan upaya untuk hidup lebih baik.


Pengalaman Traumatis dan Perkenalan dengan Terapi BCR


Pada banyak catatanku tentang trauma, aku selalu mengingatkan tentang pentingnya kesadaran bahwa diri kita memiliki trauma. Karena hal itu merupakan solusi pertama sebelum menemukan solusi berikutnya. Banyak terjadi orang menafikan trauma yang digendongnya bertahun-tahun. Selalu berusaha menutupi rasa sakit, takut, dan emosi lain yang menyertai dengan mengatakan "aku baik-baik saja" atau "aku oke, kok". Kalimat-kalimat yang memanipulasi kondisi diri sendiri tersebut pada akhirnya tanpa disadari telah memengaruhi pikiran bawah sadar, tentang bagaimana kita memandang dunia, pola interaksi sosial, hingga pertimbangan-pertimbangan dalam mengambil keputusan. 

Trauma bisa dialami oleh siapa pun. Skalanya saja yang berbeda. Selain itu juga bergantung pada cara menyikapinya. Tapi, aku yakin, setiap orang memiliki trauma. Sayangnya tak semua mau mengakui apalagi berusaha untuk memulihkannya.

Aku sendiri memilih untuk pulih, untuk hidup lebih sehat, dan jika memungkinkan bisa memberikan andil bagi sekitar. Prosesku terbilang lama, mengalami pasang surut, bolak-balik ke kondisi awal. Kini, dengan sekian pengalaman terbaru, kusadari dalam prosesku selama ini ada masalah dalam receiving. Selain itu, karena berulang kali salah dalam mengambil keputusan akhirnya terus terjebak dalam masalah yang sama. 

Seperti yang kutulis di pengantar, aku mengawali upaya pemulihan dengan berkonsultasi ke psikolog, yang lalu disarankan menemui psikiter. Kebetulan psikolog dan psikiater ada di lingkaran aku kerja. Cukup dimudahkan. Pada tahun-tahun berikutnya sempat menghilang, tak peduli dengan aneka trauma yang membuatku makin tenggelam dalam keputusan-keputusan yang semakin menjauhkanku dari "sehat secara mental". 

Baca juga: Kamu Punya Perilaku Manipulatif? Kamu Butuh Trauma Healing


Singkat cerita, aku kembali menemukan "cahaya" yang hilang, mencoba menelusurinya kembali dan berusaha meraih kesadaran diri yang bertahun raib. Hingga ada di titik pertemuan dengan komunitas Hidup Ceria di acara Sunday Ceria yang dibawakan oleh dr. Dhavid Avandijaya Wartono.

Seorang kawan mengabariku agenda zoom meeting, salah satu tema di Halloween Series. Cek website, hubungi admin untuk tanya beberapa hal, lalu begitu saja nyemplung ke kegiatan mereka. 

Beruntung, tak lama dari perkenalan itu, ada sesi gift yang ditawarkan oleh dokter yang akrab disapa dok Dhave ini. Terapi BCR jarak jauh. Tentu saja aku langsung tertarik. 

Terapi jarak jauh ini menggunakan media whatsapp. Belakangan kuketahui bahwa terapi ini merupakan upaya dr. Dhave mematangkan modalitas barunya. Sepanjang bulan Desember 2024 berlangsung sesi jarak jauh sebanyak 4 batch, masing-masing butuh waktu 4 hari; dengan rincian per harinya untuk: 

  1. Trauma dan luka batin (phobia traumatic event, nontraumatic event, depresi, anxiety)
  2. Healing pain
  3. Chakra, meridien, elemental clearing
  4. Energy and entities experience 


Aku mengikuti 3 kali sesi jarak jauh. Tidak di semua hari dan pengalaman sensasinya berbeda-beda. 

Misalnya pada sesi jarak jauh pada 9 Desember, kusampaikan pengalamanku: 

"Saya merasakan hangat, lebih lapang, lebih gembira. Apa artinya saya sudah baik-baik saja, dok? Karena saya berjibaku dengan poin satu ini udah lama banget. Mulai dari psikiater dan aneka terapi. Terakhir hypnotherapy yang sampai muntah-muntah terus sepanjang sesi. Belakangan sudah lebih baik, tapi masih gampang ketrigger."

Dr. Dhave memberikan responsnya: 

"Keren, dong. Jangan dikenang. Seperti BAB di WC, flush and goodbye for good. Jangan dicari, jangan dikorek, jangan diungkit lagi."

Baca juga: Berdamai dengan Inner Child


Selain sesi jarak jauh, ada tawaran untuk mencoba sesi "touch". Senang sekali. Kurasa ini bakal lebih seru dibandingkan sesi berjarak. Dan memang demikian adanya. 

Pada sesi touch pertama, kucatat: 

"Diawali rasa hangat yang menjalar ke seluruh badan. Lalu terasa ada yang dicabut dari dada. Beberapa kali. Tidak terlalu sakit, tapi terasa saja. Lalu dada rasanya seperti sesak, pengin keluar. Jadilah batuk terus. Lucunya, berasa seperti lihat prosesnya. Melihat dan seolah tidak terlibat. Misalnya, tiba-tiba menangis. Saya sadar kalau menangis, tapi sekaligus juga bertanya: kenapa saya menangis? Seperti melihat orang lain. Begitu pula saat anggota badan bergerak sendiri. Saya tidak menyuruh, tidak pula menahan. Hanya bilang dalam hati: ih, kok badanku gerak sendiri?" 

Pada sesi touch 23 Desember: 

"Sensasinya beda sekali dengan yang pertama. Tidak mengalami sakit sama sekali. Yang pertama terasa pendaran di jidat. Datang berulang. Lalu ada beberapa titik yang saya merasa dilempar ke tempat luas yang serba putih, lalu ngantuk sangat. Terjaga, muncul sensasi yang lain. Lalu dikembalikan ke area putih.

Yang menakjubkan terjadi di 2/3 waktu. Seperti dibangunkan oleh tamparan cahaya. Awalnya putih, lalu berganti emas. Warna emasnya lama sekali. Setelahnya baru berubah-ubah. Pelangi. Saya merasa sedang tersenyum dan menitikkan sedikit air mata. Tapi tidak menangis. Setelahnya berjalan lebih tenang, sampai selesainya."


Pada awal Januari 2025 aku mengalami peristiwa yang bikin jebol pertahananku. Bahkan aku melakukan hal yang sebelumnya tak pernah terpikir bisa kulakukan. Hal yang menyakiti diri sendiri. Kok bisa? Aku pun kini mempertanyakannya ke diriku. Kondisi mentalku jeblok lagi. Rasanya harus merangkak lagi dari bawah. 

Setelah peristiwa itu, ada dua sesi touch lagi yang kuikuti. Pelan tapi pasti, aku menemukan diriku. Aku menemukan kembali tujuanku. Aku bisa memilih dengan sepenuh kesadaranku.   


"Segala sesuatu terjadi pasti ada alasannya." Ini hal yang sering kita dengar. Betul adanya. Tapi dr. Dhave memberiku kalimat yang lebih spesifik yang buatku itulah hal penting yang harus kujadikan alasan.

"Kamu diberikan pengalaman itu karena kamu mampu. Kamu bisa menjadikan pengalaman itu sebagai kontribusi dalam tugas di hidupmu. Dengan kontribusi itu kamu bisa membantu mereka yang punya pengalaman sama denganmu. Karena itu, kalau ada apa-apa, don't take it personal, don't make it significant. Terima saja." Begitu kata dr. Dhave dalam suatu sesi.


Hal penting lainnya yang diingatkan oleh dr. Dhave adalah penggunaan "bahasa korban". Ciri dari bahasa korban adalah menganggap diri lemah, inferior, dan orang lain sebagai penyebab.

Bahasa korban: aku nggak mampu, aku nggak bisa, gara-gara dia aku begini, aku disakiti orang, aku dihina orang, aku sedih gara-gara dia, aku sakit, aku menderita, dll. 

Bahasa itu energi. Bahasa memiliki kuasa. Biasakan untuk memilih kalimat sehari-hari tanpa kata yang melimitasi.

Biasakan: aku tahu, aku mampu, aku bisa, aku mahir, aku menyadari, aku baik, aku berdaya, dll.


Perkenalanku dengan BCR lewat sesi-sesi gift yang diberikan dr. Dhave mendorongku untuk bisa mempelajarinya lebih jauh. 

Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping


Berkenalan dengan BCR


Apa itu BCR? Dr. Dhavid Avandijaya Wartono:

Terus terang belum ada kata yang tepat untuk menggambarkan apa itu BCR. Bisa dikatakan BCR adalah modalitas yang memenuhi seluruh energy works seperti cakra, meridien, limfatik, elemental, energi, dll yang digunakan untuk men-delete limitasi kita, mengubah sesuatu dan memberdayakan hidup. Melahirkan perubahan yang signifikan.


Dokter Dhave ini telah bertahun-tahun lamanya  mendalami dunia energi. Ia merupakan salah satu Certified Access Facilitators Indonesia, Talk to the Entities Certified Facilitator, sekaligus praktisi Access Bars, Facelift, Talk to Entities, Talk to Animal, X-Men, ESSE, Abuse Hold, dan praktisi dari berbagai Access Body Process.

Dari pengalamannya memfasilitasi berbagai kelas, dr. Dhave menemukan banyak partisipan atau peserta kelas yang akhirnya bisa menjalankan kesehariannya dengan lebih baik. Di antaranya karena mereka berhasil sembuh dari psikosomatisnya, terbebas dari depresi dan gangguan kecemasan, dan rasa percaya diri yang meningkat. Selain perasaan nyaman arena berbagai perubahan tersebut, hal terpenting adalah bahwa mereka memiliki keberanian untuk menentukan jalan terbaik bagi kehidupannya.

Pada 2024 lalu, dr. Dhave menciptakan Body Communication Resonance (BCR), yang merupakan gabungan dari berbagai ilmu dan pengetahuan di bidang energi, mental, dan spiritual. BCR merupakan modalitas energi untuk mengenal jati diri, memberdayakan kesadaran, hingga melatih peningkatan frequensi, serta melepaskan trauma dan luka batin. Dengan memahami sinyal di tubuh sendiri, kita dapat belajar mengelola, menyalurkan, dan mengarahkan energi secara sadar untuk menciptakan harmoni dan transformasi dalam kehidupan kita.

Baca juga: Menemukan Makna Hidup dari Viktor E Frankl


Proses dalam mengolah modalitas baru ini, menurut dr. Dhave sudah dimulai dari tiga tahun sebelumnya. Dari awal mendapatkan insight untuk mengembangkan modalitas ini, menyiapkan materi, dan mempraktikkannya secara langsung. Untuk mematangkan modalitas baru ini, dr. Dhavid memberikan sesi terapi jarak jauh, yang selama bulan Desember kemarin pesertanya mencapai 200 orang. Sedangkan terapi sentuh (touch) hingga minggu lalu sudah terwakili oleh 60 orang, tersisa 40 orang dari jumlah peserta yang ditargetkan.

Pendekatan terapi BCR adalah dengan melihat tubuh sebagai energetic being, dengan 144 chakra dan 20 meridien yang memengaruhi keseimbangan serta kesehatan. Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh melalui terapi BCR ini, baik bagi kesehatan fisik maupun psikis. 

Dr. Dhave mencontohkan dalam menangani cakra ajna. Selama ini kita hanya tahu cakra ini hanya ada satu yang letaknya di dahi, sedikit di atas garis antara mata kiri dan kanan. Padahal cakra ajna memiliki 4 titik, dua di antaranya terkait posibility dan prosperity. Nah, terapi BCR dapat membantu yang cakra ajna yang overactive atau sebaliknya, underactive.


Cakra mata ketiga yang terlalu aktif dapat menyebabkan aktivitas mental terasa membebani, dan dapat menyebabkan distorsi persepsi. 

Distorsi persepsi ditunjukkan melalui gejala: 

  • Halusinasi 
  • Delusi 
  • Mimpi buruk 
  • Paranoia
  • Kesulitan berkonsentrasi
  • Obsesi terhadap kemampuan psikis
  • Disosiasi (dari dunia fisik)


Sebaliknya, cakra mata ketiga yang kurang aktif yang juga dikenal sebagai ketidakseimbangan cakra ajna, dapat menyebabkan sejumlah gejala, antara lain:

  • Sakit kepala
  • Masalah penglihatan
  • Gangguan suasana hati
  • Kurangnya fokus
  • Kebingungan
  • Keyakinan yang membatasi diri
  • Merasa terputus dari diri sendiri atau memiliki pikiran negatif 
  • Insomnia

Baca juga: Kesehatan Mental dan Skala Hawkins


Pada 14-16 Februari 2025 mendatang dr. Dhave mengadakan kelas pelatihan BCR. Ini merupakan kelas pertama. 

Siapa saja yang bisa ikut pelatihan? Siapa pun yang tertarik. Termasuk yang tak pernah belajar dan bersentuhan dengan modalitas berbasis energi. Pembelajarannya akan dilakukan dari dasar. 

Aku sendiri sebetulnya cukup banyak mempelajari soal healing berbasis energi. Namun, terasa masih mengawang-ngawang, merasa belum mendapatkan manfaat optimal. Selain soal perceiving, menurut dr. Dhave ada kemungkinan selama ini tak cukup diarahkan untuk memahami betul modalitas yang dipelajari.

"Kenapa belum bisa bekerja? Ya, gimana, subtle bodies nggak ngerti, healing hands belum jalan, generator cakra utama masih kecil. Menjangkau semestamu sendiri saja belum selesai. Kamu masih belum paham skill-nya." 


Dr. Dhave memastikan untuk pelatihan BCR pada 14-16 Februari nanti peserta akan dilatih mulai dari hal paling mendasar yakni mengalami sensasi di telapak tangan. Berikutnya berlanjut ke hal-hal yang lebih dalam. BCR bisa menjadi dasar penting bagi pengembangan modalitas lain untuk pemulihan kesehatan baik fisik maupun psikis. 

Aku sudah mendaftar untuk bergabung. Kamu tertarik? Boleh hubungi aku via nomer WA-ku seperti tercantum di flyer




Baca juga: Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup Lebih Baik

Berburu Rujak Cingur di Bandung

Rujak cingur sejauh ini masih menjadi makanan favorit orang Jawa Timur. Kombinasi rasa pedas, legit, gurih, dan asem yang menjadi ciri khas rujak ini suka bikin nagih. Terutama bagi waga Jatim yang lidahnya lama tak bersentuhan dengan makanan ini. Sekali waktu pasti kangen dan berusaha mencari. Itu pula yang terjadi denganku, yang secara berkala akan mencari masakan khas Jatim, di antaranya rujak cingur. Di Bandung ada makanan olahan agak mirip yaitu lotek dan karedok, sayuran dengan olahan sambal. Namun, tentu saja berbeda. 



Baca juga: Ragam Kuliner Halal dan Nonhalal di Bali

Perkenalanku pertama dengan lapak rujak cingur di Bandung baru pada 2006. Tak sengaja menemukan lapaknya di komplek tentara kawasan Gatot Subroto, Bandung. Sudah tak kutemukan lagi lapak itu. Berganti rupa. Aku coba catatkan beberapa rekomendasi tempat makan di Bandung yang menyediakan rujak cingur, ya. Beberapa aku sudah pernah datangi, cicipi, dan masih bertahan hingga sekarang. Sebagian lain rekomendasi kawan dan aku kutipkan dari lapak online.


Rujak Cingur, Muasal dan Perkembangannya

Jika mengacu pada catatan yang dibuat orang di wikipedia, disebutkan bahwa rujak cingur mulai muncul di Surabaya pada kisaran tahun 1930-an, dibawa oleh pendatang dari Madura. Pedagang Madura ini mengawali olahan rujaknya dengan petis petis ikan cakalang khas Madura. Lalu menggantinya dengan petis udang, untuk memenuhi selera lidah mayoritas suku Jawa di Surabaya. 

Cingur diambil dari kepala sapi. Persisnya, bahan cingur diambil dari moncong atau congor sapi yang telah direbus hingga empuk, lalu diiris-iris persegi. Selain cingur, komponen lainnya adalah sayur, buah, dan tahu/tempe. Sayur yang biasanya dipakai antara lain kangkung, kecambah, timun, dan kacang panjang. Sedangkan buah, ada beberapa jenis yang sering dipakai, yakni mangga muda, kedondong, bengkoang, nanas, dan belimbing. Tempe dan tahu diiris kotak-kotak. 

Bumbu ulekannya terdiri dari kacang tanah yang sudah digoreng, gula merah, cabe, irisan pisang klutuk, garam, dan petis. Setelah diuleg halus, ditambahkan air asam untuk mengencerkan, barulah aneka komponen dimasukkan. Penyajiannya tinggal ditambahkan bawang goreng dan krupuk. Tambahan karbohidrat pilihannya nasi atau lontong. 

Tidak semua daerah di Jawa Timur bisa ditemukan olahan rujak ini. Sewaktu aku tinggal di kota kelahiran, Trenggalek, tak ada yang menjual. Ada yang jual di pusat kota, itu pun hanya rujak petis, tanpa cingur. Tanpa buah lengkap. Seingatku, mencicipi rujak cingur pertama kali di kota sebelah, Tulungagung. 

Begitu pun di kota-kota lain, kalaupun ada, jarang yang komponennya sangat lengkap seperti yang disajikan di lapak-lapak rujak cingur area Surabaya dan sekitarnya. Pisang klutuk, misalnya, bukan komponen yang mudah ditemukan di Bandung. Jadi, kalau di Bandung bisa menemukan rujak cingur dengan komponen lengkap, setidaknya mendekati, pasti surga banget, hehe.

Baca juga: Berkenalan dengan Margo Redjo, Roastery Tertua di Semarang


Warung Rujak Cingur di Bandung

Belum semua lapak rujak cingur di Bandung pernah kucoba. Masih masuk dalam daftar referensi. Biasanya aku enggan untuk mengunjungi lapak yang jualan utamanya lotek atau gado-gado. Karena masing-masing punya kekhasan. Untuk lapak yang menyediakan olahan sayur ini kecenderungannya rasanya sama. Tapi lain waktu mungkin perlu coba, siapa tahu selama ini saiyah terlalu rarasaan.  


Rujak Cingur Mas Nardi

Aku nggak ingat nama persis lapaknya apa. Tapi pemliknya namanya Mas Nardi, orang Pare, Kediri. Awal aku coba olahannya, lapaknya ada di sisi jalan Cilaki, sekitar Gedung Pos. Warung Tenda. Lantas pindah di dalam area kantin STIA LAN. Komponennya lumayan lengkap, rasa dan porsinya pas untuk lidahku. Harga Rp30 ribuan.

Di warung Mas Nardi ini tersedia juga rawon, pecel, tahu telor petis, sesekali ada aneka botok. Jam buka menyesuaikan jam operasional kampus. 


Rujak Cingur Jombang Bu Suji

Lokasinya di Jalan Gudang Selatan No. 18B, tak jauh dari persimpangan rel kereta api Jalan Ahmad Yani. Lapak ini terhitung paling dekat dengan rumah tinggalku, dan pada sebuah masa merupakan jalur menuju tempat kerja. Jadi terbilang paling sering kukunjungi.

Porsi dan rasa, oke. Pas. Lontong tahu-telor petisnya juga enak. Pilihan menu lainnya sama persis dengan lapaknya Mas Nardi. Jam buka mulai pagi; jika datang lepas jam makan siang sering tidak kebagian. 


Rujak Cingur Warung Suroboyo 

Sudah lama sekali aku mencicipi rujak cingur di lapak ini. Dan itu sekali-kalinya, tak pernah singgah lagi. Tak ingat persis kenapa. Kemungkinan rasanya kurang pas di lidah, terlalu manis. Atau harganya terlalu mahal, hoho.

Tapi di warung yang berlokasi di Jalan Natuna No.57 ini banyak juga pilihannya, seperti rawon, soto ayam, tahu gunting, rujak gobet petis, dan lainnya. Tempatnya juga cukup nyaman untuk dikunjungi bareng keluarga atau beramai-ramai. Jam operasionalnya siang hingga sore. 

Baca juga: Bali 2024, Wisata Kuliner dan Religi


Rujak Cingur Pak Sadi

Menu utama lapak Pak Sadi ini adalah Soto Ambengan. Aku pernah mencicipi rujak cingurnya di lapaknya Jalan Lombok. Rasanya so-so. Lapak itu sudah tutup. Lapak Pak Sadi lainnya ada di Jalan Banda dan Lodaya. Untuk dua tempat ini aku belum mencicipi rujak cingurnya.


Rujak Cingur Bude Pon

Di lokasi ini aku juga baru sekali mencicipi. Karena kebetulan sedang agenda di area Cikaso. 

Rujak cingurnya oke. Menu lainnya khas makanan Jatim seperti pecel, rawon, dan soto. 


Beberapa rekomendasi di bawah ini kutemukan dari beberapa sumber. Aku belum pernah mengunjunginya. Lain waktu bisa mencicipi, bakal ku-update informasinya.

  • Kedai Bu Ai, Jalan Pajajaran No. 145
  • RM Rawon Bik Atik 5, Jalan Batununggal Indah Raya No. 389, Batununggal
  • Warung Bu Luluk, Jalan Cikuray 
  • Lotek Nenek, Jalan Cibangkong
  • Kedai Pecel, Jalan Batununggal
  • Pecel Madiun Kedai Mbak Wiwin, Jalan Gunung Batu Raya (Depan Ruko Gunung Batu Kav 15), Cicendo
  • D'Orange, Jalan Akasia Raya Blok A2 No.6, Komplek D'Orange, Cimekar, Cileunyi
  • Kangen Lotek, Jalan Gatsu (Depan Kodim 0609), Cimahi
  • Rawon Kertasari, Jalan Nata Endah A09, Sayati, Margahayu
  • Lotek Nenek, Jalan Cibangkong No. 48B 
  • Lotek Tki 3, Taman Kopo Indah 3 Blok C11, Margaasih
  • Nasi Goreng Ferall, Jalan Cibangkong Rt 04 Rw 05
  • Dapoer Djawa, Jalan Batununggal Indah No. 173, Bandung Kidul
  • Nasi Pecel Madiun, Jalan Riung Saluyu 13-B No. 298, Cipamokolan, Rancasari
  • Warung Rujak Gjg, Kampung Brujul Pesantren Rt03 Rw26 No. 20 Mekar Rahayu (depan Bengkel Yohan)
  • Ayam Bakar dan Goreng Sari Manis Mimi, Jalan Raya Sinar Mukti RT 001 RW 002, Selacau, Batujajar, Bandung Barat
  • Lotek dan Rujak Arin, Gang Hj Gojali No. 29, Jl. Sukagalih (dekat Dapur Ma Enay), Karang Tineung, Sukajadi

Jika kawan-kawan bisa melengkapi alamat lain kedai di Bandung yang menyediakan rujak cingur atau kuliner Surabaya atau Jatim lainnya, berkabar, ya. Kecuali saiyah berkesempatan jalan-jalan ke lokasi asal, mungkin minta kawan blogger Surabaya menemani. Cihuuuy!


Sekadar catatan, rujak cingur telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai salah satu dari 1.728 budaya dalam Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.

Baca juga: Berkunjung ke Kota Atlas

Kamu Punya Perilaku Manipulatif? Kamu Punya Trauma yang Belum Dipulihkan?

Suatu kali aku mendapati satu pos yang dibagikan seorang kawan di salah satu platform media sosial. Ia membagikan sebuah tayangan video tentang trauma dengan pengumpamaan air dalam gelas. Ia memberi takarir: "stop di kamu." Wajar, sih, lalu apa anehnya? Anehnya adalah si kawan ini pelaku kekerasan verbal. Pertanyaannya, apakah sikap manipulatif itu ia lakukan secara sadar, dalam artian bahwa itu merupakan pilihan sikap yang selama ini ia terapkan dalam kehidupannya, ataukah itu adalah buah atau mekanisme koping dari trauma yang ia derita dan tak coba dipulihkan.



Baca juga: Trauma Bonding, Luka yang Sering Disangka Cinta

Lebih detailnya, video tersebut memperlihatkan gelas berisi air berwarna gelap. Isi gelas tersebut dipindahkan ke gelas berikutnya. Lalu dipindahkan lagi ke gelas ketiga. Di gelas terakhir ini ada penambahan air jernih yang dikucurkan pelan-pelan dan membuat air gelap terdorong meluber, keluar dari gelas. Dengan dikucurkan secara terus menerus, maka gelas terakhir ini pun bebas dari warna gelap. Yang tersisa hanya air jernih semata. Yup, istilah "stop di kamu" mengacu pada sosok yang tidak melanjutkan tradisi yang memunculkan trauma dalam garis keluarga. 


Perilaku Manipulatif

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:

ma.ni.pu.la.si --psikologis: upaya memengaruhi individu dengan mengendalikan segala keinginan dan gagasan yang ada di bawah sadar, juga menggunakan sugesti. 

Sebelum memunculkan dampak negatif, baik yang disadari oleh korban maupun orang lain yang memberikan perhatian, perilaku manipulatif ini barangkali tak cukup dikenali. Malah yang muncul adalah anggapan bahwa sang pelaku sedang melakukan kebaikan. Tak terendus adanya agenda tersembunyi. Hingga pada titik terjadi kekecewaan, tujuan si pelaku tak terpenuhi, maka bakal muncullah karakter aslinya yang manipulatif.

Dari berbagai sumber, kukutipkan, apa saja sih ciri-ciri orang manipulatif:

  • defensif, tidak mau mengakui kesalahan
  • berbohong, bahkan menyalahkan orang lain
  • mengabaikan perasaan orang lain
  • menyodorkan fakta yang berbeda dari yang sesungguhnya terjadi
  • membuat orang lain merasa bersalah
  • membuat orang lain meragukan diri sendiri

Mengapa orang melakukan manipulasi? Ada banyak alasan. Tentu saja hal utamanya adalah karena mereka hanya berfokus kepada diri sendiri. Memang, mereka memberikan bantuan, baik materi maupun nonmateri. Namun, hal itu mereka lakukan bukan semata untuk alasan kebaikan melainkan untuk menciptakan ketergantungan hingga pada saat dibutuhkan, mereka akan bersiap untuk mengorbankan diri. Perilaku manipulatif dapat dijumpai dalam berbagai bentuk relasi. Sering terjadi dalam hubungan romantis, namun banyak kasus pula terjadi dalam hubungan kerja, bahkan dalam lingkungan keluarga, dan dalam hubungan sosial lainnya. 

Perilaku manipulatif sangat mungkin dilakukan secara sadar sebagai sebuah upaya sistematis. Pada kasus lain, sikap manipulatif lahir sebagai strategi yang terbangun di bawah sadar akibat trauma yang mereka derita. 

Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping

American Psychological Association (APA) menyebutkan bahwa trauma dapat menyebabkan seseorang mengembangkan strategi manipulatif untuk mengontrol orang lain dan lingkungan sekitar, serta untuk menghindari perasaan tidak nyaman.  

Faktor trauma yang memengaruhi perilaku manipulatif ini antara lain:

1. Kontrol dan kekuasaan. Pengalaman traumatis dapat membuat orang tidak terkendali dan merasa tak berdaya. Mereka akan berusaha mengambil kontrol dan pegang kendali dengan melakukan manipulasi.

2. Pengalihan emosi. Ketidakmampuan mereka dengan trauma dalam mengolah emosinya, membuat mereka mencari jalan keluar dengan pengalihan. Caranya ya dengan melakukan tindakan manipulatif.

3. Ketergantungan. Orang dengan trauma membutuhkan orang lain untuk bergantung, baik secara emosional maupun fisik. Kebutuhan ini mereka penuhi dengan cara manipulatif agar tercipta ketergantungan. Alhasil, seolah orang lain yang bergantung, padahal sebetulnya mereka.

4. Pikiran negatif. Pola pikir orang dengan trauma cenderung negatif. Mereka menilai diri rendah, dipenuhi rasa bersalah, tidak berharga. Salah satu cara yang dilakukan mereka adalah mendapatkan validasi atau pengakuan dari orang lain. Caranya adalah dengan menempatkan orang lain dalam posisi diri mereka. 

Baca juga: Body Process, Upaya Memulihkan Diri dari Depresi 

 

Tertarik? Hubungi WA Ibu Meong

Apa Itu Trauma Healing?

Bagaimanapun suksesnya seseorang menjalankan kehidupan yang penuh manipulasi, ia tak akan menjalani hidupnya dengan tenang. Karena ia terus menerus memikir upaya manipulasi yang tak mungkin berhenti, berkesinambungan. Hidup dipenuhi drama. Bagi siapa pun yang menyadari perilaku manipulatif sebagai dampak dari trauma yang dialami, yak ada jalan lain selain melakukan pengobatan dan pemulihan. Mudahnya, kita sebut trauma healing. Di sinilah istilah "stop di kamu" betul-betul diterapkan. 

Trauma healing adalah upaya mengatasi post traumatic stress disorder (PTSD) dan pemulihan gangguan psikologis sebagai dampak dari peristiwa traumatis, baik dari peristiwa di masa lalu (masa kecil) maupun masa yang belum terlalu jauh terlewati. Banyak studi yang sudah menunjukkan bahwa trauma memberikan dampak buruk bagi penderitanya terutama terkait masalah emosional. Pada akhirnya hal tersebut berdampak pada kualitas hidup, kualitas hubungan dengan orang lain dan kehidupan sosial, serta menggerogoti kesehatan fisik. 

Peristiwa traumatis yang menyebabkan gangguan emosional itu antara lain:

  • kekerasan yang dilakukan orang tua atau orang-orang dekat dalam keluarga pada masa kanak, baik secara fisik maupun verbal
  • kekerasan atau pelecehan seksual
  • perpisahan atau perceraian orang tua
  • perundungan di sekolah, lingkungan sekitar, atau tempat kerja
  • kecelakaan lalu lintas dengan cedera serius
  • bencana alam besar
  • KDRT
  • PHK atau kehilangan pekerjaan secara mendadak
  • lain-lain

Baca juga: Menemukan Makna Hidup Bersama Viktor E Frankl

Membayangkan jika setiap orang mampu bertanggung jawab terhadap masa depan orang-orang yang berinteraksi atau berelasi dengan mereka, barangkali tidak ada sikap yang menyakiti. Tidak ada kekerasan yang terjadi. Namun, jika peristiwa sudah kadung terjadi, tentunya perlu penanganan lanjutannya.

Trauma healing jika sekiranya masih berada di kasus yang belum rumit, bisa melakukan pemulihan mandiri, misalnya dengan meditasi, yoga, membuat jurnal, rajin menulis di blog seperti kawan blogger di blog sunglow.me. Namun, jika kondisi sudah berlanjut, segera cari pertolongan ke mereka yang kompeten di bidangnya. Untuk bantuan profesional, baik psikolog maupun psikiater adalah banyak pilihan terapi. Misalnya dengan terapi kognitif-behavioral (CBT) yang bertujuan membantu mengurai pola pikir yang tidak sehat. Ada banyak metode lain.  

Trauma healing mungkin bisa dilakukan dengan pendekatan religi dan spiritual. Barangkali ada ustad, pastor, atau pendeta --dengan catatan memiliki kapabilitas terkait psikologi manusia, bisa dimintakan bantuannya. Atau melalui terapi energi yang saat ini juga banyak pilihan. 

Yang pasti, jika saat ini kamu baru menyadari sisi dirimu yang manipulatif, atau mendapati kawan atau anggota keluarga dan orang-orang dekat dengan kasus serupa, berikan saran untuk segera melakukan trauma healing. Demi kehidupan yang lebih baik, dapat menjaga emosi, mengelola stres. Semoga semua makhluk berbahagia. Namaste.   

Baca juga: Mengapa Perselingkuhan Terjadi?