Raung buldozer gemuruh pohon tumbang Berpadu dengan jerit isi rimba raya Tawa kelakar badut-badut serakah Tanpa hph berbuat semaunya Lestarikan alam hanya celoteh belaka Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu… Oh mengapa…..
(Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi-Iwan
Fals)
Mendapati gambar ini, tanpa sadar
kusenandungkan Iwan Fals. Kisah tentang hutan yang menghilang karena kerakusan
manusia. Lagu ini muncul di album Opini yang rilis tahun 1982. Lirik yang
tentunya hasil pengamatan Iwan Fals terhadap kondisi pada masa itu, pembabatan
hutan yang terus berlangsung. Ditulis tahun 80-an awal dan masih relevan hingga
kini.
Dan gambar ini seperti menegaskan,
keserakahan manusia menguasai alam sudah ada sejak zaman dulu. Gambar ini
adalah lukisan tradisional gaya Kamasan (nama desa di Klungkung) atau gaya
wayang yang populer di kalangan masyarakat Bali yang dipasang pada
langit-langit balai sidang Kerta Gosa. Pada lingkaran lingkaran pertama
digambarkan cuplikan kisah Mahabarata. Sedangkan wayang Kamasan yang merupakan
terjemahan dari hukum Karma Phala ini ada di lingkaran kedua. Mungkin akan
terasa sebagai simplifikasi dari sebuah hukum yang lebih rumit. Terlihat
mengerikan, tapi efek ‘menakutkan’ barangkali memang dibutuhkan agar orang bisa
mendapatkan gambaran tentang hukuman yang kelak mereka terima jika melakukan
kesalahan.
Dalam Hindu dikenal hukum Karma Phala. Karma
berasal dari bahasa Sansekerta yang secara harfiah diartikan membuat atau
berbuat, sedangkan Phala berarti buah atau hasil. Sehingga dapat disimpulkan Karma
Phala adalah suatu peraturan atau hukuman dari hasil dalam suatu perbuatan.
Hukum Karma Phala merupakan salah satu dari Panca Srada, lima kepercayaan dalam
Hindu. Karma Phala merupakan filsafat yang mengandung etika yang artinya umat
Hindu percaya akan hasil dalam suatu perbuatan. Hukum Karma Phala adalah hukum
sebab-akibat, hukum aksi reaksi, hukum usaha dan hasil atau nasib. Hukum ini
berlaku untuk alam semesta, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Jika hukum
itu ditujukan kepada manusia maka disebut dengan hukum karma dan jika kepada
alam semesta disebut hukum Rta. Hukum inilah yang mengatur kelangsungan hidup,
gerak serta perputaran alam semesta.
Gambaran hukum Karma Phala dalam bentuk
wayang Kamasan ini sudah ada sejak dibangunnya Kerta Gosa pada sekitar tahun
1686. Kerta Gosa dibangun oleh Raja Klungkung pertama yaitu Ida I Dewa Agung
Jambe. Bangunan ini ada di dalam komplek Puri Semarapura, di jantung kota
Semarapura, ibukota Kabupaten Klungkung. Kerta Gosa terdiri dari dua bangunan
yaitu Bale Kambang dan Bale Kerta Gosa. Dinamai Bale Kambang karena bangunan
ini dikelilingi kolam yang kemudian disebut Taman Gili. Kedua bangunan ini pada
langit-langitnya dihiasi dengan lukisan gaya Kamasan. Sayangnya Bale Kambang
sedang dalam pemugaran sehigga tak bisa dikunjungi. Pada awalnya, lukisan yang
menghiasi langit-langit bangunan itu terbuat dari kain. Seiring perjalanan
waktu terjadi pengeroposan. Lukisan kain diturunkan dan disimpan. Sebagai
gantinya, pada tahun 1930 langit-langit diganti dalam bentuk eternit dengan
tetap menampilkan lukisan seperti aslinya. Restorasi berikutnya dilakukan 30
tahun kemudian.
Pada masa berlangsungnya birokrasi kolonial
Belanda di Klungkung (1908-1942) Kerta Gosa juga pernah difungsikan sebagai
balai sidang pengadilan. Saat itu telah diangkat pejabat pribumi sebagai kepala
daerah kerajaan di Klungkung yakni Ida I Dewa Agung Negara Klungkung pada tahun
1929. Perlengkapan pengadilan berupa kursi dan meja kayu yang memakai ukiran
dan cat prade masih ada dan dapat dilihat pada museum di bagian belakang
komplek Kerta Gosa ini. Benda-benda tersebut juga digunakan dalam periode
pendudukan Jepang (1043-1945). Selain difungsikan untuk tempat mengadili
perkara, Kerta Gosa juga menjadi tempat upacara keagamaan terutama untuk
upacara potong gigi bagi putra-putri raja.
Kerajaan Klungkung sendiri sebenarnya
merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Adalah pemberontakan I Gusti Agung
Maruti yang kemudian mengakhiri Periode Gelgel. Putra Dalem Di Made setelah
dewasa berhasil mengalahkan I Gusti Agung Maruti. Namun Gusti Agung Jambe
sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, tidak mau bertakhta di Gelgel
Ia memilih bekas tempat persembunyiannya di Semarapura sebagai pusat
pemerintahan. Dewa Agung Jambe merupakan raja pertama zaman Klungkung yang
berkuasa dari tahun 1710-1775. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I dan yang
terakhir Dewa Agung Di Made II.
Tahun 1846 Belanda mulai memasuki wilayah
Bali. Upaya penguasaan kepulauan Nusantara dianggap mengalami hambatan dari
pulau ini. Beberapa aturan kerajaan di Bali dianggap mengganggu kepentingan
dagang Belanda. Bali juga menolak monopoli yang ditawarkan Batavia. Disebutkan
pula, kedatangan Belanda ke Bali atas permintaan warga Lombok yang merasa
diperlakukan tidak adil oleh penguasanya, dalam hal ini Bali. Kedatangan
Belanda disambut dengan perlawanan dari berbagai kerajaan. Termasuk di
antaranya perlawanan dari Klungkung pada 28 April 1908 yang dikenal dengan
Puputan Klungkung. Banyak yang gugur dalam peristiwa ini, termasuk raja
Klungkung yang terakhir. Hanya Kerta Gosa yang tersisa. Sedangkan bangunan
istana hanya menyisakan gerbangnya.
Puri dan Kerta Gosa sering dijadikan lokasi
pasangan yang melakukan pemotretan pre-wedding. Sedangkan bagi penggemar kain
tradisional Bali, kunjungan ke Kerta Gosa sekaligus memanjakan Anda dengan
aneka kain untuk dijadikan koleksi. Pasar Klungkung berlokasi persis Puri
Semarapura dan Kerta Gosa ini.
No comments