“Bapak mah baik, penyayang binatang juga,” ujar ibu Upir
yang kami jumpai tengah membersihkan taman sekeliling tempat peristirahatan
akhir KAR Bosscha. Menurut Ibu Upir, ia dan suaminya adalah generasi ke-8
penjaga makam orang Belanda yang punya banyak memberikan sumbangsihnya pada
Indonesia tersebut.
Rumah Boscha |
Setelah melewatkan perjalanan kaki yang cukup melatih otot,
kami, aku dan kawan-kawan permeongan, tiba juga di pemakaman Bosscha.
Sebetulnya jika ditarik garis lurus, jarak antara penginapan Malabar dan makam
Bosscha tak cukup jauh. Kurasa tak sampai 2 km. Tapi kami sekaligus melewatkan
pagi dengan berjalan-jalan mengitar melalui perkenan teh.
Baca juga: Menguji Dingin Pangalengan
Dari luar, tampak tempat
peristirahatan terakhir Bosscha dikelilingi pagar, dinaungin pohon menjulang.
Teduh dan adem. Sebuah jalan bersemen dibangun menuju lokasi makam, dengan
prasasti ditanam di tengah jarak pintu dan makam, bertuliskan tanda jasa dan
penghargaan yang diterima Boscha. Makam tampak terawat baik. Pusara bertutup
kubah ala arsitektur Eropa. Makam yang indah namun tampak sederhana.
Nama lengkapnya Karel Albert Rudolf Bosscha. Ia lahir di Den
Haag, Belanda, pada 15 Mei 1865. Bosscha adalah seorang kaya Belanda yang
dianggap memiliki kepedulian terhadap pribumi Hindia Belanda. Ia diperkirakan
datang ke Indonesia pada tahun 1887 dengan minat khususnya terhadap teh. Pada
Agustus 1896, Bosscha mendirikan Perkebunan Teh Malabar. Tiga puluh dua tahun
lamanya ia mengelola perkebunan teh. Ada dua pabrik teh masa itu, yakni Pabrik Teh Malabar (kini Gedung Olahraga
Gelora Dinamika) dan Pabrik Teh Tanara (kini Pabrik Teh Malabar).
Bosscha mencintai bumi yang ia tinggali. Ia juga dicintai
penduduk sekitar. Tak jauh dari rumah tinggalnya, ia mendirikan rumah-rumah
panggung untuk para pegawai perkebunan. Pada tahun 1901 ia mendirikan sekolah
dasar yang dinamai Vervoloog Malabar. Kaum pribumi, utamanya anak-anak karyawan
dan buruh perkebunan teh Malabar diberi kesempatan belajar secara gratis. Di
kemudian hari, sekolah ini berganti nama menjadi Sekolah Rendah, lalu berubah
menjadi Sekolah Rakyat, dan terakhir menjadi Sekolah Dasar Negeri Malabar II.
Sebuah rumah panggung masih tersisa. Diberi nama ‘Rumah
Hitam’. Konon dulu semua rumah memang dicat hitam. Pun rumah tinggal Bosscha.
Satu yang tersisa bisa dijumpai di sekitar 500 meter arah kiri komplek
penginapan Malabar. Rumah panggung lainnya masih terhitung baru. Kini perumahan karyawan perkebunan teh ini
mencapai satu RW dengan 7 RT di dalamnya. Rumah Hitam dihuni oleh keluarga Pak
Wawan, yang sayangnya tak bisa kujumpai di siang aku berkunjung. Hanya tampak
dari luar kondisi rumah sudah tak lagi memadai. Tapi tampaknya akan terus
dipertahankan, menandai lamanya usia.
Rumah tinggal Bosscha sendiri masih berdiri utuh, dengan
banyak perbaikan secara berkala tentunya. Rumah ini berdiri di tengah area
penginapan Agrowisata N8 Malabar, menjadi sentral sekaligus menghadirkan nuansa
sejarah masa lalu. Dari pintu masuk pertama akan langsung terlihat bangunan
bagian samping. Pada sisi tepi kiri Rumah Bosscha berupa jajaran kamar
penginapan.
Sedangkan dari arah pintu masuk kedua, bendera Merah Putih
menyambut kedatangan para tamu. Pada sisi kanan Rumah Bosscha berdiri bangunan
ramping memanjang yang difungsikan sebagai front office penginapan. Di balik
bangunan memanjang ini terhampar tanah lapang yang dipagari 7 rumah kayu yang
disewakan sebagai penginapan.
Pada sisi dalam Rumah Bosscha, perkakas tertata dengan
sederhana tapi manis. Beberapa furnitur masih asli, sedangkan sebagian lainnya
sengaja disediadakan untuk memenuhi kebutuhan tamu. Misalnya meja makan
memanjang yang bisa dimanfaatkan untuk bersantap para tamu. Perapian masih
terawat dengan baik dan sekali waktu masih difungsikan.
Bosscha diyakini punya peran dalam pendirian Sciete
Concordia atau yang kini di kenal dengan nama Gedung Merdeka, Bandung. Pada
tahun 1921 gedung ini merupakan gedung pertemuan terlengkap dan termewah.
Dirancang oleh arsitek Belanda ternama, CP Wolf Schoemaker, dengan sentuhan
seni art Deco, Sciete Concordia menjadi
tempat pertemuan orang Belanda, tempat rekreasi, sekaligus hotel.
Bosscha punya peran penting dalam pendirian Technische
Hoogeschool te Bandoeng yang merupakan sekolah tinggi teknik di Hindia Belanda
(sekarang ITB). Ia menjabat sebagai Ketua College van Directeureun (Majelis
Direktur) yang bertugas mengurus kebutuhan material bagi TH Bandung mulai dari
pembangunannya hingga kegiatan akademik berjalan. Proses selanjutnya diambil
alih oleh Pemerintah. Sebagai penghargaan terhadap jasanya, tahun 1924 komplek
laboratorium fisika TH Bandung dinamakan Bosscha-Laboratorium Natuurkunde.
KAR Bosscha |
Pada tahun 1923, Bosscha menjadi perintis dan penyandang
dana pembangunan Observatorium Bosscha yang telah lama diharapkan oleh
Nederlands-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV). Bersama Dr. J. Voute, ia
pergi ke Jerman untuk membeli Teleskop Refraktor Ganda Zeiss dan Teleskop
Refraktor Bamberg. Observatorium selesai dibangun pada tahun 1928. Atas
perannya, Bosscha mendapat anugerah sebagai Warga Utama kota Bandung dengan
penyerahan yang dibuat dalam upacara kebesaran yang dilakukan Gemente di Kota
Bandung. Sayang ia tidak sempat menyaksikan bintang melalui observatorium yang
didirikannya. Pada 26 November 1928 KAR Bosscha meninggal dunia. Karena
kecintaannya pada Malabar, ia meminta jasadnya disemayamkan di antara pepohonan
di Perkebunan Teh Malabar.
Emak2 meong rempong, ki-ka: Susan (alm), Nda Unyil, Teh Nining, ibunya Susan |
Informasi tentang penginapannya bisa cek di sini.
JAdi inget pelajaran sejarah waktu sekolah. Sering keluar namanya Mr Bosscha ini. MasyaAllah ternyata peninggalannya masih terjaga sampe sekarang ya.
ReplyDeleteYa ampuuun, ini salah satu tempat yang pengin banget saya datengin, dulu banget pernah diajak ke sana, sayangnya waktunya nggak pas. Semoga nanti bisa ke sana
ReplyDeleteAku baru tau mba Dhenok, kalo ternyata observatorium boscha didirikan oleh beliau.
ReplyDeleteBermanfaat sekali peninggalannya.
Kalo ada kesempatan, aku pengen juga ah main ke sana.
Oh, pantas saja saya merasa familiar. Penggagas observatorium Boscha, to.
ReplyDeleteSelama mempelajari sejarah, saya mengenal beberapa orang Belanda (dan Eropa pada umumnya karena dari zaman VOC, tentara biasanya garnisum Eropa) yang sangat mencintai Indonesia. Demikian juga anak-anaknya. Beberapa menjadi sejarawan andal.
Sampai saat iinijuga saya kenal secara langsung beberapa expatriat Belanda yang tak kurang cintanya pada Indonesia jika diadu dengan sebagian dari kita yang asli Indonesia.
Btw, iya, ada beberapa mebel yang otentik zaman dahulu.
SUka banget, ih, baca postingan ini dan ada foto-foto yang mendukung begini
Membaca cerita nya, terlihat jelas akan kecintaan Bosscha terhadap negeri ini. Ia benar-benar membangun masyarakat dengan hati dan keikhlasan. Terima kasih Bosscha
ReplyDeleteJadi gitu ya ceritanya Bosscha...Lumayan komplit nih, jadi tahu aku. Tadinya tau nama Bosscha itu karena observatoriumnya itu. Malah nggak ngeh kalau itu sebenarnya nama orang. Informatif sekali tulisannya.
ReplyDeleteSeru.. Mbak Dhenok perjalanannya. Dan ini makamnya sangat teduh dan terawat ya Mbak. Apalagi membaca ceritanya, kalau Bosscha ini banyak memberi sumbangsih. Masuk list nih, kalau saya ke sana.
ReplyDeleteEh, pas baca Malabar, saya langsung terikat kapal pelni dan kereta api yang namanya Malabar, Mbak hehehe.
Kalo saya ingetnya martabak mesir dan india nama tokonya malabar
Deletemalabar mah kereta saya kalau mudik :)
DeleteTabik untuk Bosscha, dari dulu saya sudah tahu Observatorium tetapi belum bisa berkesempatan ke sana.
ReplyDeletePerkebunan teh Malabar termasuk sejuk, tidak heran tempat itu akan membuat yang berkunjung seakan merasakan berada dalam dimensi silam dengan adanya bangunan bersejarah.
Saya baru tahu sumbangsih Bosscha ternyata tidak hanya Observatorium saja.
Baca artikelnya bikin saya jadi mellow untuk bernostalgia.😘
Aku udah beberapa kali ke Bosscha ini mbak. Bareng murid murid sih. Dan jujur, aku baru tahu tentang Mr. Bosscha ini, ternyata sumbangsihnya buat Indonesia luar biasa ya. Sisi lain masuknya Belanda ke Indonesia ya...
ReplyDeleteKapan yah bisa ke tempat Bosscha ini. Sudah lama mendengar cuman belum kesampaian ke sana. Terutama tentang Observatoriumnya yang ternyata punya cerita sejarh seperti ini...
ReplyDeleteDelapan tahun saya di Bandung, tak sekalipun saya mengunjungi tempat ini.
ReplyDeleteSaya malah tau observatorium boscha ini dari film sherina.
Kalo ada kesempatan ke Banding lagi, saya akan sempatkan ke sini.
Mencoba mengingat kembali pelajaran sejarah dulu. Terima kasih Pak Bosscha atas sumbangsihnya untuk Indonesia
ReplyDeleteBeberapa kali daku Pernah mendengar cerita tentang boscha ini dan postingan ini bikin makin melek pengetahuanku tentang KAR Boscha ini mba. Salutnya sampai sekarang peninggalannya masih rapi dan terawat ya. Semoga suatu hari nanti bisa jodoh mengunjungi tempat ini langsung. Thanks for sharing mba
ReplyDeleteSaya taunya cm Planetarium Bosscha, Mbak Dhenok. Membaca artikel ini jadi lebih ngerti tentang sejarah Bosscha di nusantara zaman old. Mantul yaa jelong²nya dg teman² sesama kitty lover nya
ReplyDeleteTadi yang kebayang sama aku observatoriumnya yang terkenal itu. Ternyata memang beliau ya pendirinya. Wahh moga-moga bisa jelajah ke Bandung juga nih, pengen main kesini. Rumahnya homey banget ya. Salut sama kepedulian beliau buat masyarakat Indonesia
ReplyDeleteWah ternyata Kar Bosscha punya sejarah tersendiri ya di Bandung. Pengen deh jadinya jalan jalan kesana juga. Main ke rumahnya Kar Bosscha dulu
ReplyDeleteAnak-anak ku pengen banget liat Bosscha gara-gara nonton film Iqra. Inspiratif nih sumbang asih Mr. Bosscha untuk kemajuan astronomi Indonesia
ReplyDeleteWah ternyata ada juga belanda yang baik hati seperti KAR Bosscha ini.... peninggalannya juga masih dimanfaatkan sampai saat ini... amal jariyahnya gak putus donk yaaaa...
ReplyDeleteBaru tau cerita tentang Bosscha ini. Ternyata jasanya utk bangsa Indonesia cukup besar dan salut dia juga cinta dengan bumi Indonesia. Kayaknya aku pernah nginep di mess malabar itu deh, hehe..
ReplyDeleteAku denger Bosscha ini jadi inget film petualangan Sherina hehe yang ke teropong bintang.
ReplyDeletesebentar, lokasi ini kayak gak asing karena pernah nonton di videonya teh Risa Saraswati yang mengungkap kisah ini. Semoga suatu saat bisa berkunjung kesna
ReplyDeleteWaah, belum pernah ke sini. Dan baru tau dari tulisan teteh ini aja. Kereen ya bangunannya masih terawat rapi. Banyak sekali jasa beliau ini. Saya taunya soal ITB dan teropong bintang aja. Ternyata masyaallah keren dan hebat sekali.
ReplyDelete