Lirik-lirik lagunya, harmonisasi musiknya, para penampil di
panggungnya, memakuku di kursi penonton sejak pertunjukan dimulai jam 8 malam
lewat. Terpana, terpesona, terhipnotis. Aku tak ingat persis bagaimana aku
mengenal lagu-lagu dekade 70-an ini. Kalau lagu dekade 80-an kudengar dari
koleksi kakakku. Tapi kawans, kau tak perlu mengingat-ingat dari mana kau
pernah mengenal sebuah komposisi, karena lagu bagus akan dengan sangat mudah
kau nikmati. Ya, lagu-lagu bagus ini kunikmati sepanjang pertunjukan LCLR Plus
Bandung, Sabtu lalu.
Akhirnya aku berkesempatan juga untuk hadir dalam konser
ini. Jauh-jauh hari kubilang pada Markom Sonora-Raka FM, kalau ada kerjasama
dengan konser LCLR aku mau hadir. Maka pergilah aku bersama kru dan penyiar
Sonora FM Bandung, Kang Amin Mustakim dan Hadi Pramono (yang juga Ketua
Komunitas Blues Bandung). Memasuki area pertunjukan, sedikit tersentak.
Yockie-kah? Sesosok laki-laki tinggi kurus berada di sentral panggung
pertunjukan. Di balik aneka keyboard dan entah perangkat apalagi berbentuk letter
U menghadap penonton. Ya, sedikit tersentak karena tak terbayangkan arranger
yang pada setiap siaran –nyaris pada setiap lagu gubahannya- aku selalu menyelipkan
apresiasi kagumku pada sosok yang satu ini. Aku bukan penonton televisi dan tak
mengikuti perkembangan musik di tanah air beberapa lama ini. Imej yang
tersimpan di benakku Yockie adalah sosok yang kutemukan pada “Penantian”, salah
satu album miliknya rilis tahun 1986. Ya ya...saiyah memang suka susah move on 😂 Tapi bahkan jauh sebelum pertunjukan aku meyakini, lagu
apapun kalau aransemennya digarap Yockie hasilnya bakal beda. Pun pada konser
yang menampilkan lagu-lagu ciptaannya atau musik garapannya yang sudah terlewat
dua hingga hampir 4 dekade ini. Jadi mari kita saksikan...
Panggung mulai dipecah oleh gempita ‘Jurang Pemisah’.
Seorang penyanyi muda membawakannya dalam nuansa rock yang lebih fresh.
Belakangan aku baru tahu, Husein Alatas, sang penyanyi muda ini adalah salah
satu jebolan Indonesian Idol. Ia membawakan karya lama Yockie Suryoprayogo yang
sebelumnya dipopulerkan oleh Chrisye itu. Asik. Nuansa jadul baru hadir dari
penampil kedua yang namanya sama dengan namaku, Dhenok Wahyudi 😎 Setelah
hampir 40 tahun power suaranya tak mengalami banyak perubahan. Dhenok Wahyudi
hadir dengan dua lagu, Dalam Kelembutan Pagi yang dibawakannya bersama Yockie,
dan Kelana; dua lagu yang menjadi finalis di LCLR tahun 1977 dan 1978. Pada
perjumpaan dengan Dhenok Wahyudi yang kini adalah istri dari mantan Menteri
Luar Negeri, Hassan Wirajuda ini pagelaran dibuka oleh Sys NS yang didapuk
sebagai MC. Seperti diketahui, Sys NS adalah salah satu penggagas ajang lomba
yang berjaya di dekade 70-80an ini.
Pertunjukan pun mengalir dari para penyanyi yang membawakan
sendiri lagunya atau oleh penampil lain. Berturut-turut hadir: Awan Putih (Keenan
Nasution), Melati Suci (Tika Bisono), Citra Hitam (Yockie S), Khayal (Louise
Hutauruk), Karisma Indonesia (Louise Hutauruk), Kau Seputih Melati dan Selamat
Jalan Kekasih (Dian PP), Apatis (Harry Sabar& Benny Soebardja), Sesaat (Benny
Soebardja), Matahari (Berlian Hutauruk), Kidung (Pahama), Merpati Putih (Dira
Sugandi), Angin Malam (Che Cupumanik bersama Debby Nasution), Anak Jalanan (Husein
Alatas), Juwita (Dira & Che), Badai Pasti Berlalu (Berlian Hutauruk). Beberapa
lagu dibarengi dengan choir dari Paduan Suara Universitas Padjadjaran yang
memberikan nuansa khidmad tersendiri. Menutup konser, Lilin Lilin Kecil
dinyanyikan bersama oleh semua penampil sambil membawa ‘lilin’.
Aku bukan pemburu konser. Kalau memang kesempatannya ada ya
akan hadir. Beruntunglah aku bergiat di lingkungan broadcasting yang cukup
memudahkan kami untuk mendapatkan akses hadir di sebuah pertunjukan musik. Dari
tak terlalu banyak konser yang kuhadiri ini, ‘Konser LCLR Plus’ ini sangat
memuaskan. Aku mengagumi karya-karya Yockie. Dan hampir semua penampil
menunjukkan kepiawaiannya. Bahkan para penyanyi muda terlibat tampil prima.
Dira, kita tahu kemampuan olah vokalnya. Husein menarik; muda dan sukses
membawakan lagu-lagu yang notabene milik orang tuanya. Ada beberapa ‘slip’
memang, seperti Keenan Nasution yang kehilangan nada saat membawakan Awan
Putih. Atau Dian PP yang ‘seperti’ lupa lirik. Che yang buatku tak terlalu
memberikan kontribusi kecuali wajahnya yang good looking, cocok untuk menarik
peminat muda. Yang cukup mengejutkan juga buatku adalah Apatis yang dibawakan
Harry Sabar dan Benny Soebarja. Ada perubahan yang cukup kental buat kupingku
yang selama ini memutarkan lagu LCLR 1978 itu dalam versi lama. Apatis menjadi
salah satu lagu yang cukup banyak dirikues sejak aku siaran radio tahun 1997.
Dan tentu saja yang masih membuatku terpana adalah lengkingan suara Berlian
Hutauruk yang tak lekang oleh waktu itu.
Show pun mengalir dengan baik. Sys NS sebagai pemandu,
seperti biasa tampil dengan humor-humor segar. Terlebih dengan MC tambahan yang
dibuat ‘seolah dadakan’, Rudy Jamil. Di usianya, banyolan khas ‘Sunda’ Rudy
Jamil masih sanggup mengundang gelak penonton. Hadirnya sosok-sosok yang –entah
disetting atau tidak- hadir dalam konser, melengkapi konser yang berlangsung di
Sasana Budaya Ganesha ini. Deddy Dukun yang mengaku orang Bandung menyerahkan
syal untuk Yockie. Ia pun mendendangkan ‘Masih Ada’, salah satu hitnya bersama
Dian PP. Titiek Hamzah yang pernah berjaya di dekade 60-70an ditarik dari area
penonton. Dia pun ‘terpaksa’ menyanyi suka-suka dalam irama Blues. Berikutnya
Harry Pochang, musisi Blues Bandung yang mendapat giliran nge-jam bareng
Yockie. Yang juga menggembirakan adalah hadirnya Eros Djarot, nama yang dikenal
dengan lirik-lirik lagunya yang bermutu. Lirik lagu yang juga terhubung dengan
Yockie pada banyak hits di tahun 70-80an. Termasuk pada album monumental Badai
Pasti Berlalu. Senang menjadi bagian dari para legenda musik Indonesia ini.
Selain ikut gembira dengan aneka bodoran yang ditampilkan
dan ikut bangga karya-karya musisi dalam negeri ini, ada keharuan yang tak
kuasa kubendung. Selain karena mengalami orgasme karya musik yang bagus, beberapa lagu pernah
kukenal di masa kecil dari penampil yang lain. Suara merdu mendayu Pahama pada
Kidung membuatku menitikkan air mata. Begitu pun pada Sesaat, lagu yang
disuarakan Benny Soebarja sebetulnya tak terlalu kukenal. Aku sempat mencoba
mendengarnya lewat youtube pada beberapa hari sebelumnya. Namun yang tersaji
pada panggung malam itu, karya Harry Sabar itu tampil dengan magis. Ada haru
biru yang menyerangku. Begitulah, kawan, seperti kubilang di awal: kau tak
perlu mengingat-ingat dari mana kau pernah mengenal sebuah komposisi, karena
lagu bagus akan dengan sangat mudah kau nikmati.
Pada akhirnya konser pun usai. Kurasa sebagian besar
penonton menikmati ekstase seperti yang kualami. Tak semua mungkin, karena
kulihat beberapa anak muda nonton bersama orang tua mereka. Tampak tak mengerti
dengan lagu-lagu yang ditampilkan. Semoga bukan karena dipaksa 😀 Yang menarik,
kulihat penonton utuh hingga pagelaran tuntas. Beberapa malah asik ngerubung
para penampil di panggung. Tapi kurasa semua menyimpan catatan sendiri dalam
hati.
Sampai ketemu di pagelaran musik
berikutnya 😍
No comments