Beberapa
hari kemarin terpaksa di rumah saja. Menyerah pada badan yang sepertinya memang
butuh istirahat. Beres-beres lalu makan, bermain bareng anak-anak meong, lanjut
tidur. Kerjaan yang sebetulnya sedang deadline, abaikan. Di antara saat
istirahat dalam nuansa tak sehat, ingatanku kembali ke masa kecil. Masa kecil
di rumah kami yang pertama, yang pernah kuceritakan sebelumnya.
Ingatan masa
kecil itu adalah kerinduan pada perjalanan partikel debu, yang tertangkap oleh
cahaya dari lubang udara pada sisi atas bagian timur rumah kami. Seperti
kuceritakan sebelumnya, rumah sederhana kami adalah rumah berdinding bilik
bambu dengan ukuran 8x10 meter sudah termasuk kandang ayam. Rumah tersebut
awalnya adalah dapur milik keluarga dusun sebelah yang mau berganti rupa. Tak
heran ada lubang udara yang terbilang cukup besar. Perjalanan partikel udara
yang seolah berombongan, meliuk, menari itu hanya bisa kulihat ketika sakit dan
ijin bersekolah; ketika cahaya matahari pagi menyelinap masuk rumah. Barangkali
dibarengi dengan kesadaran yang hanya sekian persen, badan tak nyaman, lidah
berasa pahit, ingatan itu begitu membekas di benakku.
Pemandangan
itu jarang kutemui. Karena aku jarang sakit. Cerita cukup spektakuler terkait
sakitku mungkin pada saat bayi, saat aku masih belum menyadari keberadaanku.
Konon aku sakit berat dan nyaris mati. Pada sebuah mimpi, sesosok punggawa di
masa Kerajaan Majapahit menyarankan orang tua menambahi nama baru pada namaku:
Mumpuni. Aku pun sehat. Tentu saja urusan hidup adalah perkara Sang Khalik dan
usaha tim medis. Tapi perihal pemberian nama ini menjadi catatan tersendiri.
Nama itu pun melekat padaku hingga sekarang. Meski jarang kugunakan kecuali
urusan formal. Beurat teuing kalau kata orang Sunda mah 😀 Dari masa aku mulai menyadari
proses, tak ingat persis juga berapa kali orangtua membawaku ke dokter. Dua
saja yang kuingat betul, pertama ketika mengalami sakit pada jelang lebaran,
dan kedua saat kepalaku berdarah terkena cangkul 😅 Hah, cangkul?
Kalau soal
sakit jelang lebaran pasti sudah terbayang kan? Ya, begitulah.. kami keluarga Kristiani.
Tapi Lebaran adalah momentum yang kami tunggu. Apalagi kalau bukan aneka
penganan dan sangu (angpau). Silaturahmi sih urusan orang tua. Biasanya yang
merasa lebih muda menyambangi lebih dulu ke keluarga yang dituakan. Termasuk ke
rumah kami. Di masa lalu begitu (entah sekarang, apa ada perubahan). Pada
beberapa hari sebelum Lebaran biasanya anak-anak, bersama kakak-adik dan teman
bermain- sudah membuat kesepakatan, rute kunjungan. Diawali dengan keluarga
yang biasanya memberi sangu paling besar. Atau yang sediaan kuenya terkenal
enak. Anak laki-laki dilengkapi dengan celana dan baju bersaku yang kelak akan
dipenuhi dengan kue kecil dan gula-gula. Sementara gadis-gadis kecil berbekal
tas slempang atau dompet atau saku-saku mungil di ujung dress-nya. Aku
ingat bajuku waktu itu berwarna pink, pemberian pacar keponakan bapak yang
beberapa kali singgah ke rumah. Baju terusan berlengan pendek, dengan kain satin,
berhias pita merah dan bunga. Ada dua saku kecil berbentuk dasar oval di atas
rumbai ujung baju. Pada jelang hari-H, datanglah bencana itu. Bencana itu
bernama demam. Aku pun terpaksa bergelung di tempat tidur selama beberapa hari.
Banyak juga pasti yang mengalami itu. Tapi terkena cangkul, barangkali agak
jarang 😆
Alkisah pada
sebuah kedua kakakku dan adik yang entah waktu itu siapa, berinisiatif membuat
kolam-kolaman di sebelah tegalan (singkong) di belakang rumah. Entah kenapa aku
yang ditugasi mengambil cangkul. Karena posisi cangkul itu terbilang tinggi,
dengan mata cangkul menyelip di bawah kayu atap bagian bawah dapur. Sepertinya
aku musti jinjit untuk bisa mengambilnya. Berhasil diambil, tapi tak kuat
menahan beban. Tertimpalah kepalaku. Sepertinya hanya terkenai pangkal mata
cangkul. Tapi itu pun lumayan. Darah mengucur deras. Mereka panik. Ibuku saat
itu entah dari mana, sampai di rumah langsung menyuruhku ganti baju. Bergegas
kami pun lalu ke puskesmas. Dikasih obat luar dan obat minum. Peristiwa ini
cukup membekas karena kuingat aku bertanya dalam hati: kenapa ibu menyuruhku
ganti baju putih? Kebetulan aku punya setelan atas bawah warna putih. Itulah
yang kukenakan di hari itu. Padahal kepalaku berdarah. Mungkin ibu berpikir,
mau ketemu dokter perlu berbaju putih-putih 😝
Perawatan
medis lain yang kuingat adalah berobat ke Mantri. Kita sebut saja T. Kenapa
hanya diwakili abjad? Karena dia melakukan hal asenonoh yang cukup bisa
dicermati mata seorang bocah. Mantri T ini
buka praktek di dusun sebelah. Rumahnya besar. Konon itu rumah mertuanya yang
kaya. Konon pula istrinya tak cantik, maka ia cukup disayang sama keluarga sang
istri. Mantri T cukup tampan sebagai seorang mantri. Postur tubuh tak terlalu
tinggi, badan sedang, kulit cukup cerah, dengan rambut sedikit bergelombang (ah,
aku cukup baik sebagai pencermat ternyata 😎. Pasiennya? Banyaaaaaaak! Dokter
saja kalah. Kalah telak persisnya. Selain biaya murah, katanya semua pasien
yang berobat hampir 100% sembuh. Nah suatu hari aku diajak kakakku berobat.
Selisih usiaku dengan kakak tertuaku 6 tahun. Taruh kata waktu itu aku 11 atau
12 tahun, berarti kakakku 17 atau 18. Lagi manis-manisnya J Aku ingat kakakku hari itu
mengenakan baju bunga-bunga warna ungu kombinasi hitam. Rambutnya hampir selalu
dipotong pendek. Pupurnya kelihatan baru dipoles. Wangi pasti. Selesai diperiksa
si kakak duduk di tepi dipan periksa sambil merapikan bajunya. Mantri T
mendekati dan mencoba mencium pipi kakakku. Si kakak melengos. Aku melihat dari
balik kelambu ruang periksa. Kurasa sampai sekarang kakakku tak tahu kalau aku
tahu. Karena aku penyimpan rahasia yang baik 😎 Di masa kanakku, itu lalu menjadi
pertanyaan: apakah semua pasien yang datang ke tempat praktek pak mantri
benar-benar demi pengobatan? Wallahualam bisawab..
Itu sejauh
yang kuingat perihal berurusan dengan tenaga medis di waktu kecil. Apakah kami
semua benar-benar sehat semua? Tidak. Ada masa-masa tertentu yang ririwit.
Ditambah dengan luka kecelakaan, kecil dan besar yang tak terduga.
Waktu kecil,
kami semua nyaris mengalami luka di kaki bagian belakang. Tersangkanya: bapak!
Haha.. Sebagai bocah, kami duduk di boncengan sepeda kalau ikut bapak bepergian.
Mustinya kedua kaki diikat dengan tali ke badan sepeda. Tapi entah lupa atau
terlalu percaya anak-anaknya sudah besar, si kaki-kaki kecil itu tak ditali.
Lalu begitu saja nyelonong ke jeruji roda sepeda. Alhasil kaki pun
berdarah-darah. Begitu sampai di rumah, ibu ngamuk: bapakmu nek wis
rengeng-rengeng lali karo anake! (bapakmu kalau sudah bersenandung lupa
sama anaknya). Begitulah. Bapak suka bersenandung sambil mengayuh sepedanya.
Dan bahkan anaknya menjerit kesakitan sering tak terdengar 😂
Luka
terparah yang dialami oleh saudaraku di masa kecil adalah yang menimpa adikku.
Sebagai bocah laki-laki yang dari kecil mengidolai serdadu, gemar bermain
perang-perangan, pada hari itu pun ia dan teman-temannya bermain dengan senjata
dari pelepah pisang. Lalu apa yang melukai? Yang melukai adalah ketika
mengintip musuh dari semak, lalu sambil melompat membuat serangan, kakinya
terlalu dekat dengan plat besi yang teronggok dia area mereka bermain. Depan
rumah kami ada sebuah bengkel mobil. Plat-plat bekas sering dimanfaatkan
sebagai dinding bedeng kakus yang letaknya memang tak beraturan. Semua anak
menjerit. Kulit di lutut bagian dalam menganga. Istilah ibuku: nyangkem kodok. Luka
setengah lingkaran.
Penyakit
ririwit yang cukup sering kami alami adalah sakit kulit dan sakit gigi. Sakit
kulit persisnya dialami kedua kakakku. Kakak tertuaku punya luka di salah satu
kakinya. Bukan luka; bruntus yang lalu menjadi borok. Mungkin semacam eksim.
Mau tahu instruksi penyembuhannya menggunakan apa? Cari batu merah atau
genteng, hancurkan. Lumatkan daun pohon bunga kuning (kalau tidak salah namanya
bungur), campurkan bersama bubuk bata merah. Ditempelkan ke borok? Bukan,
gosokkan! Jangan bayangkan rasanya seperti apa. Yang kuingat kakakku menangis,
dengan bapak yang terus memberikan intruksi: gosok biar cepat sembuh! Aku tak
tahu, apakah saat itu produk farmasi sudah dicoba dan tak mempan, ataukah obat
alternatif itu satu-satunya pilihan.
Kalau obat
farmasi tak mempan jelas dialami kakak keduaku. Entah obatnya apa, tapi
sepertinya kedua orangtuaku sudah patah arang untuk membeli obat. Alternatif
kali ini: tokek. Teman-teman dikerahkan. Titip carikan juga ke para pengecer es
(saat itu kami berjualan es lilin, dengan para pengecer yang tersebar dari
beberapa dusun sebelah). Lalu tokek-tokek itu dipotong, dibersihkan, ditumis.
Dimakan kakakku bersama nasi. Aku tak ingat hasilnya. Kalau tak salah sembuh
untuk seterusnya.
Sakit gigi?
Nah ini yang paling menyebalkan. Lebih baik sakit hati daripada sakit gigi
dah.. Salah besar itu Meggie Z 😔 Sebelum cerita soal sakit gigi, biar kuceritakan
perihal urusan gigi yang lain.
Sedari kecil
kami diajari untuk mencabut gigi sendiri. Bagi yang hidup di kampung, ini hal
biasa. Tapi beberapa kawan yang sempat kukasih cerita, melongo. Kok bisa? Ya
begitulah.. Begini prosesnya. Ketika gigi mulai terasa goyang, kami diminta
untuk menggoyang-goyangkannya pada tiap ada kesempatan. Berapa lama? Sampai
terasa tak terlalu sakit. tidak tentu berapa hari. Pada saat mulai tak ada
kendala sakit, maka benang dilingkarkan ke pangkal gigi. Waktu kecil, orangtua
yang melakukannya. Saat dianggap cukup besar, kami musti bisa melakukannya
sendiri. Awalnya ya nangis-nangis, teuteup.. Dikasih aba-aba 1-2-3, ga
jadi.. 1-2-3, ga jadi.. dimarahi haha! Tapi dibiarkan dulu. Besoknya dicoba
lagi. Berhasil! Cuma begitu lihat gigi keluar disertai darah, huaaaaaa...
Awalnya masih saja menangis. Tapi kemudian menjadi biasa, sampai gigi-gigi
permanen mulai tumbuh dan tak perlu dicabut lagi. Perlakuan terhadap gigi-gigi
itu pun berbeda. Kalau gigi atas yang dicabut, kami diminta menanam dalam
tanah. Kalau gigi bawah yang dicabut, gigi dilemparkan ke atas genting. Padahal
kan sangat mungkin jatuh juga ke tanah ya? Entah itu filosofinya apa. Kami juga
tak pernah membahas hal itu dengan teman-teman. Apakah mereka melakukan hal
yang sama, atau ini hanya kebiasaan di rumah kami saja.
Nah cerita
soal sakit gigi, hal lain lagi. Mungkin waktu kecil kami tak punya kebiasaan
gosok gigi yang baik. Mungkin makanan yang kami konsumsi terlalu ajaib sehingga
bikin gigi berlubang. Pokoknya sakit gigi ini nyaris jadi langganan. Obatnya
macam-macam. Getah pohon jarak, minyah cengkeh (ditaruh di kapas lalu diselip
ke gigi berlubang), liur bekicot (caranya sama dengan minyak cengkeh), dan air
lombok. Beberapa terdengar aneh kan? Tapi yang paling aneh adalah air lombok. Apa pasal? Karena begini.. cari lombok yang
kecil tapi merah. Kecil ya. Saking kecilnya tak ada bijinya. Tapi merah,
artinya matang. Belah si lombok mungil, masukkan ke air panas yang sudah
disiapkan di wadah. Sedikit saja airnya. Saat airnya sudah suam-suam kuku,
masukkan si air ke telinga. Telinga? Iya, dengan kepalanya dimiringkan ke arah
bawah. Kalau gigi yang sakit di kiri, air dikasukkan ke telinga kanan.
Masalahnya adalah istruksinya begini: kalau ada bunyi ‘glek’ langsung balikan
kepala (biar air yang tersisa keluar). Dalam hati menjerit: kalau aku ga tau
kapan gleknya, trus airnya bablas ke otak gimanaaaaaaaaa? Tapi dalam hal
ini bapak tak bisa ditolak. Jadi begitulah. Aku juga tak ingat, si lombok
mungil ini berhasil menyembuhkan atau tidak.
Kalau sakit
yang terbilang agak serius saja memanfaatkan herbal alternatif, apalagi sekadar
luka. Biasanya luka-luka kecil kami dapatkan saat bermain. Terjatuh atau
tergores pisau saat bantu ibu di dapur. Kami tinggal mencari getah-getahan di
sekitar. Getah singkong, getah pepaya, getah pisah. Langsung oleskan ke luka.
Sedangkan luka bakar atau luka lama, minyak yang keluar dari kayu saat dibakar
dapat dimanfaatkan. Saat menulis ini sesungguhnya aku jadi bertanya: itu betul
minyakkah? Jadi saat dibakar, ada cairan yang keluar dari batang kayu. Nah itu
yang dioleskan selagi masih hangat.
Begitulah,
cerita sakit di masa kecil. Sekadar mengenang, sekadar becermin. Atau, yang
belum punya pengalaman ini, barangkali berminat mencoba 😊
#MenulisUntukMengujiIngatan
#DongengMasaKanak
No comments