Nonton film buatku adalah pelarian. Lari dari
tanggung jawab: dead line, stuck nulis, stuck melakukan
hal kreatif lainnya ๐ Aku bisa betah nonton hingga 3 film sekali putar. Dan
entah film apa saja yang sudah kutonton. Aku mencatat dua, film yang buatku
nendang banget. Pertama, film animasi Coco. Kedua, Black Book.
Aku tak suka membaca sinopsis atau review sebelum nonton film. Kejutan itu
menyenangkan. Terutama untuk film-film yang file-nya tersimpan di laptop. Lalu
sebagai pertanggungjawaban dari ‘pelarian’ ini, aku mewajibkan diri untuk
menuliskan review-nya ๐
Aku memulai dari film kedua, Black Book. Film
diawali dengan cerita perjalanan perempuan Belanda, Ronnie (Halina Reijn) ke
Israel, pada Oktober 1956. Kunjungannya ke salah satu sekolah di area wisata,
mempertemukannya dengan sosok perempuan yang pernah dikenalnya, Rachel Stein
(Carice van Houten). Sesungguhnya ini bukan kisah Ronnie, melainkan Rachel.
Maka perjumpaan itu pun mengembalikan Rachel pada tahun-tahun yang pernah
dilaluinya di Belanda.
Alkisah Rachel adalah penyanyi Yahudi Belanda
yang sebelumnya menetap di Jerman. Tapi pada masa perang, ketika kaum Yahudi
diburu, ia hijrah ke Belanda dan bersembunyi di rumah warga. Sayangnya tempat
persembunyiannya segera diketahui, dihancurkan dalam sekali serangan. Ia pun
mendatangi pengacara yang pernah disebut oleh ayahnya, Smaal (Dolf de Vries).
Sebelumnya ia mendapat tawaran dari anggota perlawanan, Van Gein (Petrus Blok)
yang mengaku bisa membawanya keluar dari area pencarian. Dengan berbekal uang
yang telah dititipkan sang ayah ke Smaal, Rachel pun kemudian bergabung dengan
sejumlah orang yang pergi dengan tujuan yang sama, menghindar dari wilayah yang
diduduki Nazi. Pada pelarian ini, Rachel berjumpa dengan keluarganya, ayah,
ibu, dan adiknya. Perjumpaan yang sangat singkat. Karena tak lama meninggalkan
daratan, kapal diserang oleh sekelompok serdadu Jerman. Rachel berhasil
menceburkan diri ke sungai. Penumpang lainnya, tewas.
Tak dijelaskan prosesnya, Rachel diselamatkan
oleh kelompok perlawanan di Den Haag, di bawah kepemimpinan Gerben Kuipers
(Derek de Lint). Ia mendapat tawaran untuk menjadi agen dengan nama samaran
Ellis de Vries. Rachel mengubah rambutnya menjadi pirang. Pada pelarian
sebelumnya, dalam perjalanan kereta ia berjumpa dengan Ludwig Mรผntze (Sebastian
Koch). Tugas pertamanya adalah menggoda Muntze yang adalah salah satu komandan
Jerman. Ia bertugas bersama anggota lain yang sekaligus dokter, Hans Akkermans
(Thom Hoffman). Pancingan mereka berhasil. Mรผntze sungguh jatuh cinta pada
Ellis, dan dengan segera ia pun mndapatkan pekerjaan sebagai sekretaris di
kantor pusat tentara. Di sinilah Ellis berjumpa dengan Ronnie.
Stop sampai di sini ya, tak seru kalau
diceritakan keseluruhan. Selintas film ini mengingatkanku pada The Reader.
Tokohnya sama-sama perempuan, dengan setting masa berjayanya Nazi, namun dalam
posisi yang berbeda. Aku nonton The Reader pada masa film itu rilis, 2008.
Sedangkan Black Book rilis dua tahun sebelumnya. Dan aku tak tahu ada film
bagus ini ๐ Yup, untuk menemukan sensasinya sebaiknya nonton filmnya. Sensasi
mendapati kengerian pembunuhan, atau nuansa hangat yang muncul di antara
perjumpaan Rachel dengan Muntze (sosok yang langsung membuatku jatuh cinta lalu
googling dengan kata kunci: Sebastian Koch), atau ketika peran Ellis sebagai mata-mata
ketahuan. Tontonlah, kau tak akan menyesal, kawans. Atau justru menyesal,
karena gambaran-gambaran buruk di film ini menghantuimu ๐
Black Book pertamakali ditayangkan
pada 1 September 2006 di Fesival Film Venesia, dan dirilis untuk umum dua pekan
kemudian di Belanda. Film ini menjadi film paling mahal yang pernah digarap di
Belanda. Namun juga menjadi film paling sukses secara komersil. Ini film
pertama Paul Verhoeven yang dibuat di Belanda sejak The Fourth Man, garapannya
tahun 1983 sebelum ia pindah ke Amerika. Pers Belanda memberikan respon positif
terhadap film ini. Pun pers internasional, terutama untuk kinerja Van Houten.
Black Book menerima tiga
Golden Calves, dan memenangkan penghargaan terbanyak di Festival Film Belanda
pada tahun 2006. Pers internasional menanggapi secara positif, terutama
mengenai kinerja Van Houten. Film ini juga dinominasikan untuk Penghargaan
BAFTA sebagai Best Film Not in the
English Language. Didaftarkan untuk Academy Award kategori Best Foreign
Language Film tahun 2007, namun tidak masuk nominasi.
No comments