Kemarin menjumpai satu tulisan dari
sebuah FP FB yang dibagikan seorang kawan. Postingan lama, tahun 2017. Penulis
menceritakan bacaannya tentangangka bunuh diri yang tinggi di kalangan petani
India. Bunuh diri dilakukan karena keputusasaan petani; panen gagal sementara
mereka harus membayar hutang pembelian tanah, pupuk, dan bibit. Di Indonesia
kondisinya sesungguhnya tak jauh berbeda.
Butuh biaya untuk mengelola sawah, ladang, kebun, dan ternak. Belum lagi
kebergantungan iklim yang tidak dapat diprediksi. Dan dari mereka inilah,
orang-orang inilah yang menyediakan pangan untuk kita makan, bekerja keras
dalam jangka waktu tidak pendek, dengan hasil yang tidak seberapa. Bayangkan
ketika kerja keras tersebut, alih-alih dihargai dengan cara menghabiskan
makanan yang disediakan, malah dibuang-buang.
sumber: facebook/karyauntukperubahan |
Masih dari postingan ini, disebutkan
data survei Economist Intelligence Unit tahun sebelumnya, Indonesia per
orang pertahun membuang/menyisakan 300 kg makanan. Selain persoalan distribusi
dan mafia, salah satu sumber masalahnya juga banyak orang yang mengambil
makanan lebih dari kebutuhan tapi tidak menghabiskannya. Padahal jika disadari, dalam setiap butir nasi, setiap kerat daging, setiap helai daun lalapan
itu ada kerja keras manusia, ada pengorbanan hidup makhluk, ada sumbangan
energi dari matahari dan sumbangan nutrisi dari bumi, tentu kita akan lebih
menghargai makanan dan tidak akan membuang-buangnya.
Aku langsung tergerak untuk mengutip
dan menuliskan ulang catatan di atas, karena kalimat-kalimat akhir
langsung mengingatkanku pada pelatihan bersama EcoCamp beberapa bulan lalu yang
mengangkat tema ‘From Ego to Eco’. Pada setiap akan makan pagi-siang-malam, ada
rutinitas yang kami lakukan yakni menyimak 7 refleksi sebelum makan. Awalnya
terasa lamban sekali, beradaptasi dari kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Selama
ini makan selalu dilakukan buru-buru. Kalau soal makanan, aku sendiri tak ada
masalah dengan ‘berhemat’. Sudah terbiasa. Tapi itu hanya kebiasaan, bukan
karena kesadaran. Berbeda halnya dengan ketika aktivitas itu dilakukan dengan
sepenuh kesadaran. Selain makan secukupnya dan menghabiskan apa pun yang sudah
diambil, makan pun terasa nikmat karena
ada sebuah ungkapan syukur dalam batin yang tak terucap.
Banyak alasan untuk kita berhemat
perihal makanan ini –kalau memang kita butuh alasan. Mau alasan sentimentil?
Biar kubagikan pengalamanku..
Aku dibesarkan dalam keluarga dengan
tingkat ekonomi pas-pasan. Urusan makanan, seadanya. Ibuku pernah bilang: “wong
dipangan yo mung dadi tai, ra usah pengen neko-neko..” Lebih kurang
artinya: makanan dimakan cuma keluar sebagai kotoran, tak perlulah punya
keinginan makanan macam-macam. Terdengar kasar, tapi bukankah memang itu benar?
Yang meminta seringkali keinginan lidah, bukan kebutuhan tubuh. Dalam konteks
keluarga kami bisa dibilang berkekurangan dalam hal gizi, tapi pada akhirnya
kami hanya bisa mengamini sabda sang ibu 😀
Kami sangat jarang makan daging.
Konsumsi daging paling banter ya daging ayam, ketika mendapati ayam peliharaan
sakit lalu potong. Karena ayam dewasa yang sehat ya untuk dijual ke pasar. Ayam
sakit barulah menjadi bagian kami. Pada masa kecil, buah-buahan yang kami kenal
hanya pisang, pepaya, dan mangga, karena kami menanamnya. Perkenalan kami
dengan buah-buahan yang aneh adalah di tempat lain atau di tempat sampah. Loh
kok bisa?
Suatu kali ibu cerita, saat membawa
salah satu kakak melakukan perjalanan ke luar kota. Dalam bis ada seorang anak
sepantaran kakak yang sedang makan buah. Kakak tanya ke ibu, apa yang dimakan
itu anak. Dan ibu tak bisa jawab karena memang tidak tahu. Ternyata apakah yang
dimakan? Apel! Itu hanya pengetahuan. Tapi kami mengalami merasakan dari tempat
sampah. Tentunya ini bukan hal yang membanggakan, sebaliknya malah memalukan.
Tapi bangga atau malu, toh hanya rasa. Bahwa fakta kami pernah koreh-koreh tempat
sampah, itu nyata adanya.
Peristiwanya sekitar tahun 80
pertengahan. Ada sebuah keluarga tetangga yang cukup terpandang di desa kami.
Keluarga pedagang yang kaya. Salah satunya tinggal di dekat rumah. Mereka punya
tempat sampah berupa keranjang bambu yang diletakkan di depan/samping rumah.
Dari sinilah kami tahu rasanya rambutan, apel, durian.. Kami sering menemukan
rambutan yang terlewat dikupas, apel yang masih cukup besar sisanya, durian
yang terlewat dibuka. Cukup sering mereka berpesta buah-buah itu. Kadang kalau
tak keburu dan sampah sudah dibuang di tempat sampah yang lokasinya di tanah
kosong sebelah rumah, ya di situ juga kami akan mengais.
Cukup sentimentil kan? Ada berapa
banyak keluarga seperti kami di dunia ini? Banyak! Bahkan yang jauh lebih buruk
pun banyak..
Penduduk dunia ini bertumbuh, bukan makin
menurun angkanya. Laporan PBB menunjukkan, hingga 2050 Afrika dan Asia akan
memimpin laju pertumbuhan penduduk kota. Populasi warga kota Afrika akan
berkembang dari 414 juta menjadi 1,2 miliar. Sedangkan Asia, dari 1,9 miliar
menjadi 3,3 miliar orang. Dari dua benua ini saja pertumbuhan penduduk kotanya
sekitar 86 persen dari penduduk dunia. Disebutkan pula, antara tahun 2015
hingga 2050, akan terjadi lonjakan penduduk dunia dan Indonesia menjadi salah
satu penyumbangnya. Separuh lonjakan penduduk dunia terjadi di sembilan negara.
Selain Indonesia, negara lainnya adalah India, Nigeria, Pakistan, Kongo,
Ethiopia, Tanzania, Amerika Serikat, dan Uganda.
Dengan prediksi percepatan populasi ini
muncul berbagai kekhawatiran, di antaranya jika dikaitkan dengan sumber daya
alam. Para pengamat dan ilmuwan mengingatkan, ledakan besar penduduk ini tak
hanya menurunkan tingkah kehidupan manusia, tapi juga mengancam lingkungan
hidup dan kehidupan yang sehat.
Jadi, apa andil kita untuk
‘setidaknya’ sedikit menjadikan kehidupan terjaga seimbang. Salah satunya ya
yang sudah kita sebut-sebut dari tadi: HEMAT.
Selama ini kita dijejali pepatah:
hemat pangkal kaya. Apakah salah? Mungkin tak sepenuhnya salah. Pada titik
tertentu keyakinan itu mungkin...mungkin, tetap dibutuhkan. Tapi dari pelatihan
yang lalu itu, aku diingatkan satu kalimat pengganti yang buatku lebih menarik:
HEMAT PANGKAL SELAMAT.
Hemat pangkal kaya bermakna
egosentris. Sedangkan ‘hemat pangkal selamat’ bermakna ekosentris. Kita
berhemat karena kita peduli dan ingin berbagi kepada sesama, terutama yang
lemah dan miskin. Mari kita coba tengok banyak kasus yang melibatkan kerusakan
alam? Jawabannya adalah mereka yang lemah dan miskin. Satwa yang tak bisa
menolak penggantian hutan menjadi lahan produksi. Dan ketika kebakaran hutan
terjadi, adakah orang kaya yang menderita? Tidak ada.
Kita bisa memulainya dari hal yang
sederhana, dari lingkungan terkecil, dengan mengubah kebiasaan makan. Ambil
secukupnya, karena sumber daya alam bukan milik kita. Ambil secukupnya, karena
begitu banyak orang tak seberuntung kita. Ambil secukupnya, secukup kebutuhan
kita. Ambil secukupnya, jangan yang ambil hak generasi yang akan datang.
Hari ini, Hari Anak Nasional. Mari
jadikan ‘hemat’ sebagai kebiasaan baru anak-anak kita...
No comments