Ada yang istimewa hari ini di laman
mesin pencari Google. Saat buka google.com kita disodori sosok perempuan yang
sedang menulis. Tampak kertas warna-warni, senada dengan pakaian batik yang dikenakan perempuan berkacamata tersebut. Sosok perempuan itu adalah penulis
tanah air, NH Dini, yang kalau hari ini, 29 Februari 2020 masih ada, usianya 84
tahun. Tapi ia telah berpulang pada
Desember 2018 lalu. Ilustrasi
NH Dini di Google Doodle hari ini adalah karya seniman Jakarta, Kathrin Honesta.
Aku pernah berjumpa tak
sengaja dengan almarhum pada 2009 lalu. Tak sengaja, saat beliau belanja di
lapak produk herbal milik saudara di Semarang yang kebetulan aku sedang
berkunjung. Pernah ditulis di sini. NH Dini adalah sosok perempuan yang lugas dan optimis. Tertangkap dengan
sangat jelas dalam obrolan singkat kami. Tapi kelugasan NH Dini memang dengan
mudah kita temukan pada karya-karyanya. Utamanya kepeduliannya terhadap
peran perempuan. Ia banyak membahas
tentang isu gender, tentang perempuan yang layak diperlakuan secara adil dan
terhormat.
Selain karena dibesarkan oleh orang
tua tunggal, sang ibu-pasca kematan ayahnya, prinsip NH Dini makin terbentuk
oleh lingkungan kerja dan pergaulannya. Seperti kita tahu, Dini bekerja sebagai
pramugari. Pekerjaan yang mempertemukannya dengan sang suami, Yves Coffin, yang
adalah seorang konsul
Perancis untuk Jepang. Pertemuan yang kemudian membawanya berjumpa dengan banyak
kebudayaan. Ia menemani suami yang bertugas di sejumlah negara, seperti Kamboja,
Jepang, Perancis, Filipina, dan AS.
Punya ayah yang seorang pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api, cita-cita Dini kecil bukannya menjadi penulis melainkan menjadi sopir lokomotif alias masinis. Namun takdir berkata lain. Kemampuan bercerita Dini sudah tumbuh sedari kecil. Di bangku sekolah dasar ia sudah gemar menulisi bukunya dengan aneka hal yang bersliweran di benaknya. Sang ibu juga menyuapinya dengan aneka kisah imajinatif sedari kanak. Pasca kehilangan ayah di usia SMP, Dini punya kebiasaan baru: melamun. Kebiasaan yang malah membuat kemampuannya berimajinasi makin terasah. Ia giat menulis di majalah dinding sekolah. Ia juga rajin mengirim prosa ke RRI. Bahkan membacakannya untuk disiarkan. Usia belasan tahun ia sudah menulis untuk majalah. Cerpen pertamanya, Pendurhaka, mendapat apresiasi dari HB Jassin. Peristiwa itu terjadi pada 1951. Sepuluh tahun kemudian, novel pertamanya, Hati Yang Damai, diterbitkan.
Perkenalanku dengan karya NH Dini
adalah novelnya yang terbit tahun 1973, Pada Sebuah Kapal. Menjadi salah satu
buku wajib baca saat pelajaran Bahasa Indonesia di SMP. Karya-karya lainnya
baru kubaca saat sudah kuliah, seperti La Barka (1975) dan Namaku Hiroko (1977).
Yang terakhir adalah dua buku yang diterbitkan sebelum Dini memutuskan kembali ke
tanah air. Pada 1980 persisnya, ia memutuskan pulang ke Indonesia. Lima tahun kemudian
ia baru mendapatkan kembali kewarganegaraannya setelah resmi bercerai dari Yves
(1984). Ia kehilangan hak asuh atas kedua anaknya, Marie-Claire Lintang dan
Pierre Louis Padang. Uang yang ia dapatkan dari perceraiannya sebesar 10.000
dollar AS, ia manfaatkan untuk membangun pondok baca anak-anak di Sekayu,
Semarang. Selebihnya ia mandiri menghidupi diri sendiri melalui profesinya
sebagai penulis. Sebuah pilihan mandiri pula, ketika ia memutuskan untuk tinggal
di panti jompo pada usia tuanya.
Dini, pada jelang tutup usia beberapa
kali mengalami gangguan kesehatan. Meski demikian ia masih berusaha tetap berkarya.
Hingga akhirnya berpulang pada 4 Desember 2018, pasca kecelaaan lalu lintas
yang dialaminya di sebuah kawasan di Semarang.
Selamat istirahat dalam damai, Ibu NH
Dini. Terimakasih untuk karya-karyamu..
Saat ketemu NH Dini di Semarang, 2009 |
No comments