Lebaran, momentum yang kehadirannya selalu dibarengi dengan kenangan masa kanak. Setidaknya dari pengalamanku sendiri. Pun yang kutemukan bertebaran di aneka jejaring sosial. Terlebih bagi mereka yang telah jauh meninggalkan masa kanak dan remaja, jauh pula secara geografis dari daerah tempat bertumbuh dan melewati saat-saat menyenangkan Idul Fitri bersama keluarga dan kawan sebaya. Aku pernah menuliskannya di sini, betapa selalu mengharu-biru kenangan masa kanak di masa Lebaran. Salah satu yang kutemukan hari ini di postingan seorang kawan adalah ‘madumangsa’ atau madumongso..
Baca juga: Jelang Lebaran dan Kenangan Akan Simbok Mutiah
Ada yang familiar dengan nama makanan ini? Wikipedia menyebut madumangsa sebagai makanan khas Ponorogo. Beberapa referensi lain menyebutkan penganan ini sudah dikenal sejak zaman Mataram kuno dan menjadi sajian para raja. Biasanya diolah khusus untuk perayaan-perayaan besar. Entah mana yang lebih tepat. Belum menemukan rujukan yang paling sahih. Yang jelas aku sudah mengenalnya sedari kecil, menjadi suguhan Lebaran dalam kemasan beragam. Sebagian besar dibungkus berbentuk oval atau bulat dengan kemasan luar kertas minyak atau kertas krep warna-warni. Ada pula yang dibungkus plastik bening dengan tali pengikat aneka warna.
Madumangsa terasosiasi dengan: tape ketan, jenang, legit. Meski menurut lidahku, madumangsa yang enak adalah yang tak terlalu legit, melainkan yang ada semburat asemnya. Sajian yang betul-betul istimewa. Tak semua rumah membuatnya dan biasanya memang hanya dibuat di saat Lebaran. Ibu, meski tak rutin, tapi sering membuat madumangsa ini untuk ikut merayakan Lebaran. Ya, madumangsa, salah satu penganan yang mewarnai kenangan masa kecilku tentang Lebaran.
Aku ingat persis bahan madumangsa ala ibu, tapi tak hafal takarannya. Coba melirik resep ini di Cookpad, ada 88 post. Aku coba kutipkan gabungan dari beberapa resep yang kurasa mewakili dari orijinalitas (halah 😀) madumangsa ala ibu.
Baca juga: Umbi dan Cerita Masa Kanak
Bahan:
500 gr ketan putih
500 gr ketan hitam
4 butir ragi
½ kg gula merah
500 ml santan kental
2 lbr daun pandan
Garam secukupnya
Cara membuat:
Tape
Rendam ketan selama lebih kurang 6 jam, cuci, kukus hingga matang. Dinginkan. Berikutnya taburkan ragi tape hingga merata. Tempatkan ketan beragi dalam sebuah wadah tertutup selama 3 hari.
Madumangsa
Setelah tape jadi, keluarkan airnya hingga terasa nyemek saja. Dalam wajan, didihkan santan bersama gula merah dan daun pandan hingga mengental. Masukkan tape. Masak dengan api kecil, aduk secara berkala, hingga menjadi campuran yang kalis. Proses pembuatan membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam. Setelah kalis, angkat dari perapian. Biarkan olahan madumangsa dingin sebelum dikemas sesuai keinginan.
Pinjam fotonya Mbak Ruur Rien (kawan FB di Blitar) yang lagi bikin madumangsa |
Selain nuansa asem yang kentara, menurutku, madumangsa yang enak adalah yang tak terlalu lembek. Caranya tape tak dibiarkan terlalu matang atau jangan sampai berair banyak. Itu yang dulu dilakukan ibuku.
Ibu menyiapkan pembuatan madumangsa sekitar seminggu sebelum Lebaran. Tapi tak tentu juga. Ada dua jenis jajanan yang biasanya dibuat sendiri, madumangsa dan krupuk jepit (opak gambir). Salah satunya dibuat pada sehari jelang Lebaran. Itulah yang sering menjadikanku nelangsa saat mendengarkan takbir jelang Lebaran. Nuansa tengah malam dengan aroma madumangsa atau krupuk jepit langsung menyeruak ke masa kini, membawa serta pahit, getir, senang, gembira, sedih, ceria, masa kanak. Mengingat kawan-kawan sepermainan yang sudah berpencar entah ke mana saja, bahkan ada yang sudah pergi mendahului. Pun orang tua yang juga sudah menghadap Sang Khalik.
Baca juga: Sakit dan Dongeng Masa Kanak
Meski tak berlebaran, gema takbir malam Lebaran selalu memberi makna khusus buatku. Bagaimana denganmu, kawan?
No comments