Sewaktu kecil, aku sering di-bully oleh teman-teman. Di-bully karena apa yang kubutuhkan selalu tersedia. Mereka meledekku sebagai orang kaya. Jadilah, sejak kecil tertanam dalam benakku, kalau aku tak ingin kaya, tak ingin berlebih, sekaligus tak mau mendapat bantuan dari orang lain.
Ini cerita dari seorang kawan. Sekadar menunjukkan, inner child itu nyata. Dan inner child bukan hanya menimpa kalangan broken home. Melainkan bisa siapa saja, dari keluarga harmonis dan berkecukupan sekalipun.
Baca juga: Ngeblog, Media Curhat yang Efektif
Banyak kalangan yang mengabaikan soal inner child ini. Merasa diri baik-baik saja, atau sebaliknya, menganggap bahasan ini terlalu berlebihan aka lebay, atau tak mau peduli. Padahal, luka batin yang lantas mengendap dalam diri ini mempengaruhi tumbuh kembang seseorang, baik dari sisi kejiwaan maupun spiritual.
Apa itu Inner Child?
Sebetulnya ada ketidaktepatan dalam penggunaan istilah. Orang sering menyebut 'inner child' saja sebagai pengganti istilah trauma masa kanak. Padahal, 'inner child' dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai anak kecil yang berada dalam diri kita. Sosok anak-anak dari diri kita itu melekat dan membentuk diri kita hingga dewasa. Keberadaan sosok kecil ini, seringkali mewujud dalam dorongan alam bawah sadar kita dalam membuat keputusan atau merespon persoalan.
Pengalaman hidup yang berbeda-beda menjadikan kondisi inner child tiap orang juga berbeda. Mereka yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang, kepedulian, kepercayaan, menghasilkan kepribadian yang dipenuhi rasa aman, nyaman, penuh percaya diri. Sebaliknya, pengalaman masa kecil yang dipenuhi kemarahan, sakit hati, kebencian, dan emosi bernuansa negatif lainnya, menghasilkan pertumbuhan kepribadian dipenuhi kesedihan, mudah curiga, rasa takut berlebihan, dan penghargaan terhadap diri sendiri yang kurang. Kondisi yang terakhir inilah yang seringkali secara sederhana disebut dengan istilah 'inner chid'.
Bagaimana Inner Child bermula?
Para pakar kejiwaan mengingatkan soal kondisi batin yang tak stabil akibat pengalaman buruk di masa kecil tak hanya dimiliki oleh mereka yang dibesarkan oleh keluarga yang broken home, namun juga mereka yang lahir dari keluarga normal, bahkan cenderung bahagia dan tercukupi secara materi.
Seorang anak yang dibesarkan oleh keluarga yang berpisah, sangat mungkin merasa tak dicintai oleh kedua orang tuanya. Atau oleh salah satu dari keduanya, kalau ia akhirnya tumbuh bersama ayah atau ibunya. Meski tak sedikit orang tua yang memutuskan berpisah dapat memberikan penjelasan yang tepat kepada anaknya; meski mereka pun tetap melimpahkan kasih sayang kepada sang anak, perasaan terluka tersebut bisa jadi tetap muncul. Kemampuan sang anak dalam mengembangkan dirinya sendiri yang memampukannya untuk mengambil sisi positif dari peristiwa yang dilewatinya.
Selain perceraian, persoalan materi dan kesibukan orang tua seringkali juga menjadi faktor pembuat luka. Ketidakmampuan orang tua dalam mengekspresikan perhatian dan kepedulian dapat menambah rasa tak nyaman bocah.
Baca juga: Doodle sebagai Sarana Melatih Imajinasi
Bagi mereka yang lahir dari keluarga yang bahagia dan berkecukupan secara materi, sumbangan trauma masa kecil biasanya datang dari lingkungan sekitar. Baik dari keluarga terdekat, pertemanan di sekolah, maupun lingkungan sekitar. Masyarakat, terlebih di Indonesia ini, memiliki kecenderungan untuk membuat perbandingan. Seolah tak bisa menerima kita apa adanya. Hal itu terjadi bahkan saat kita masih sangat belia. Saat kita lambat proses berjalan, atau lambat dalam berbicara, dan kemampuan lainnya yang dibandingkan dengan bayi-bayi lain yang seumuran. Saat bayi, ketidaknyamanan dari sekitar itu sudah terbentuk. Kondisi batin itu terekam kuat dalam ingatan, bertumbuh dalam ruang dan kamar kenangan.
Ada sejumlah ciri khas dari mereka yang inner child-nya terlukai:
- Merasa tak yakin dengan diri sendiri. Berasa selalu ada yang salah atau kurang.
- Ingin menjadi yang terbaik dengan berusaha menyenangkan semua orang. Keinginan menjadi yang terbaik bisa menjadikan mereka perfectionist ekstrem.
- Susah beranjak dari persoalan-persoalan yang dihadapi.
- Gampang menaruh curiga terhadap orang lain, dan sebaliknya, selalu merasa khawatir tidak dicintai dan ditinggalkan.
Apakah Inner Child dapat diatasi?
Setiap kita terikat dengan inner child. Dibutuhkan kesadaran tersebut untuk menemukan solusi. Bagi mereka yang menafikan keberadaan luka masa kecil, besar kemungkinan akan terus membiarkannya bertumbuh, yang pada akhirnya akan menjadikan pola yang dialaminya diterapkan pada pola asuhan terhadap anak-anaknya sendiri mauoun anak di lingkungan keluarga atay sekitar. Maka pola yang sama terus berulang.
Yup, kesadaran merupakan solusi tahap paling awal. Langkah berikutnya adalah menelisik setiap luka yang pernah dialami, menerima hal tersebut sebagai fakta yang telah dilewati, dan menerimanya sebagai bagian dari perjalanan hidup. Dengan demikian dapat memilah hal baik dari diri yang masih bisa terus dikembangkan. Alhasil, kita dapat memunculkan diri kita sebagai pribadi baru yang lebih baik.
Baca juga: Berkenalan dengan Laku Spiritual melalui Buku Tantra
Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk melakukan penyembuhan luka batin masa kecil ini. Bisa berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater, guru agama atau spiritual, atau melakukan upaya kontemplatif sesuai kebiasaan dan kemampuannya masing-masing. Bagi yang terbiasa melakukan meditasi, bisa mencoba membuka komunikasi dengan diri kecil kita tersebut. Mengajaknya berdialog, dan membicarakan hal-hal baik yang bisa dilakukan bersama. Jangan lupa untuk menyampaikan ungkapan cinta dan kasih sayang, karena hal itu sangat dibutuhkan oleh sisi bocah kita yang terluka tersebut.
Aku sendiri, setelah merasa gagal dengan upaya sadar, akhirnya memilih untuk menyerahkan kepada ahlinya. Seorang hypnotherapist. Lain kesempatan bakal kubagikan ceritanya.
Yuk, kita jaga kesehatan diri kita. Kondisi kesehatan fisik maupun kesehatan mental perlu bertumbuh seimbang. Menjaga kesehatan mental dan jiwa dapat dimulai dengan menyembuhkan luka batin dari bocah kecil dalam diri kita yang disebut inner child itu. Semoga kita semua mampu bertumbuh menjadi versi terbaik diri kita dan memberikan sumbangsih bagi kesehatan dan kebahagiaan segenap penghuni semesta raya.
Seperti membaca pencerahan istilah tambahan dalam pengasuhan anak seperti inner child.
ReplyDeleteDitunggu cerita tentang terapi bersama hypnotherapistnya, Mbak Dhenok:)
ReplyDeleteMemang ya berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater, guru agama atau spiritual, atau melakukan upaya sesuai kebiasaan dan kemampuan masing-masing perlu untuk atasi inner child ini biar kita bisa berdamai dengannya.
Saya jadi merasa terbuka pikiran nih. Bahwasanya ternyata banyak juga inner child yang saya alami. Baik yg menyenangkan, maupun menyakitkan.
ReplyDeleteTidak mudah memang untuk menghilangkannya. Berdamai dengan diri sendiri itu memang sulit
kok saya ngerasa masalah inner child ini diturunkan ya?
ReplyDeleteMaksudnya bukan genetik, tapi ortu yang mengalami inner child akan memperlakukan anaknya seperti orang tuanya yang juga bermasalah
Beruntung ilmu sosial semakin berkembang, sehingga sang anak bisa memutus mata rantai "sesat" tersebut
Pernah mengalami cuma berbeda cerita dengan mbaknya.. Tapi Alhamdulillah seiring berjalannya waktu lambat laun pulih secara perlahan
ReplyDeleteAwalnya daku pikir juga juga tentang sifat yang rada kekanak-kanakan inner child itu, layaknya inner beauty gitu.
ReplyDeleteEh ternyata trauma masa kecil malah ya.
Memang harus dari kitanya juga yg kuatkan diri untuk hempaskan ras atrauma itu ya
Setuju banget kak inner child pasti pernah ada yg merasakannya dan solusinya ada di kita untuk menerimanya sebagai bagian dari perjalanan hidup.
ReplyDeleteaamiin
ReplyDeletesemoga kita menjadi pribadi yang terus belajar
termasuk belajar menyembuhkan luka sendiri
hingga menjadi pribadi yang lebih baik
Aku gagal, kak Dhenok mengikuti beberapa seminat pengobatan mengenai Inner Child ini.
ReplyDeleteEntah bagaimana, aku merasa sudah memaafkan apa yang terjadi pada masa laluku dan kalau gak ke-trigger, in syaa Allah gak akan keluar.
Tapi sepertinya kalau pakai tenaga ahli, bakalan bisa lebih baik lagi yaa..
This is me deh: Merasa tak yakin dengan diri sendiri. Berasa selalu ada yang salah atau kurang. hehehe. Jadi selain ke psikolog atau psikiater bisa lewat meditasi terus ngobrol sama diri sendiri gitu ya. Ah mau aku cobain nanti
ReplyDeleteBica tentang inner child memang sesuatu yang sangat menarik untuk dibahas. Aku pernah mengalaminya. Masa kecil ku juga dipenuhi luka dan kerasnya kehidupan. Penyebab utamnya ya broken home, lalu tinggal dengan ibu tiri, lalu tinggal dengan orang lain demi dibiayai sekolah bahkan sempat dilecehkan. Apakah aku punya inner child? Ya! Tapi itu dulu hingga akhirnya aku mengalami depresi. Namun alhamdulillah setelah sembuh dari depresi dan keluar dari RSJ, Aku sudah menerima semua yang terjadi dalam hidupku dengan lapang dada. Aku bahkan menjalin hubungan baik dengan siapapun yang dulunya bisa dibilang jahat sama aku. Alhamdulillah aku melewati itu semua. Anggap itu pengalaman yang berharga dan tentunya selalu libatkan Tuhan dalam hidup kita. Insyallah semuanya akan baik-baik saja. Semangat buat semua pejuang inner child yaa.. 😊🤗
ReplyDeleteInner child ini memang harus dihadapi ya mbak
ReplyDeleteHarus disembuhkan, agar tidak mengganggu proses pengasuhan di masa kini juga