Kapan hari seorang kenalan yang tinggal di Jakarta mengirimkan pesan melalui aplikasi WA, "Kalau Braga itu apa, sih, Mbak? Teman-teman pada bersiap mau ke Braga." Dia dan teman-teman kantornya sedang beracara di Bandung Utara. Ini memang baru kali kedua, kawan yang asli Yogya datang ke Bandung. Baiklah, pada peringatan ulang tahun Bandung kali ini, biar kuceritakan. Braga itu adalah...
Baca juga: Tujuh Bangunan Bersejarah di Bandung
Jalan Braga menghubungkan Jalan Asia Afrika (dulu De Groote Postweg) hingga persimpangan jalan area Balaikota Bandung. Pada tahun 2022 ini, Jalan Braga terpenggal oleh beberapa simpang yang membagi jalan ini menjadi beberapa arah arus lalu lintas. Jalan Braga atas, mulai simpang Perintis Kemerdekaan/Wastukencana jalur menuju bawah/selatan hingga persimpangan Suniaraja/Lembong. Jalan Braga menuju ke arah atas/utara, dimulai dari simpang Naripan hingga simpang Suniaraja/Lembong. Kawasan ini ditandai dengan pemasangan batu andesit di sepanjang jalannya. Sisanya, Jalan Braga simpang Naripan jalur satu arah menuju Asia-Afrika. Tak terbayang? Berkunjunglah ke Bandung 😊
Muasal Kawasan Braga
Dulu, Braga menjadi ikon Bandung, dari awal dibuat hingga kisaran pertengahan abad 20. Di kawasan ini terdapat pertokoan dengan gaya Eropa yang khas. Produk yang dipasarkan pun hanya bisa dijangkau oleh kalangan tertentu, menengah ke atas. Tak heran, Jalan Braga dianggap sebagai salah satu unsur terpenting Bandung aka Parijs van Java.
Jalan Braga awalnya hanyalah jalan setapak yang menghubungkan gudang kopi milik Andries de Wilde (sekarang Gedung Balaikota) dan jalan Groote Postweg (sekarang jalan Asia Afrika). Jalan ini, masa itu, bernama Pedatiweg, karena saking banyaknya pedati pengangkut kopi yang berlalu-lalang. Kawasan ini berubah sepi, saat bisnis kopi meredup. Perkebunan teh naik daun, yang melahirkan para Preangerplanters. Bersamaan dengan itu, dibangun jalur kereta api.
Keramaian jalanan berangsur hilang, namun kawasan ini dibuat ramai oleh hadirnya sebuah gedung teater. Warga Bandung yang ingin mencari hiburan, bisa datang ke gedung ini. Saat itu, sebuah kelompok sangat dikenal dan menjadi idola penonton. Namanya Toneelvereninig Braga. Nama Braga konon diambil dari nama dewa puisi dalam mitologi Jerman; Braga sebagai putra dari Odin dan Freya. Semaraknya gedung hiburan dan sang pengisi yang ditunggu penampilannya, nama Pedatiweg kemudian diubah menjadi Bragaweg.
Baca juga: Menjelajah Taman Hutan Raya Juanda
Cerita di atas, hanya dari satu versi. Ternyata ada versi lainnya.
Seorang sastrawan Sunda, MA Salmun, mengatakan 'Braga' diambil dari bahasa Sunda 'Baraga' yang artinya berjalan di sepanjang bantaran sungai. Barangkali saat itu banyak orang yang 'ngabaraga' di di bantaran sungai Cikapundung yang tak jauh dari Braga.
Terlepas dari cerita mana yang lebih tepat, kawasan Braga ini telah dihuni oleh penduduk, cukup padat. Baik warga lokal maupun Eropa. Kampung tinggal kaum pribumi adalah di Babakan Soeniaradja, yang dulunya merupakan tempat pengungsian warga. Kawasan tersebut memiliki luas sekitar 5,5 Ha. Memasuki abad 20, dikenal tiga kampung besar di kawasan tersebut, yakni: Kampung Banceuy (tempat pegawai pos tinggal), Kampung Haji Affandi (diambil dari nama pemilik tanahnya), dan Kampung Cibantar.
Braga sebagai Kawasan Usaha Tersohor
Pada tahun 1990 akhir, aku beberapa kali mencicipi masakan Braga Permai, satu resto di kawasan Braga. Seorang kenalan, musisi senior menjadi pemain piano di resto ini pada tiap akhir pekan. Pulangnya ia membawa oleh-oleh buat kami, para kru radio yang masih bertahan hingga malam, jam ia bertugas siaran. Beberapa kali sempat datang ke lokasi atas undangan tamu luar kota. Braga Permai terbilang 'spesial' dalam urusan harga, terutama buatku saat itu. Saat ini juga sih 😁
Nah, Braga Permai merupakan bangunan tua yang masih bertahan hingga kini dan dimanfaatkan sebagai tempat usaha.
Toko pertama yang mengawali perniagaan di Jalan Braga adalah Firma Messr. E. Dunlop and Co. yang membuka toko di pojok Jalan Braga pada 1896. Firma ini bergerak di bidang impor barang kebutuhan sehari-hari seperti rokok, peralatan olah raga, sepeda, dan lain-lain. Termasuk anggur yang menjadi kebutuhan orang Eropa. Toko tertua ini juga masih berdiri di Braga.
Baca juga: Menjenguk Makam KAR Bosscha
Berbagai usaha lain menyusul, mulai mengisi sepanjang kiri-kanan Jalan Braga. Ada Keluarga Hellerman yang membuka toko peralatan kereta kuda dan senjata api, lalu C.M. Luyks yang membuka toko barang impor, dan perusahaan biro periklanan 'Excelsior' yang membuka kantornya di Braga pada tahun 1902.
Braga sebagai kawasan bisnis makin marak setelah Bandung menyandang status gemeente pada 1906. Bupati yang bertugas saat itu, RA Martanegara (1893 – 1918) memberikan andil besar. Bupati yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Buah Batu inilah yang merintis pembenahan Braga sebagai kawasan komersial dan Groote Postweg sebagai kawasan perkantoran perusahaan-perusahaan Belanda. Berkat kinerjanya tersebut, RA Martanegara memperoleh predikat 'de meest Europeesche winkelstraat van Indie' atau 'jalan pertokoan paling bernuansa Eropa di seluruh Hindia'.
Aturan terkait produk yang yang dijual di kawasan Braga ini sangat ketat. Produk yang dipasarkan harus memenuhi standar kualitas yang ditetapkan. Demikian juga dengan bangunan toko. Pada tahun 1930-an pemerintah menetapkan bentuk bangunan di Braga mengacu kepada kajian arsitek ternama seperti Prof. Dr. Ir. C.P. Mom, seorang arsitek spesialis bangunan tropis, yang dibantu oleh Ir. J.P Thijsse Jr. , Ir. E.H. de Roo, Ir. R.L.A. Schoemaker, dan Ir. C.P.W. Schoemaker.
Bragaweg mengalami kemajuan pesatnya pada paruh pertama dan kedua abad-20. Berbagai usaha bidang fashion menyemarakkan Bandung sebagai Parijs van Java. Nama-nama yang cukup dikenal, di antaranya, Au Bon Marche, Onderling Belang, Kellers Mode Magazijn, dan Aug. Savelkoul. Berbagai mode terbaru yang sedang hangat di Paris atau Amsterdam di usung ke kawasan ini.
Selain produk fashion, yang tak kalah meriah tentu saja dunia kuliner. Adalah restoran Maison Bogerijen yang mendapat lisensi dari kerajaan Belanda untuk membuat Wilhelmina Taart dan Juliana Taart. Selain hidangan istimewanya yang lain, resto ini juga menyediakan suasana restoran ala Eropa dengan tempat makan teras outdoor berpayung. Pengunjung bisa menyantap makanannya, seraya menikmati keramaian Jalan Braga. Maison awalnya berada di sudut Braga-Lembong. Berikutnya pindah ke Braga bawah, yang kemudian berganti nama menjadi Braga Permai.
Seiring runtuhnya kekuasaan Belanda di tanah air, popularitas Braga mulai menurun. Selain itu, kawasan perniagaan lain mulai bermunculan. Meski demikian, jejak kejayaannya masih bisa kita temukan di sepanjang Jalan Braga, dengan keberadaan bangunan tua yang masih dijaga sebagai salah satu kekayaan heritage Bandung.
Baca juga: Mukti-Mukti, Pemusik Balada Bandung Meninggal Dunia
Nah, jika berjalan ke ujung Braga bawah, berjumpa dengan gedung bioskop yang memutar film pertama garapan orang Indonesia, Majestic. Ada yang tahu, film apa itu? Berikutnya, ada Societeit Concordia yang dulunya menjadi tempat perkumpulan orang Eropa. Dari persimpangan Asia Afrika, jika kita ambil ke arah kiri, sekitar 100 meter kita akan menjumpai tugu Kilometer 0 Kota Bandung. Tugu yang menandai lahirnya Bandung, 25 September 1910.
Selamat Hari Jadi, Kota Bandung.
Referensi: Museum Kota Bandung
No comments