Dalam sebulan kemarin, aku melakukan kecerobohan yang dapat berujung menjadi peristiwa dengan akibat fatal. Aku lupa mematikan kompor (gas)! Banyak orang kurasa yang pernah mengalami ini. Ada kengerian yang sangat saat membayangkan kembali, apa jadinya kalau aku betul-betul lupa? Bukan hanya soal kompor, ada beberapa kejadian yang merugikan akibat 'lupa'. Lupa yang bukan semata lupa. Lupa yang bukan karena fungsi otak, melainkan pikiran yang terlalu riuh. Bergerak tanpa dibarengi kesadaran. Keputusannya: menarik diri, ambil jeda, meditasi!
Baca juga: Berdamai dengan Inner Child
Aku tinggal di sebuah komplek perumahan dengan rumah berdinding couple. Dapat dibayangkan, jika kebakaran terjadi di satu rumah, akan demikian cepat merambat ke perumahan lain. Bagaimana pula dengan anak-anak (meongku)?
Pada kali pertama, tak terlalu jauh meninggalkan rumah, aku teringat ada satu benda yang kurasa tertinggal. Begitu sampai rumah, buka pintu, hoooyaampuuuun..kompor belum dimatikan! Butuh beberapa saat untuk berdiam diri menyadari kecerobohanku. Saat akhirnya meninggalkan rumah kembali, sebelum pergi, kuciumi bocah-bocah satu per satu. Minta maaf sudah nyaris mencelakakan mereka. Terutama Onye, yang sedang dikarantina untuk pengobatan FIP.
Pada kali kedua, berjibaku dengan urusan tulisan. Di ruang depan yang sesungguhnya hanya sekian puluh langkah dari dapur. Tak ingat sedang memasak air untuk membuat kopi. Kaget, begitu menyadari ada aroma gosong dari arah belakang. Ya, panci sudah menghitam. Berada di dalam rumah, tapi tak menyadari keadaan. Sebuah kondisi yang dalam pertimbanganku sudah fase parah. Bergerak serupa zombie, tanpa jiwa, tanpa kesadaran.
Benak yang Riuh, Kesadaran yang Menipis
Aktivitas rutin seringkali menjebak kita dalam ketidaksadaran. Secara kasat mata, sadar. Kita melakukan segala sesuatunya dengan nyata: bekerja di depan laptop, melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik, pulang-pergi ke kantor atau kampus, makan-minum, olah raga, dan lain-lain. Kegiatan yang berulang, yang kita hafal betul tanpa perlu mengingat-ingat.
Saat datang masalah dan hal-hal yang tak menyenangkan, bangunan rutinitas yang 'stabil' itu pun goyah, kalut, panik, yang berikutnya bisa memunculkan tindakan yang ngawur. Banyak hal yang dilakukan di luar kontrol. Bukan semata dalam berkomunikasi, namun juga keputusan-keputusan penting. Bayangkan, jika salah membuat keputusan. Yang muncul bisa jadi bukan hanya penyesalan, melainkan dampak buruk terhadap orang lain dan lingkungan.
Baca juga: Letting Go, Sistem Pragmatis untuk Membebaskan Diri dari Hambatan dan Keterikatan
Melakukan 'Jeda'
Mengambil jeda bukan berarti berhenti, diam, atau bahkan mengusir hal-hal yang bersliweran di benak. Mengambil jeda adalah menarik diri untuk mengundang kesadaran yang telah raib akibat rutinitas dan reaksi berlebihan terhadap peristiwa di sekitar.
Saat pikiran dan perasaan terasa begitu riuh, tak perlu berusaha mengosongkannya. Tak perlu dilawan. Hanya amati dan selami, sambil menyadari adanya pergerakan napas. Menydarai pergerakan napas; napas keluar dan napas masuk. Tak perlu pula untuk ngoyo memaksa pikiran dan perasaan berfokus pada napas. Fokus, tapi santai saja. Nikmati aliran napas, bebaskan perhatian dari jebakan drama pikiran. Lalu, perlahan lepaskan fokus. Semata hadir. Ada.
Kapan 'jeda' bisa dilakukan? Kapan pun.
Menarik diri dan menjalani jeda bukan berarti menghentikan aktivitas. Jadi, tak ada alasan 'sibuk' sehingga tak sanggup melakukan jeda, karena jeda bisa dilakukan sambil tetap beraktivitas. Pada awalnya, mungkin perlu menyiapkan waktu khusus. Tapi ketika mulai terbiasa, 'jeda' dapat dilakukan berbarengan dengan kegiatan lain. Intinya hanyalah menyadari napas masuk, menyadari napas keluar. Sesederhana itu.
Serupa dengan olah raga, jika tak dilakukan rutin, kita tak akan mendapatkan manfaat yang optimal. Sebaliknya, ketika kita sudah terbiasa melakukan jeda, tubuh pun akan merespon dengan cepat kebutuhan kita.
Bagaimana aku tahu? Karena aku melakukannya.
Sebagai orang dengan sekumpulan pengalaman traumatis, kondisi psikologisku bisa dibilang up and down. Aku berjuang untuk bisa terus 'waras'. Pengenalanku tentang 'kembali ke dalam diri' sangat membantuku untuk melakukan penerimaan diri. Kesadaran bahwa ada dualitas dalam hidup, sedih-gembira, datang-pergi, lahir-mati, sakit-sehat, yang keduanya ada untuk saling melengkapi. Menerima itu sebagai hal yang biasa. Terima sedihmu, seperti kamu terima dan nikmati gembiramu. Sebelum mengenal istilah jeda, aku melatih 'diri yang berkesadaran' melalui meditasi.
Baca juga: Mengenali Karakter Orang Lewat Temperamen dan Zodiak
Meditasi
Aku mengenal istilah meditasi pada awal kuliah. Kawan kost seorang Katolik yang taat. Aku sering bergabung dengan teman-teman komunitas Katolik-nya. Mereka sering membahas soal meditasi, pengalaman dan saling membari masukan. Saat itu, aku tak terpikir buat belajar. Saat ketertarikan itu datang, aku tak dipertemukan dengan orang yang bisa mengajariku. Kutemukan sejumlah referensi, mencoba mempelajarinya sendiri, tapi tak bisa.
Dalam perjalanan hidup, kita dipertemukan dengan peristiwa-peristiwa yang rumit dan berat. Kalau kita tengok lagi dan evaluasi, peristiwa-peristiwa tersebut merupakan titik balik kebangkitan spiritual kita. Setidaknya itulah yang kualami. Suatu peristiwa yang (sebetulnya) sudah titik ke sekian dalam perjalananku, kusadari sebagai sebuah awal. 2012. Rasanya pikiran ruwet, perasaan tidak tenang dalam kurun yang seperti tak berkesudahan. Seorang kenalan memberi petunjuk sederhana terkait meditasi.
Meditasi menjadi pintu masuk mengenal diri. Berdiam, mendengarkan suara-suara yang muncul dalam pikiran. Mengamati aneka rasa, seperti kemarahan, kegelisahan, kekhawatiran, dan aneka perasaan mendalam yang terekam sedari kanak akibat peristiwa-peristiwa traumatis. Kadang terasa seperti dihajar, karena rasa-rasa yang menyiksa. Namun, kembali menarik diri, tidak mengikuti drama. Hanya mencermati. Menjadi pengamat.
Dibutuhkan kesungguhan dan keberanian untuk menjadi pengamat. Karena ada kecenderungan untuk lari, menghindar, menjauhi aneka rasa itu. Berani untuk menarik diri, dan, sekali lagi, semata menjadi pengamat. Meski demikian, tak perlu terlalu bersikukuh. Jalani prosesnya. Pada akhirnya kita bisa menyadari bahwa emosi bukanlah sesuatu yang dapat menyeret kita.
Meditasi membantu kita bisa berpikir lebih jernih. Hal penting lainnya, meditasi membantu meningkatkan intuisi, yang pada akhirnya juga membantu dalam kita membuat pertimbangan dan keputusan.
Baca juga: Berkenalan dengan Laku Spiritual melalui Buku Tantra
Namun, hal paling dasar sebelum melakukan proses penyembuhan adalah kesadaran kalau kita memiliki masalah. Seperti saat kondisi tubuh tak nyaman, sadari bahwa ada yang salah dengan tubuh. Tanpa kesadaran itu, kita tak mungkin mengunjungi dokter. Membawa anak-anak yang sakit ke dokter anak. Pada kasus kesehatan anak, misalnya, banyak orang tua yang tak mengakui ada masalah dengan tumbuh kembangnya. Begitu pula dengan persoalan gangguan psikologis. Selagi kita tak mau mengakui punya masalah, kita tak akan menemukan solusinya. Jika sudah berani mengakui, barulah kita mencari jalan keluar, menemui psikolog, psikiater, atau mau mencoba upaya mandiri dengan rutin melakukan jeda dan meditasi.
No comments