Gol A Gong adalah legenda! Kalangan pembaca buku akan mengamini itu. Kurasa di dunia literasi, kepiawaiannya dalam meramu kata di tengah keterbatasan fisiknya belum ada yang melampaui. Setidaknya untuk di Indonesia. Terlebih salah satu novelnya, Balada Si Roy (BSR), telah menjadi semacam buku panduan pergaulan kaum muda pada dekade 80-90an. Kalangan muda, khususnya mereka yang konon memilih untuk tampil apa adanya, cenderung slengean tapi rajin membaca, peduli sesama, dan mudah digandrungi perempuan. Ya, riwayat itu akan senantiasa melekat pada Gol A Gong, yang Sabtu (24/12/2022) lalu hadir dalam diskusi "Menepis Kutukan Balada Si Roy".
Baca juga: Gong Smash! dan Safari Literasi 2022
Sebetulnya tak tepat benar kalau acara Sabtu lalu itu disebut diskusi, karena senyatanya yang terjadi bukanlah pertemuan mereka yang duduk khidmat dengan kening berkerut karena memeras otak demi menyampaikan ide dan gagasan. Yang terjadi adalah sekumpulan orang yang bermusik, bernyanyi, dan bergembira. Barangkali bicara tentang petualangan memang selalu menghadirkan kegembiraan, ya?
Perkawanan Pembaca BSR
Aku bukan pembaca BSR garis keras. Tak ada yang berlangganan Majalah HAI, dan entah, terhambat di mana, selama di kampung halaman belum pernah kutemukan novel itu. Kenal novelnya waktu sudah kuliah di Bandung. Tapi senang sekali bisa ikut merasakan aura perkawanan di antara para pembaca BSR yang hadir petang itu di KaKa Cafe, Jl. Tirtayasa Bandung.
Saat membuka sesi diskusi, penulis yang juga CEO Penerbit Epigraf, Daniel Mahendra, bercerita tentang pengalaman pertamanya sebagai pembaca BSR. Ia menyebut nama-nama tokoh cerita yang saat itu muncul sebagai sosok idola remaja, seperti Lupus dan Si Boy. "Saat itu saya tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Timur, Jember. Rasanya cerita mereka terlalu metropolitan. Nggak cocok. Makanya begitu membaca BSR, wiiiih ... ini gue banget! Berandalan, suka memberontak, tukang bolos, suka nulis, disukai cewek-cewek."
Terlebih saat ia mengetahui kalau penulis BSR hanya mengetik dengan lima jari tangan kanannya. Seolah itu menjadi lecutan baginya untuk serius membuat karya, selain melakukan pengelanaan seperti yang dilakukan Si Roy.
Baca juga: Alaya, Kisah tentang Mimpi yang Mewujud, Takdir, dan Cinta
Hal senada disampaikan para pembaca BSR yang hadir. Kidung Saujana, misalnya, yang telah menjejaki sejumlah negara dengan mengendarai sepeda. BSR telah menginspirasinya untuk menuai banyak pengalaman dari negeri lain. Atau Jalu Kancana, yang sewaktu sekolah dianggap siswa bengal karena sering berantem dan bolos pelajaran. Uniknya, sang ayah malah memberinya novel BSR untuk dibaca. Kebadungannya tak bergeser, tapi kali ini dilengkapi dengan membuat karya. Nama lain yang ikut berbagi, Edelweis Basah juga telah melahirkan beberapa novel berkat terispirasi BSR. Alumnus STIKOM Bandung ini juga menulis puisi dan lirik untuk dilagukannya.
Menarik, mencermati apa yang komunitas pembaca BSR ini bagikan. Bahwa mereka, dengan sikap memberontak dan menentang kemapanan itu dapat menunjukkan kalau mereka mampu berkarya. Mereka menulis. Mereka bermusik. Mereka membuat karya-karya yang dapat dinikmati orang lain.
Sekitar 50 orang hadir dalam diskusi. Selain dari komunitas Sahabat BSR, beberapa pengunjung yang datang memang semata sebagai pembaca BSR. Mereka juga membagikan pengalamannya. Termasuk Harry, Dosen Universitas Pasundan yang saat membaca BSR bernazar jika kelak memiliki anak akan menamainya dengan Roy. Setelah lelah dengan segala petualangannya, menikah, lalu punya anak, nazar itu pun ia penuhi.
Dari Mesin Tik dan Kamera Analog
Judul ini semacam pertanyaan meragu saat bicara tentang film BSR yang bakal rilis Januari mendatang. Kira-kira, apakah generasi terkini, dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh kisah yang diramu dalam judul BSR tersebut, mengingat jurang yang terlalu lebar.
Seperti pertanyaan yang diajukan seorang pemuda yang mengaku belum pernah membaca BSR, "Memang kenapa, kami generasi milenial harus nonton film ini? Tahun 80-an terlalu jauh. Banyak yang sudah nggak relate sama kami."
Baca juga: Gundala, Sebuah Harapan Baru untuk Film Indonesia
Pemuda yang berasal dari Kendari ini sepertinya mewakili sekelompok pengunjung yang rata-rata usia milenial. Mereka bergiat di dunia literasi, namun tak pernah bersinggungan dengan novel karya Gol A Gong tersebut. Mas Gong pun lantas memberikan semacam sinopsis dari kisah BSR. Tentang Roy, anak yatim yang tak pernah menjadikan statusnya tersebut sebagai alasan untuk bermanja. Ayahnya mewariskan perpustakaan dengan ribuan buku dan seekor anjing. Pengenalannya akan dunia luar lewat buku membangkitkan obsesinya untuk melakukan penjelajahan. Hal ini sejalan dengan karakternya yang senang mendobrak sistem, melewati batas, memecah sekat-sekat. Pada masanya traveling hanyalah konsumsi kalangan berduit. Dan Roy melakukannya! Ia sudah dapat membuat perencanaan perjalanan yang hemat, apa saja yang bisa dilakukan untuk membantunya bertahan di wilayah-wilayah yang dijajakinya, dan apa saja yang kelak ia akan jadikan kisah.
Tak ketinggalan Mas Gong mengisahkan proses penulisan BSR saat ia dalam petualangannya ke berbagai kota dan negara. Tentang betapa tak mudah untuk menemukan mesin tik demi ia harus tetap menuliskan naskah BSR yang saat itu tayang sebagai serial di Majalah HAI. Ia biasanya mendatangi kantor pemerintah atau ke tempat penyewaan mesin tik yang tak gampang ditemukan. Interaksinya dengan masyarakat lokal, aneka pembelajaran yang ia raih, perjumpaan dengan hal-hal baru, semuanya ia alihkan sebagai kisah dari Roy.
"Roy bercerita tentang kesetiakawanan, perjuangan, kreativitas, nilai-nilai yang akan selalu ada di zaman kapan pun. Ayo kita tularkan kepada kawan-kawan dengan menyaksikan film Balada Si Roy." Demikian ajakan Gol A Gong kepada Sahabat BSR muda. Sedangkan kepada Sahabat BSR senior, Mas Gong memastikan film ini tak akan mengecewakan meski ia belum menyaksikannya langsung.
Baca juga: The Swordman, Adu Akting Joe Taslim dengan Jang Hyuk
Proses pengalihwahanaan BSR dari novel menjadi film layar lebar tak mudah. Mas Gong mengaku sudah lama mengangankan buah karyanya itu difilmkan. Sayangnya kesempatan itu tak pernah tiba. Terakhir penawaran datang dari grup Nadine Chandrawinata. Kesepakatan pun dibuat. Lagi-lagi, sayangnya, ada saja hambatan yang menghalangi proses tersebut. Hingga suatu kali datanglah Fajar Nugros yang minta menggarap BSR. Dengan sejumlah pertimbangan, termasuk Nugros yang mengaku sebagai pembaca serta pengikut BSR. Mas Gong menyerahkan interpretasi kepada Nugros dengan menitipkan pesan untuk tetap menghadirkan fenomena 80-an seperti tawuran, alkohol, dan narkotika. Pun pernak-pernik masa itu, seperti mesin tik dan kamera analog.
Pada akhirnya, film BSR diharapkan bukan sekadar tontonan yang menghibur, namun juga sebagai catatan sejarah yang bisa dipelajari dan diaplikasikan dalam keseharian kaum muda, terlepas dari aneka hal yang berbeda jauh dengan masa kini.
Yuk, kita nobar, yuk. Kita cari tahu seperti apa akhirnya Balada Si Roy menepis kutukannya.
Baru tau kalo Gol A Gong hanya mengetik dengan 5 jari
ReplyDeleteTapi kebanyakan orang yang punya kendala , berhasil melampaui batasan karena semangatnya yang tinggi
Seperti penyandang disabilitas/tuna daksa yang bisa melukis dengan mulut
Luar biasa ya Balada Si Roy ini termasuk cerita yang melegenda. Saya masih SMP atau SD malah ya ketika dulu diterbitkan di majalah Hai. Dulu majalah Hai identik dengan cowok jadi saya jarang baca. Adik laki saya koleksi nih beberapa novel BSR ... ceritanya dinovelkan sekitar tahun 92 kalo gak salah ingat, saat adik saya masih SMP.
ReplyDeleteDulu aku tahunya cuma Catatan Si Boy karena pemerannya Onky Alexander. Hihihi. Belakangan ternyata tahu ada Balada Si Roy dan di-remake sama pemeran Abizar Alghifari. Cocok banget doi mainnya.
ReplyDeleteIni yang berperan jadi Roy anaknya (alm) ust Jeffry ya mbak?
ReplyDeleteSeingat saya, saya pun belum pernah baca kisah Balada Si Roy ini, tapi pernah dengar sih teman-teman kakak saya membicarakan ini.
Emang sih, jaman kapan pun settingnya, tapi nilai kesetiakawanan, perjuangan, kreativitas ini pasti ada dan dibutuhkan. Jadi walau setting tahun 80 an, semoga pesan dari film ini nanti bisa ditangkap oleh penonton generasi millenial
Daku belum nonton filmnya ini.
ReplyDeletePernah melihat dari beberapa teman yang sempat mengulas di medsos.
Penasaran sama aktingnya Abidzar Al Ghifari juga sih
Bagus nih mbak film2 yang meyisipkan ilmu untuk anak2 zaman sekarang. Aku baru tahu kalau ada novel Balada Si Roy.
ReplyDeleteSeperti kembali ke cerita pada masa lalu ya namun dikemas lebih apik sih dan tentunya tetap bisa diikuti anak muda jaman sekarang. Sering juga dengar tentang Si Roy ini dari sanak saudara yg lebih tua ternyata memang amanat filmnya bagus nih.
ReplyDeleteBSR (Gol A Gong) dan Lupus (Hilman Hariwijaya) itu "dua jagoan" di jaman aku SMP hingga SMA (tahun 80an). Dulu aku koleksi buku-buku mereka dan sudah disumbangkan ke salah satu perpustakaan milik teman. Yang pasti tiada hari tanpa bahasan tentang si Roy dan si Lupus. Lupus sudah hadir di dunia sinema dan sukses. Semoga kehadiran film Balada si Roy bisa berkibar dan sukses seperti Lupus.
ReplyDeleteAku suka tulisan Gol A Gong. Tapi bukan yang Balada si Roy. Cuma aku percaya. Novel dan filmnya pasti bagus. Karena novel yang aku suka pun bagus banget.
ReplyDeleteWaaa...keren banget BSR diangkat ke layar lebar.
ReplyDeleteRasanya fans Gol A Gong ini banyak banget sampai sekarang. Karena aku pernah mendatangi acara literasi di Bandung, banyak yang terkagum dan memiliki pertanyaan untuk sang penulis.
Maha karya Balada Si Roy kudu banget dinikmati seluruh masyarakat INdonesia.
Aku nungguin banget film balada si roy ini. Dulu pernah baca novelnya pinjem ama temen. Eh, baru sekarang kesampaian difilmkan. Semoga aja laris manis ya
ReplyDeleteKisah Si Roy ini sempat jadi idola jaman saya sekolah
ReplyDeleteMasih kinyis-kinyis tapi udah melek melirik cowok hehehe
Lupus, si Roy, semuanya keren pada jamannya dan semoga nanti juga
Balada Si Roy, novel legend Indonesia banget nih. Aku dulu sempat pernah baca novelnya walaupun rada lupa detailnya. Tapi jadi penasaran banget jadinya kalau novel ini difilmkan.
ReplyDeleteLupus serial tv dan juga majalah remaja hitam dengan teman yang unik dan pengarangnya juga tenar
ReplyDeleteBerarti novel BSR ini seolah punya kekuatan magic ya mbak yang bisa ngerubah tingkah laku dan jalan fikiran pembacanya. Apalago novel legendaris ini ditulis oleh Gol A Gong dengan 5 jarinya saja. Sungguh luar biasa. Aku jadi tertarik pengen baca novelnya langsung dibanding nonton filmnya. Biar lebih ngena gitu. Tapi dimana ya dapetin novelnya? Hmm
ReplyDeleteJujurly aku belum pernah baca Balada Si Roy dari Gola Gong ini mba. Tapi liat penjelasan di artikel ini jadi penasaran gimana caranya Roy di tahun 80an bisa traveling padahal di tahun 80an traveling tuh dilakukannya sama orang2 berduit. Otw nyari novelnya buat dibaca. thank u
ReplyDeleteSaya baca Si Roy di majalah Hai punya tetangga, sayangnya saya masih SD Jd justru kurang related. Malah salah satu cerita horror di majalah yang sama masih ada yang masih teringat hingga sekarang.
ReplyDeleteTetap Pengen nonton filmnya Krn ingin tahu juga gimana Abidzar selalu Roy dgn interprerasi masa kini
Duluu waktu baca Balada Si Roy, yang kubayangkan Roy itu 11-12 seperti Boy di film Catatan Si Boy. Sedikit lebih macho lah karna Roy lbh banyak petualanganya. 😄 Abis diskusi film ini, mungkin bentar lagi filmnya tayang. Nobar yuk 😁
ReplyDelete