Aku menghindari penggunaan kata benci. Entah mulai kapan persisnya. Yang kuingat, aku dengan sadar meminta diriku untuk tidak membenci. Dan hal paling sederhana yang mulai bisa kubiasakan adalah tidak menggunakan kata "benci" dalam keseharian. Pertimbangannya sederhana saja. Bahwa segala hal di dunia ini memiliki potensi memberi kita pelajaran. Rasa "benci" akan menutup kesempatan kita untuk memetik pelajaran dari sumber-sumber yang kita benci itu. Kita tak perlu membenci, jika kita mampu mencintai.
Baca juga: Kesadaran Spiritual, Hidup dalam Perspektif Baru
Sebagian besar dari kita dibesarkan oleh tradisi beragama yang dalam ajarannya salah satunya adalah larangan untuk membenci. Dalam agama apa pun, tidak ada anjuran untuk membenci orang lain dan suatu kaum. Bisa jadi penafsirannya berbeda-beda. Tapi aku meyakini, meski tak mempelajari keseluruhan ajaran agama, agama semata mengajarkan kebaikan. Tapi, mengapa bisa muncul kebencian?
Alasan Munculnya Kebencian
Jika mengutip definisi "benci" dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ini seolah netral. Berbeda halnya jika melihat dari tinjauan lain. Dari tinjauan psikologi, misalnya.
Ada beragam alasan, orang membenci sesuatu atau seseorang atau suatu kaum. Bisa jadi alasan yang sangat personal, berangkat dari masalah psikologis yang bersangkutan, atau karena bentukan lingkungan baik melalui proses alami maupun melalui upaya sistematis.
1. Lahir dan dibesarkan di lingkungan yang penuh penderitaan
Tanggapan setiap orang terhadap penderitaan tak seragam. Ada yang dengan kekuatan penuh mampu keluar dan berhasil hidup dalam kedamaian. Ada yang mengalir saja. Mungkin apatis, tapi tak juga dibarengi kebencian. Tak sedikit yang seumur hidup terjebak dalam penderitaan karena kebencian yang bercokol di batinnya.
2. Mengalami peristiwa buruk yang mengubah kepribadiannya
Seperti halnya poin pertama, penyikapan orang terhadap peristiwa buruk tak sama. Ada yang dengan ikhlas mencoba menghadapi dan menemukan jalan keluar. Tapi banyak pula yang akhirnya menyerah dan menjadikan mereka pribadi yang berbeda. Yang awalnya seorang yang hangat, lantas berubah menjadi seorang pemarah, pembenci, pendendam, dan hal negatif lainnya.
3. Menjadi korban cuci otak atau brainwashing
Melalui metode yang terencana dan sistematis, para korban dibawa ke kondisi stres atau tertekan. Ketika korban sudah dalam kondisi stres tak tertahankan, pelaku akan memasukkan berbagai materi untuk meruntuhkan jati diri, menjejali doktrin baru, lalu membentuk jati diri baru bagi korban. Dalam kasus terorisme, kebencian dan kecintaan yang berlebihan menjadi satu hal penting yang ditanamkan.
Untuk poin terakhir, penanganannya membutuhkan orang yang memiliki keahlian dalam hal brainwashing. Imbasnya pun bukan hanya personal, melainkan menyasar kelompok atau masyarakat yang lebih luas.
Baca juga: Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup Lebih Baik
Barangkali yang perlu kita sikapi adalah mereka yang ada di poin pertama dan kedua. Patutkah kita membenci mereka?
Mengapa Tak Boleh Membenci?
Manusia itu kompleks. Apa yang tampak di permukaan, belum tentu hal yang sesungguhnya. Dalam komunikasi tatap muka saja, kita belum tentu bisa mengenali kedalaman batin manusia. Terlebih sebatas pengenalan di dunia maya, melalui ruang-ruang media sosial. Bagaimana mungkin orang bisa menumbuhsuburkan kebencian hanya melalui saluran yang hanya menunjukkan satu sisi manusia tersebut?
Apa yang bisa kita lakukan agar tidak membenci?
- Menyadari bahwa kita tak sepenuhnya mengetahui proses hidup orang lain. Mereka memiliki sejumlah alasan untuk melakukan hal-hal buruk yang berpotensi dibenci oleh orang lain. Berbahagialah bagi yang melewati perjalanan hidup dengan baik, aman, dipenuhi cinta kasih. Tak semua orang seberuntung itu.
- Menyadari bahwa kita tak bisa mengontrol sikap orang lain. Mereka melakukan hal buruk, dan sebaliknya hal baik, kita tak bisa menahan atau memaksa melakukan. Yang bisa kita lakukan hanyalah respon kita sebagai bagian tanggung jawab nilai kita sendiri.
- Menyadari bahwa kebencian hanya rasa yang hanya menyiksa diri kita sendiri. Orang atau sesuatu yang dibenci bisa jadi tak tahu menahu dengan yang kita rasakan.
- Menyadari bahwa kita tak hanya hidup di hari ini. Pada masa yang akan datang, kita tak pernah tahu. Bisa jadi kita akan bersinggungan atau bahkan membutuhkan bantuan dari orang yang kita benci.
Dan, seperti yang kutulis di awal, segala hal di dunia ini memiliki potensi memberi kita pelajaran. Rasa "benci" akan menutup kesempatan kita untuk memetik pelajaran dari sumber-sumber yang kita benci itu. Semesta memiliki cara untuk memberikan pelajaran yang tepat bagi kita.
Setiap peristiwa memberikan makna. Tinggal bagaimana kita menerima, menyelami, menyelaraskan. Tak perlu membenci, karena kebencian hanya akan membuat kita kehilangan kesempatan untuk hidup dengan cinta dan kedamaian.
Baca juga: Berdamai dengan Inner Child
No comments