Aku tak mengikuti perjalanan karya Nano Riantiarno. Tapi, mendapati kabar kepergiannya pada 20 Januari lalu, membuatku mengumpulkan ingatan akan hal-hal terkait almarhum. Persisnya, kelompok teater yang didirikannya, Teater Koma. Ada segelintir kenangan unik yang nyempil dalam ingatan.
Baca juga: Sawung Jabo dan Sirkus Barock, Bicaralah dengan Cinta
Nama Teater Koma sudah tersimpan rapi dalam laci ingatanku sejak aku usia sekolah dasar. Sebelum aku tahu apa itu teater. Aku membacanya di sebuah majalah. Entah majalah apa, lupa. Entah pula dari mana waktu itu ibu meminjam majalah tersebut. Waktu aku SD, ibu sering jadi buruh cuci di rumah orang. Tapi ia juga punya kenalan dekat pemilik salon yang sering belanja majalah. Kemungkinan dari dua sumber itu.
Ada ulasan tentang pementasan "Opera Kecoa". Satu hal yang terasa asing. "Pementasan tentang kecoa?" Tapi kupikir itu akan jadi tontonan menarik. Seperti bacaanku dari kumpulan cerita dunia, tentang Putri Lipan. Itu bayangan masa bocahku. Sama sekali belum terpikir, pementasan teater itu seperti. Saat itu pementasan yang pernah kulihat langsung adalah ketoprak. Atau ludruk dari tayangan televisi. Demikianlah, tulisan tentang Teater Koma dengan Kecoa-nya pada 1985 itu betul-betul jadi bagian dari ingatanku, tanpa ada harapan untuk nonton pada suatu kali nanti.
Sebuah keberuntungan, seorang kawan tiba-tiba menawariku nonton Teater Koma di TIM. Saat itu aku sudah tinggal di Bandung, sudah mengenal dunia teater, dan sudah tahu lebih banyak informasi soal Teater Koma. Tentang Nano dan Ratna Riantiarno. Tentang karya-karya mereka. Tentang hal-hal yang khas dari Teater Koma. Saat itu, pada 2008 itu, mereka mementaskan "Kenapa Leonardo?". Pada hari-H pementasan, aku ke Jakarta menggunakan travel. Sampai di TIM sekitar 2 jam sebelum pertunjukan yang digelar di Graha Bhakti Budaya tersebut. Berjumpa dengan kawan yang nraktir nonton, makan dan nongkrong di area Cikini, hingga jelang saat pertunjukan berlangsung. Si kawan sudah mengingatkan, pertunjukan akan berlangsung lama, hampir 4 jam.
Nano Rintiarno lahir pada 6 Juni 1949 dengan nama Norbertus Riantiarno. Ia telah aktif ber-teater sejak di bangku sekolah, di kota kelahirannya, Cirebon. Lulus SMA (1967), Nano melanjutkan pendidikan tingginya di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Jakarta. Ia juga mengambil kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta (1971).
Pada masa kuliahnya, Nano bergabung dengan Teguh Karya yang saat itu namanya telah berjaya. Ia ikut membidani Teater Populer pada 1968. Sembilan tahun kemudian, persisnya pada 1 Maret 1977, dia mendirikan Teater Koma; sebuah nama kelompok teater yang disegani dan paling produktif di Indonesia, bahkan masih terus berkarya hingga kini.
Baca juga: Braga, Kawasan Penting Bandung Tempo Dulu
Aku masih ingat sensasinya. Melihat penonton yang demikian banyak. Ini kalau kubandingkan dengan pementasan teater di Bandung. Apalagi dengan harga tiket yang terbilang mahal. Dekorasi panggung, kostum pemain, dan tentu saja bagaimana para pemain melakonkan perannya. Rasanya, hmmm... apa ya, semacam perpaduan rasa suka dan takjub. Saat jeda dengan menikmati aneka cemilan, aku antusias betul menyaksikan manusia-manusia yang hadir di gedung teater TIM. Mungkin penampakanku saat itu seperti Iteung saba Jakarta 😅
Kemudian si Iteung langsung pulang ke Bandung malam itu juga. Tiba jelang subuh di sebuah pool travel di Cihampelas. Pengalaman yang sungguh seru.
Sebuah ingatan akan Teater Koma. Sebuah kenangan untuk mengantar kepergian Nano Rintiarno. Selamat jalan...
Baca juga: Mengenal Vincent van Gogh lewat Novel Lust for Life
*) Foto-foto mengambil dari dokumentasi web resmi Teater Koma
No comments