Butuh waktu lama untuk menyelesaikan novel ini. Selain, jelas, halamannya yang sangat tebal, juga nuasa murung yang sering bikin nggak tahan. Entah terhenti berapa kali, hingga berhasil menamatkannya. Saat kubagikan di media sosial, seorang kawan yang adalah aktivis Katolik berkomentar, "Serem, nggak, sih? Aku tuh kok takut membaca sejarah kelam gitu itu." Ya, saat itu kubilang World Without End menceritakan kisah percintaan dengan dengan latar sejarah kelam Gereja Katolik.
Baca juga: Mengenal Vincent van Gogh lewat Novel Lush for Life
Mengambil periode waktu kisaran abad-14, novel ini mengisahkan empat tokoh utama yang menyimpan rahasia masa kecil menyaksikan peristiwa pembunuhan. Mereka adalah bagian dari masyarakat Inggris dengan latar belakang kehidupan sosial, politik, dan agama masa itu. Lokasi yang menjadi latar kisah bernama Kingsbridge, kota yang menjadikan Katedral sebagai pusat pemerintahan. Segenap warga kota tunduk terhadap peraturan gereja dan penguasanya (biarawan/pastor).
Caris, si Perempuan Kritis
Kisah bergulir dalam kehidupan masing-masing tokoh, yakni Caris, Merthin, Gwenda, dan Ralph. Penulis membuat cerita yang demikian detail, lengkap dengan segala konfliknya yang rumit. Tapi sesungguhnya dapat dikatakan jika novel ini lebih banyak bercerita tentang kehidupan Caris. Meski ia adalah anak ketua dewan paroki, Caris bukan sosok yang mau pasrah begitu saja terhadap kekuatan doa. Saat wabah menyerang ia berupaya terlibat dengan mencari tahu cara penyembuhan penyakit. Kelak hal ini mendatangkan masalah karena ia dianggap sebagai penyihir dan melakukan bidaah.
Caris juga tampil sebagai sosok yang tak berpangku tangan melihat ketidakadilan yang berlangsung di lingkungan katedral. Baik saat ia sebagai perempuan bebas maupun saat memutuskan menjadi biarawati. Ia menentang kebijakan-kebijakan uskup yang dirasanya tidak masuk akal dan bertentangan dengan kemanusiaan.
Di sisi lain, Caris juga seorang yang bebas. Ia berhubungan seks dengan pacarnya. Namun ia tak ingin menikah. Pernikahan bukanlah hal yang ada dalam pertimbangannya. Sebaliknya, sang kekasih, Merthin, sangat ingin menikahi Caris. Perbedaan keinginan tersebut lantas memunculkan perpecahan, terlebih dengan banyaknya konflik yang terjadi di lingkungan sekitar.
Baca juga: Petang Panjang di Central Park, Kumcer Bondan Winarno
Aku tidak tahu, apakah pada masa awal rilisnya buku ini sempat menuai protes kaum relijius Katolik. Mengingat ceritanya membedah kehidupan institusi Katolik yang kelam. Bagaimana Caris, tokoh utama yang adalah biarawati bisa menjalani hubungan dengan lelaki, bahkan hingga melakukan persetubuhan. Atau pastor yang memiliki kehidupan seksual yang sudah menjadi rahasia umum. Konflik perebutan kekuasaan di lingkungan lembaga digambarkan dengan telanjang.
Ken Follett dan Karyanya
Menarik juga Ken Follett menggambarkan sosok perempuan di novelnya. Mereka yang berjuang untuk mendapatkan suara, pada era yang seolah memposisikan perempuan sebagai masyarakat kelas dua. Ada beberapa sosok perempuan yang muncul di novel ini dengan perjuangannya masing-masing. Tentu saja yang tak kalah menarik adalah kecermatan Follet dalam memadukan fiksi dan peristiwa nyata.
Ken Follett tak seterkenal penulis dengan genre yang sama, misalnya Dan Brown, tapi karya-karyanya cukup diperhitungkan. Dengan latar belakang sebagai jurnalis, Follet memiliki kemampuan menggali data. Pun pengalamannya kemudian di penerbitan, yang membuatnya leluasa untuk menerbitkan hasil olah pikir dan imajinasinya. Namun baru setelah karya yang diterbitkannya pada 1978, Eye of the Needle, namanya mulai dikenal publik pecinta buku. Dan bukunya mulai dicari setelah ia merilis The Key to Rebecca, dua tahun setelahnya. World Without End merupakan sequel Pillars of the Earth, yang aku sendiri belum baca.
Baca juga: Sequoia, Catatan Harian Seorang Lelaki untuk Anaknya
Judul: World Without End
Penulis: Ken Follet
Penerbit: Gramedia
Tebal: 746 dan 741 halaman
No comments