Banyak di antara kita yang tak bisa membedakan antara takdir dan konstruksi sosial. Salah satunya perihal masak. Bukan hanya kaum lelaki, para perempuan sering kali menyematkan urusan dapur ini sebagai bagian dari takdir mereka. Lalu mereka menerjemahkan bahwa perempuan harus bisa masak. Padahal yang mestinya terjadi: semua orang harus bisa masak! Karena memasak adalah salah satu dari kemampuan dasar bertahan hidup yang perlu dipelajari.
Baca juga: Resep Ayam Bumbu Rujak dan Kenangan Masa Kanak
Iya, urusan memasak ini memang lucu. Aku menjumpai banyak pertentangan dan perdebatan, yang kadang bikin terbawa kesal baca komentar-komentarnya, tak sedikit yang bikin mengikik. Anehnya, perempuan yang seringkali menjadi subyek yang disudutkan, membuat pembelaan diri yang ngawur, yang akhirnya jadi bulan-bulanan.
Drama Media Sosial
Kapan hari sebuah thread di medsos burung kebetulan lewat. Iseng baca-baca. Bahasannya soal "memasak sebagai basic life skill". Dalam hal ini, sangat sepakat. Karena demikianlah adanya, memasak harus menjadi kemampuan dasar semua orang, selagi makan adalah kebutuhan paling mendasar manusia untuk hidup. Karena kita tak pernah tahu kapan akan berada di kondisi uang tak punya harga, fasilitas melimpah tak ada artinya, kekuasaan tak ada manfaatnya, yaitu ketika kita dijauhkan dari semua akses yang memungkinkan kita mendapatkan asupan makanan.
Di sini kita bicara soal kemampuan/kebisaan/kesanggupan memasak. Tak bicara sampai level mumpuni dalam memasak. Itu soal lain. Belajarlah menjadi chef kalau mau mumpuni. Kalau sekadar bisa memasak untuk bertahan hidup, mestinya bukan hal yang sulit.
Tapi, ya, namanya kepala manusia, yang bertumbuh di berbagai macam lingkungan, komentarnya pun beragam. Dan banyak yang mementahkan pernyataan itu.
"Coba itu yang bilang life skill, lalu sebagai ibu gak mau masak, anaknya gimana? Dibiarin?"
Bahkan ada yang mengatakan, "Nggak guna amat perempuan nggak bisa masak! Terus seharian di rumah, ngapain aja?!"
Penginnya aku ikut komen, "Ya, itu mah kesalahan kalian dalam membuat kesepakatan dengan pasangan, Bastian!" Tapi ya, buat apa. Hanya akan buang energi.
Lucunya, banyak pula perempuan yang ingin berlindung di balik pernyataan "perempuan tak harus pintar masak." Ada ungkapan sarkastis yang kutemukan --lagi-lagi di medsos burung, tayangan tangkap layar dari perempuan yang mengatakan, "Aku nggak bisa masak, ibuku tak pernah mengajariku memasak." Komentarnya, "Memang kamu bisa bl*wj*b diajarin sama ibumu?!" Komentar yang sontak bikin mengekek.
Ya, memasak itu salah satu kemampuan dasar. Perkara dalam konteks hidup berpasangan, siapa yang menyiapkan masakan, itu hal lain. Aku, lo, masih akan selalu beranggapan salah satu nilai seksi dari lelaki adalah kemampuannya memasak 🥰
Eh, ini tadi sebetulnya mau pamer masakan. Kok jadi panjang bahasannya 😀
Baca juga: Umbi dan Cerita Masa Kanak
Memasak yang Bikin Happy
Tak dimungkiri, kemampuan memasak kita berangkat dari lingkungan kita dibesarkan. Ibuku tak pintar memasak. Standar saja untuk konsumsi sehari-hari. Nyaris tak pernah ngulik jenis makanan yang aneh-aneh. Apalagi pada zaman baheula tea, belum bisa nyontek dari aneka sumber informasi.
Pada akhirnya, ketika dipaksa oleh keadaan untuk memasak bagi diri sendiri, agak gamang juga aku untuk mencoba ini dan itu. Nah, aku baru menemukan hal unik beberapa waktu lalu. Mungkin buat kalian ini biasa saja 🤭 Tapi buatku unik, karena seumurku di Bandung yang sudah lebih dari seperempat abad ini aku hidup sendiri.
Beberapa bulan lalu sempat berada dalam lingkungan kecil yang terhitung sering bareng. Kecil, hanya 3 orang. Lalu, selagi masak di rumah, aku terpikir untuk memasak sekalian buat bertiga. Nggak terlalu banyak juga pengeluaran, sedangkan effort-nya sama. Maka mulailah iseng ngulik resep masakan. Masih yang sederhana, tapi memang tak pernah kulakukan sebelumnya. Dan itu ternyata menyenangkan. Mendapat apreasiasi sekadar makanan dihabiskan saja ternyata bisa bikin gembira.
Rasa-rasanya sejak masa-masa itu keinginanku untuk ngulik masakan mengalami peningkatan. Meski sekali waktu masih keasinan atau rasanya kurang pas.
Baca juga: Menu Bunga Pepaya, Jantung Pisang, dan Nangka Muda
Aku coba bagikan resepnya di sini, beberapa masakan yang sudah kucoba.
Rujak petis
Seorang kawan berinisiatif mengirimiku petis, setelah saling berbagi komentar di fesbuk. Kubilang, seumur-umur aku belum pernah masak pakai petis. Maka demikianlah, aku mencoba membuat rujak petis.
Bahan:
- Kangkung 1 ikat
- Toge 2 genggam
- Mangga mengkal setengah butir
- Tahu 2 potong
- Tempe 2 potong
Bumbu ulek:
- 5 biji cabai rawit
- 1 siung bawang putih
- 1 sdm kacang goreng
- 2 sdm gula merah/gula aren
- sejumput terasi bakar
- sejumput garam
- 1 sdm (penuh) petis pitam
Cara membuat:
- Ulek bumbu-bumbu hingga halus, lalu tambahkan air secukupnya hingga kekentalan yang diinginkan. Cek rasa, tambahkan bumbu jika dirasa kurang.
- Rebus kangkung dalam air mendidih. Jangan terlalu matang. Toge bisa sekalian direbus atau cukup direndam air panas.
- Tahu-tempe goreng dan mangga, potong sesuai ukuran yang diinginkan.
Untuk penyajiannya bisa dengan meletakkan semua komponen bahan ke dalam piring, lalu kuah dengan sambal. Atau bisa diaduk di cobeknya langsung.
Rujak petis sudah langsung bisa dinikmati. Pasnya pakai lontong. Bisa diganti nasi. Tapi, berhubung kuantitasnya banyak bener, aku malah tak butuh karbo. Cukup dengan tambahan krupuk saja.
Sambel Goreng Teri
Berbeda dengan rujak cingur yang tak perlu nasi, kalau masakan yang satu ini menjadi salah satu jenis makanan yang bisa membuatku makan banyak nasi. FYI, aku pengidap hipoglikemia. Salah satu penyebabnya, selain memang tak suka makanan manis, kurang suka nasi. Tapi belakangan hari, sudah bisa memaksakan diri makan nasi minimal 2 kali sehari. Dan nasi memang paling cepat mendongkrak kadar gula dalam darah. Maka, masakan jenis teman nasi semacam ini secara berkala memang kubutuhkan. Cara masaknya pun sederhana saja.
Bahan:
- 2 genggam teri kawat
- 1 ikat kecil bawang kucai
- 2 papan petai
- 6 siung bawang merah
- 3 siung bawang putih
- 5 cabai keriting
- 15 cabai rawit merah
- Terasi secukupnya
- Garam secukupnya
- Penyedap rasa secukupnya
Cara membuat:
- Goreng teri hingga setengah matang
- Haluskan semua bumbu, tumis sampai harum.
- Masukkan teri, petai, bawang kucai. Aduk rata hingga matang.
Baca juga: Lebaran dan Madumangsa
Tahu Goreng Sambal Kecap
Sebetulnya ini menu yang sangat sehar-hari. Ketika butuh makan dengan cepat, ini salah satu menu yang sering kubuat. Bedanya, biasanya sekadarnya. Cukup tahu goreng dan sambal kecap. Kali ini aku membuatnya lengkap.
Bahan:
- 3 potong tahu ukuran sedang
- 1 siung bawang putih
- Bawang goreng
- Seledri
- Toge pendek
Bumbu:
- 5 cabai rawit
- Garam secukupnya
- Kecap secukupnya
Cara membuat:
- Iris tahu dengan ukuran sesuai selera. Goreng, jangan sampai kering. Bisa juga dengan menggorengnya dalam bentuk utuh.
- Haluskan bumbu, masukkan kecap, aduk rata.
Untuk penyajian, letakkan tahu goreng dalam piring. Untuk tahu yang digoreng utuh, penyet dengan ulekan. Lalu, siram dengan sambal kecap. Di atasnya taburi bawang goreng, toge pendek, dan irisan seledri.
Sayur Bayam Bening
Ini menu yang sangat sederhana, tapi buatku istimewa sekali. Kenapa? Karena jarang banget kutemukan di tempat makan. Sesekali di warteg ada yang membuatnya, tapi tak selalu ada. Aku sangat jarang mencobanya, karena hasilnya sering terasa aneh di lidah. Entah kurang bumbu apa. Yang jelas, memang tanpa temu kunci. Si temu ini sebetulnya yang menjadi kunci rasa sayuran ini. Tapi apa daya, memang sulit mencarinya. Sepertinya harus ke pasar besar.
Setelah mencoba memasak lagi, ternyata rasanya tak terlalu buruk. Aku tahu sebelumnya salahnya di mana. Ternyata selain soal temu kunci, gula putih juga menjadi kunci rasa. Sebelumnya aku tak memasukkan gula untuk masakan ini. Dan masakan lainnya juga, sih. Entah sebelumnya aku kok alergi banget memasukkan gula dalam masakan. Padahal kan perlu juga, ya 😁
Bahan:
- 2 ikat kecil bayam
- 1 ikat kemangi
- 1 tongkol kecil jagung
Bumbu:
- 3 siung bawang merah
- Garam secukupnya
- Gula secukupnya
Cara membuat:
Rebus jagung yang telah disisir hingga setengah matang. Masukkan bawang merah yang sudah diiris, bersama garam dan gula pasir. Terakhir, masukkan bayam dan kemangi. Tak perlu terlalu lama.
Mi Ubi Kuah
Suatu kali iseng belanja online beberapa bahan olahan. Di antaranya kutemukan mi ubi. Mi dari bahan ubi. Baru tahu. Kok sepertinya menarik, maka kucobalah.
Bahan:
- 1 bungkus mi ubi
- 5 butir baso
- 1 bonggol pakcoy
Bumbu:
- 2 siung bawang merah
- 1 siung bawang putih
- 1/2 butir kemiri
- 3 buah ebi
- Kecap ikan
- Merica secukupnya
- Penyedap rasa secukupnya
Cara membuat:
- Rebus mi ubi hingga setengah matang atau rendam air panas. Sisihkan.
- Haluskan bumbu, tumis hingga harum.
Rebus baso, masukkan bumbu yang telah ditumis. Masukkan mi ubi. Tambahkan kecap, merica, dan penyedap rasa. Terakhir masukkan pakcoy, jangan terlalu matang.
Mestinya kuahnya pakai air kaldu. Berhubung tidak punya stok daging, yo wis, seadanya. Tapi ini enak, lo, biarpun penampakannya tidak meyakinkan 😂
Demikianlah uji coba masakan yang sudah Ibu Meong lakukan saat lagi pengin masak dengan serius. Percayalah, ini hanya sekali waktu. Selebihnya, yaaa, masak sa-aya-aya. Begitu kata orang Sunda 😊
Ayo, yang mengaku nggak bisa masak, dicoba resepnya. Sebetulnya bukan nggak bisa, tapi tak cukup pintar. Seperti aku, yang kalau masak belum bisa konsisten rasanya. Kurasa benar juga kata orang zaman dulu: alah bisa karena biasa. Bisa jadi ketidakpintaran itu bukan soal bakat, tapi karena tak biasa saja.
Baca juga: Perjalanan Menulis dan Fragmen 9 Perempuan
Yuk, kita belajar masak bareng. Banyak sumber referensi urusan masak yang bisa dilirik. Seperti halnya kalau butuh referensi soal merdeka belajar bisa baca-baca tulisan kawan blogger di Blog Homeschooling. Begitu pula urusan masak. Banyak rujukan di internet yang bisa bantu kita meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan.
Ini sebetulnya juga sambil menyemangati diri sendiri, kok. Untuk terus belajar. Selain harus bisa masak, setidaknya bisa lebih stabil soal rasa.
Namaste.
No comments