Joko Pinurbo dalam Kenangan

Sesungguhnya aku tak begitu kenal dengan karya-karya Joko Pinurbo aka Jokpin. Kalau melihat deretan catatan karyanya yang dimulai sejak 1999, mestinya aku tahu karena aku cukup banyak berada di lingkungan pegiat literasi. Jokpin sudah mulai terima penghargaan pada awal 2000. Bisa jadi karena aku lebih tertarik prosa dibandingkan puisi. Bisa pula karena karya-karya Jokpin kemudian lebih banyak dikenal setelah era media sosial. Dan sangat mungkin, ya, aku saja yang kurang gaul. Tak begitu kenal karyanya, jadi kepergian Joko Pinurbo kupikir bakal selewat saja mengisi benakku. Ternyata bertahan hingga hari ini. Baiklah, kutuliskan di sini untuk mengenangnya. 


Baca juga: Menjadi Penulis, Hobi atau Pekerjaan?

Kurasa puisi Jokpin yang kukenal pertama adalah Celana Ibu. Sudah tahun 2000 belasan. Puisi yang betul-betul membuatku terbahak. Aku tidak tahu, seperti apa secara umum orang kristiani membaca itu. Aku yang besar di lingkungan Pantekosta yang notabene hanya mengacu kepada teks, tidak mengakomodasi pemikiran alternatif, menduga ada cukup banyak kalangan yang tidak suka menjadikan kisah Paskah itu sebagai bahan becandaan. Sekali lagi, ini hanya dugaan. Tapi di lingkungan Katolik, humor serupa bukanlah hal yang aneh. 


Celana Ibu


Maria sangat sedih menyaksikan anaknya

mati di kayu salib tanpa celana

dan hanya berbalutkan sobekan jubah

yang berlumuran darah.

Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit

dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang

ke kubur anaknya itu, membawakan celana

“Paskah?” tanya Maria.

“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.

Mengenakan celana buatan ibunya,

Yesus naik ke surga.


Baca juga: Berhikmat bersama Loki Tua, Novel Yusi Pareanom


Bahasa Sederhana yang Menggelitik

Setelah membaca puisi Celana Ibu, mulailah aku mencari tahu siapa Jokpin. Kutemukan banyak puisinya di dunia. Menjerat mata dan batinku. Permainan katanya, selera humornya, pilihan temanya, dan ironi-ironi yang disajikannya. Piawai sangat ia menampilkan sebuah cerita dengan pesan yang kuat tapi melalui pilihan kata yang sederhana, yang sehari-hari, bukan bahasa mewah ala puisi pada umumnya. Sekilas aku menemukan nuansa Sapardi Djoko Damono dalam puisi Jokpin. Dan, kok ya, Jokpin ternyata pernah menulis puisi untuk SDD.


Kepada Penyair Hujan

(: S.D.D)


Lembut sayap-sayap hujan menggelepar di antara pepohonan

dan rumput liar di remang sajakmu.

Seperti kudengar kepak sayap burung

dari khasanah waktu yang jauh.

Matahari sebentar lagi padam.

Senja hanya diam mengagumi

selendang panjang warna-warni

yang menjuntai di atas sungai yang hanya terdengar suaranya;

malam sesaat lagi akan meraih dan melipatnya.


Hujan yang riang, yang melenyap pelan

dengan derainya yang bersih,

makin lama makin lirih dan akhirnya lengang.

Tapi kudengar juga hujan yang risau dan parau.

Seperti kudengar seorang musafir

kurus dan sakit-sakitan

batuk terus sepanjang malam

dengan suara serak dan berat,

berjalan terbata-bata menyusuri jalan setapak

yang licin meliuk-liuk, mencari tempat yang teduh dan hangat.


Musafir itu bikin unggun di atas sajakmu.

Aku akan menemaninya.


(1999)


Sekali waktu Jokpin becanda, kali yang lain dia terlihat relijius. Atau, pada saat bersamaan ia juga meramu berbagai nuansa itu dalam satu puisi. Seperti pada Celana Ibu. Atau "Agamamu apa? Agamaku air yang membersihkan pertanyaanmu". Kesederhanaan yang sanggup membuat pembacanya merenung, mengajak orang melakukan refleksi dan kontemplasi. 

Potongan-potongan puisinya mulai banyak kuunggah di media sosial. Terutama tentang kopi dan tema kontemplatif. 

"Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi."

"Di bawah matamu hujan berteduh. Di bawah matamu senja berlabuh."

"Malam, hujan, dan kopi tak bisa menyelamatkan hati yang sedang korsa: tekor dan nelangsa."

"Biarkan hujan yang haus itu melahap air mata yang mendidih di cangkirmu."

"Empat cangkir kopi sehari bisa menjauhkanmu dari bunuh diri."


Dan, masih banyak yang lainnya. Tapi masih belum berusaha membeli bukunya. Aku masih bukan pecinta puisi yang sampai merasa perlu mengoleksi buku. 

Lupa kapan persisnya dan melalui media apa, aku terhubung secara personal dengan Mas Jokpin. Yang pasti dari media sosial. Twitter atau IG. Kami beberapa kali ngobrol di ruang pesan. Tentang kopi dan kekatolikan. Aku mengiriminya kopi Jabar, Mas Jokpin mengirimiku dua bukunya, Baju Bulan dan Surat Kopi. 


Baca juga: Menuliskan Ulang Kisah Perempuan


Perjumpaan

Pada 2019 aku mendapat undangan dari kawan yang menggagas Green Literacy Camp di Ponggok, Klaten. Aku diminta untuk mengisi sesi public speaking. Meski saat itu aku menjadi penyiar radio, pernah mengajar di kampus, sesekali menjadi MC, tapi aku tak pernah merasa piawai untuk bicara di depan publik. Tapi, ah, kenapa tidak? Ketidakpedean tak perlu dituruti.

"Kami tidak menyediakan fee, ya. Cuma akomodasi dan fasilitas selama di acara," kata si kawan.

Tak soal. Buatku itu kesematan untuk jalan-jalan. Dan yang membuatku melonjak kegirangan adalah ada nama Joko Pinurbo sebagai salah satu pengisi acara. 

Demikianlah. Acara itu berlangsung menyenangkan. Dalam sejumlah jeda aku nyamperin Mas Jokpin, ngobrol ini dan itu. Puisi-puisinya jenaka, berbeda dengan gayanya dalam berbincang. Itu pun tak banyak. Tapi menyenangkan, terpenuhi keinginanku untuk berjumpa langsung tanpa membuat rencana secara khusus. Rupanya itu menjadi perjumpaan pertamaku sekaligus terakhir dengan Jokpin. 

Di media sosial dan grup WA yang kuikuti membagikan kabar kondisi Jokpin yang tidak baik. Hingga berita itu tiba: Jokpin meninggal dunia pada 27 April 2024 pukul 06:03 WIB di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.



Selamat jalan, Mas Jokpin. Senang bisa mengenalmu dan menikmati karyamu.


* lalu aku mulai mengumpulkan buku-buku puisi Jokpin


Baca juga: Perjalanan Menulis Fragmen 9 Perempuan

4 comments

  1. Paskah? padahal aslinya menanyakan pas kah celananya?. Terinspirasi dari Paskah.
    Menarik ya karya-karya jenakanya. Saya malah agak kurang familier nih, padahal karya-karyanya bagus.
    Semoga namanya selalu teringat membekas dalam karyanya

    ReplyDelete
  2. Seorang penulis yang menulis puisi tuh aku salut banget. Itu semacam seniman. Karena jujur, menulis puisi buatku syulit banget. Engga cuma asal ngikutin pakem a-a-a-a, atau a-b-a-b, standar. Tapi kata-katanya harus sarat makna. Engga heran kalau mb Dhenok jadi koleksi buku-buku Jokpin yah. Ada humornya juga di antara karya-karya beliau. Contohnya Celana Ibu...

    ReplyDelete
  3. Saya jujur tidak tau Mas Joko Pinurbo atau Jokpin ini, Mbak. Mungkin karena saya tidak terlalu paham soal puisi. Dan menurut saya, menulis puisi itu susah. Walau bahasanya ringan ala Mas Jokpin, pasti ada makna yang kuat tersirat dari setiap kalimat. Selamat jalan Mas Jokpin. Karya-karya puisinya akan terus abadi.

    ReplyDelete
  4. Happy banget bisa mengenal Jokpin dengan lebih dekat ya?
    Saya penyuka puisi-puisinya, menikmati kata per kata dan larut di dalamnya
    Tuhan, rupanya sangat mencintai hambaNya ini
    Sehiingga mengajaknya pulang ke rumahNya

    ReplyDelete