Menemukan Makna Hidup bersama Viktor E. Frankl

Buku Man’s Search for Meaning oleh Viktor E. Frankl ini cukup lama bersemayam di tumpukan. Rasanya bukan buku yang kubeli. Entah dari mana, tak ingat persis. Sebelumnya aku tak punya cukup referensi, sedangkan di mataku, desain sampul versi penerbit Nuansa ini kok enggak banget. Sempat terpikir kalau ini buku tentang kekristenan dan sudah masuk boks buku-buku yang akan dijual. Hingga suatu kali lihat tayangan kawan Threads soal buku ini, dengan sampul yang berbeda. Dari sedikit obrolan, dikatakannya ini buku yang sangat recomended. Akhirnya mulai dibukalah, setelah sekian abad membisu. Perasaanku langsung tertohok. Kisah tentang penderitaan sekaligus keberanian menjalani hidup.



Baca juga: Veronika Memutuskan Mati

Dalam buku terbitan Nuansa tak kutemukan muasal Frankl berada di kamp konsentrasi. Cek sejumlah referensi, tersebutkan bahwa psikiater keturunan Yahudi yang bermukim di Wina, Austria ini menerima undangan dari Konsulat AS untuk mendapatkan visa imigrasi. Saat itu Frankl tengah mengembangkan gagasannya yang ia sebut sebagai Logoterapi. Mestinya ia berangkat. Namun ia ragu. Ia merasa tak mungkin meninggalkan kedua orang tuanya yang ia tahu cepat atau lambat akan ditangkap dan dimasukkan ke kamp konsentrasi. Ia memilih untuk tinggal. Pada saatnya ia pun diseret ke kamp yang mengerikan itu.

Buku ini terbagi dua bagian, kisah Frankl selama di kamp dan teorinya tentang Logoterapi.


Kamp Konsentrasi, Ketika Hidup dan Mati Begitu Dekat

Membaca bagian pertama buku ini rasanya seperti dihadapkan pada hal-hal baru yang sama sekali belum pernah kujumpai, bukan dalam makna yang menakjubkan, melainkan mengerikan. Hidup yang mengerikan adalah hidup yang tak memiliki kebebasan untuk memilih. Berapa banyak di antara kita yang pernah mengatakan "aku tak punya pilihan" dengan suara memelas? Tidak punya pilihan itu seperti yang dialami Frankl dan mereka yang berada dalam kamp konsentrasi ini. Hidup dan mati bukan milik mereka, namun milik penjaga, milik serdadu.

Meski demikian, buat Frankl tetap ada pilihan. Satu-satunya pilihan itu adalah memberi makna peristiwa yang tak pernah mereka ketahui akhirnya seperti apa.

Kehidupan punya potensi untuk memiliki makna, termasuk dalam kondisi yang paling menyedihkan.

Baca juga: Berdamai dengan Inner Child

Bayangkan, orang yang baru saja bercakap denganmu, tak berapa lama kalian sudah lihat berubah menjadi asap. Gumpalan putih yang terbang dari cerobong kamar gas. Hanya karena kamu terlihat kurus, malas, lemas, tak bertenaga di mata pengawas, atau sekadar berdasarkan ketidaksukaan, kamu sudah harus meninggalkan kehidupan. 

Ketika itu yang terjadi, yang bisa dilakukan adalah mencari untuk kemudian memberi makna waktu yang bisa dimiliki. Apakah Frankl selalu bisa bersikap positif dan optimis? Tidak. Frankl juga menceritakan bagaimana dirinya marah dan mengalami frustasi.

Kurun 3 tahun (1942-1945) di tiga kamp konsentrasi yang berbeda, Teresienstadt, Auschwitz-Birkenau, Kaufering, dan Turkheim adalah waktu yang sangat lama untuk Frankl bisa mengumpulkan apa-apa yang diamatinya dari sekitar. Bagaimana kecemasan setiap orang yang hidupnya terus dibayangi kemungkinan akan dikirim ke kamar gas, lalu menghilang begitu saja dari eksistensinya sebagai manusia. Sementara fisik mereka pun tertindas. Bekerja keras, hanya dengan upah berupa makanan sangat tidak layak. Miris membayangkan semangkuk sup dengan air berlimpah dan secuil roti. Pada bagian lain, Frankl menggambarkan bagaimana kedekatan dengan pengawas cukup menguntungkan, setidaknya ia bisa mendapatkan sendokan dasar panci sup. Artinya mendapatkan kacang lebih banyak. Kondisi yang semuram itu telah membuat para tahanan frustasi. Banyak yang akhirnya menyerah dengan membunuh dirinya sendiri.

Apa pun bisa dirampas dari manusia. Kecuali satu: kebebasan terakhir seorang manusia yaitu kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan. Kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.

Baca juga: Empati dan Seni Berkomunikasi

Menentukan makna hidup merupakan hal penting agar terhindar dari keputusasaan. Menurut Frankl, makna hidup dibentuk oleh pikiran kita. Kita yang menciptakan, bukan mencari dari luar diri. Kita tak perlu mencari apalagi menunggu hal-hal ideal di luar diri kita untuk bisa menjalankan kehidupan yang lebih baik, melainkan membuat sendiri makna hidup dari kondisi kita alami. Di penjara, Frankl memotivasi diri dengan memikirkan hal bahagia yang akan dia lakukan setelah bebas dari kamp. Pemikiran itulah mampu bertahan dari kehidupan kamp yang mengerikan. 


Logoterapi sebagai Upaya Menemukan Makna Hidup

Kata logos mengambil dari istilah dalam bahasa Yunani yang artinya "makna." Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna hidup dalam diri seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Menurut Frankl, inti dari Logoterapi adalah keinginan untuk mencari makna hidup. Hal ini dikatakan Frankl untuk menunjukkan bahwa Logoterapi berbeda dengan Psikoanalisis-nya Sigmund Freud yang menyebutkan tentang prinsip kesenangan atau keinginan untuk mencari kesenangan. Berbeda pula dengan will to power atau keinginan untuk mencari kekuasaan seperti didengungkan oleh aliran psikologi Adler. Di kemudian hari, Logoterapi juga dikenal sebagai "Aliran Psikoterapi Ketiga dari Wina". 

Menurut Logoterapi, ada tiga cara yang dapat ditempuh untuk menemukan makna hidup, yaitu: 

  • Melalui pekerjaan atau karya dan perbuatan
  • Melalui seseorang atau hal-hal dan kondisi yang disayangi
  • Melalui penyikapan terhadap penderitaan (bahwa penderitaan tidak bisa dihindari)

Hiduplah seakan-akan Anda sedang menjalani hidup untuk kedua kalinya, dan hiduplah seakan-akan Anda sedang bersiap-siap untuk melakukan tidakan salah untuk pertama kalinya.

Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping

Lewat kalimat di atas, Frankl mengingatkan bahwa Logoterapi pada intinya adalah mengajak orang untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Dalam terapi-terapinya, pasien diberi kesempatan untuk memilih, untuk apa, kepada apa, atau kepada siapa ia merasa bertanggung jawab. Logoterapi tidak menggurui, tidak menghakimi, tidak pula menawarkan pemikiran logis maupun nasihat moral. Menurut Frankl, manusia selalu menuju dan dituntun kepada sesuatu atau seseorang di luar dirinya. Ini dapat dalam bentuk makna yang harus ditemukan, atau manusia lain yang akan ia jumpai. Semakin kita melupakan diri sendiri -dengan mengabdi pada suatu perkara atau orang lain yang kita cintai- maka kita menjadi semakin manusiawi. 

Masih cukup panjang penjelasan Frankl perihal Logoterapi. Aku masih mencoba membacanya pelan-pelan. Ada banyak istilah psikiatri yang bikin jidat berkerut. Sila baca langsung sendiri untuk mendapatkan penjelasan detailnya, ya.

Penderitaan itu sejatinya tidak memiliki makna; kitalah yang memberi makna pada penderitaan melalui cara kita menghadapinya. (Harold S. Kushner, pengantar)

Intinya, bukan keadaan yang menentukan siapa diri kita, melainkan sikap dan respons kita saat menghadapinya dan keputusan-keputusan apa yang kita buat.


Judul: Man's Search for Meaning

Penulis: Viktor E. Frankl

Penerbit: Nuansa, 2004

Tebal: 233 halaman


Baca juga: The Kite Runner, Layang-layang dan Hal yang Berubah

No comments