Pengalaman Melukat di Tirta Empul

Tradisi melukat merupakan bagian dari prosesi dalam Hindu. Ritual menyucikan diri di kolam pemandian ini konon telah mulai dilakukan sejak abad ke-10. Laki-laki, perempuan, tua, maupun muda, nyemplung ke dalam kolam bersama-sama dan mengguyur kepala di bawah pancuran secara bergiliran. Di Bali, sejak tahun 1980-an, ritual ini tak lagi menjadi milik umat Hindu saja, setelah beberapa sarana melukat dibuka untuk umum atau wisatawan yang notabene berasal dari berbagai latar belakang agama. Melukat menjadi salah satu hal yang ingin kulakukan saat di Bali. Pilihannya adalah Tirta Empul, di Kabupaten Gianyar.



Baca juga: Menjumpai Naga Perak di UC Silver Gold


Berada di lokasi ini kembali, aku baru tersadar bahwa aku pernah ke Tirta Empul. Saat ke Bali bersama rombongan paket tur. Kurasa saat itu tujuannya adalah melihat Istana Tampaksiring dari dekat. Istana yang dibangun pada akhir tahun 50-an tersebut didirikan Bung Karno sebagai tempat peristirahatan. Tampaknya Bung Karno terpesona dengan Pulau Dewata, selain memang memiliki pertalian darah. Nah, sepertinya karena saat itu fokusnya ke Istana Tampaksiring, aku tidak engah dengan keberadaan pura serta kompak pemandian Tirta Empul. Jadi, di sinilah aku, mencoba merasai ritual yang dilakukan umat Hindu Bali.


Melukat sebagai Upaya Pembersihan Diri


Sejak dibuka untuk umum pada dekade 80-an, melukat menjadi semacam tren. Pengunjungnya bukan semata yang memiliki kepentingan ibadah, namun juga para wisatawan. Mereka rela antre di sumber air penyucian itu untuk menunggu gilirannya nyemplung ke dalam kolam. 


Ada sejumlah aturan dalam Hindu untuk bisa ikut melukat. Seperti larangan bagi perempuan yang tengah mengalami menstruasi. Pakaian pun harus dijaga kesopananannya. Mengingat banyaknya manusia yang tentunya tak semua patuh aturan, ada pecalang yang bertugas menjaga ketertiban. Tugas utama pecalang adalah agar pengunjung menjaga, menghargai, dan tidak menodai kawasan sakral ini. 


Lebih lengkapnya, menurut tuturan Jro Mangku Made Tantra (via Darsana, 2022) seperti dikutip Liputan 6 dot com, ritual melukat merupakan salah satu bentuk peribadatan dalam tradisi agama Hindu yang bertujuan membersihkan jiwa dari berbagai pikiran buruk, kotor, dan pengaruh ilmu hitam. Melalui melukat diharapkan orang yang menjalankannya ritual ini dapat menjalani kehidupan dengan lebih tenang, damai, dan bahagia.


Ada ketentuan terkait sarana dalam melaksanakan ritual melukat, yakni daksina pejati, sarana muspa, dan pakaian nangkil.

  • Daksina pejati merupakan sesuatu yang dipersembahkan sebagai simbol kesungguhan dalam ritual melukat sebagai bagian dari upacara keagamaan. Persembahan yang disarankan adalah pisang atau biu kayu dan bunga tanjung.
  • Sarana muspa adalah berupa beberapa jenis bunga dengan aroma harum seperti bunga jempiring dan sekar tunjung biru. Selain itu juga perlu dilengkapi dengan pis bolong atau uang logam berlubang di bagian tengahnya sejumlah 11 keping.
  • Pakaian nangkil, dalam hal ini adalah pakaian adat Bali. Disarankan juga untuk tidak memakai perhiasan.

Selesai melakukan melukat berlanjut ke ritual yang lain dengan dipimpin oleh pemangku, biasanya dilakukan pada hari keagamaan seperti purnama dan kajeng kliwon. Namun berhubung melukat di Tirta Empul yang dibuka untuk umum, ritual yang semestinya tersebut tidak dilakukan. Kecuali bagi pengunjung yang menganut Hindu. 





Baca juga:



Melukat di Tirta Empul


Sesungguhnya Tirta Empul merupakan sebuah pura. Berlokasi di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten GianyarDesa ini berjarak 18 km dari ibukota Kabupaten Gianyar dan 38 km dari Denpasar. Nama tersebut disematkan sesuai dengan nama mata air suci yang lebih dulu ada tersebut yang kemudian dijadikan kolam penyucian diri.


Untuk memasuki kompleks pura, para pengunjung dikenakan biasa. Pengunjung lokal Rp30.000 untuk dewasa dan Rp15.000 untuk anak-anak, sedangkan untuk turis dewasa Rp50.000 dan turis anak-anak Rp30.000. Awalnya kupikir pengunjung yang bertujuan beribadah ke pura tidak dikenakan biaya. Ternyata persisnya adalah bahwa pengunjung yang warga Bali bebas bea alias gratis. Hanya penduduk luar Bali yang dikenai biaya masuk.



Setelah melewati gerbang tiket, kita dipertemukan dengan pondok terbuka dengan meja lebar yang di atasnya tersedia kain sarung. Tinggal ambil dan pakai. Ya, untuk memasuki area pura, kita harus mengikuti tata cara yang diberlakukan dalam ritual Hindu untuk umatnya. Kita wajib berpakaian sopan, yang dalam hal ini diwakili dengan pemakaian kain panjang. 


Memasuki gerbang Pura Tirta Empul, kita dipertemukan dengan pelataran yang lega dan bersih. Pada sisi kanan balairung dengan gaya arsitektur Bali. Balaiurang ini biasanya dimanfaatkan untuk pertemuan atau titik kumpul. Sebagian besarnya digunakan oleh rombongan tur, saat pemandu memberikan penjelasan terkait sejarah Tirta Empul dan serba-serbinya.


Nun di ujung, di balik tembok adalah kolam tempat melukat. Nah, untuk melukat ada kain khusus yang harus dikenakan. Kain panjang berbahan satin warna hijau itu bertugas membelit tubuh kita setelah melepaskan pakaian luar. Biaya sewanya Rp10.000, sedangkan sewa loker Rp15.000. Loker tersedia di dua ruang yang cukup leluasa, dengan kamar mandi di dalamnya. Ruang loker ini juga berfungsi sebagai ruang ganti. Oke, kita siap nyemplung.


Ah, ya, aku mengikuti ritual yang umat Hindu lakukan. Bagian ini bisa dilewat jika tak menginginkan. 


Sebelum melukat, ada ritual melakukan matur piuning semacam doa untuk izin melakukan pembersihan diri dengan sarana canang. Bisa pula disertakan doa permohonan tentang keinginan atau harapan kita. Lokasi piuning berada di sisi depan pintu masuk area kolam, di bawah pohon beringin besar yang menjadi peneduh. Doa dilakukan dengan duduk bersila atau bersimpuh. Karena aku tidak mengerti tata cara doa tapi ingin mengalami, Bli Mangku Yogi membantuku. Ia yang mengucapkan doa disertai instruksi. Tak tahu persis mantranya apa, tapi sepertinya tiap ganti larik mantra, disertai aktivitas tertentu seperti ambil bunga, taruh bunga, ganti bunga yang baru, atau bunga diselip di kuping. Usai matur piuning, canang kita letakkan di meja. Sertakan dengan uang apa namanya, ya, lupa. Semacam kadeudeuh gitu kalau dalam istilah Sunda. Atau uang persembahan untuk di gereja, infaq untuk di masjid. Sepertinya begitu, ya. Mohon koreksi kalau salah. Setelahnya, bersiap nyemplung.


Aku berkunjung ke Tirta Empul sedang masa libur (sekolah). Ramai. Tapi konon, Tirta Empul merupakan kolam untuk melukat yang paling ramai kunjungan. Antrean panjang, mengular dari mulai pintu masuk hingga tangga masuk kolam.  


Ada 2 bak kolam besar di Tirta Empul, sisi kiri dan kanan dengan pembatas yang dilengkapi dengan anak tangga. Terdapat 13 pancuran air suci. Tapi tak semuanya dipakai. Di kolam pertama hanya  5 dan kolam kedua 1. Selain membasahi diri dengan air kolam, yang utama dari melukat adalah menerima kucuran air pancuran. Saat berada dalam guyuran pancuran ini, bisa sambil mendaraskan doa, harapan, manifestasi, atau apa pun yang diinginkan.


Jumlah peserta melukat yang besar, membuat badan menggigil selama berada di dalam air untuk menunggu giliran. Begitu ketemu area yang terkena matahari, langsung hangat dan garing. Lalu dingin lagi, karena kudu nyemplung lagi. Tapi seru dan menyenangkan. 


Pengalaman pertama melukat yang menarik. Sambil menunggu antrean pancuran, aku mengamati sekeliling. Terutama bangunan dan alam sekitar. Lumut memenuhi sebagian bangunan, memberikan kesan alami sekaligus tua. Ada ikan yang sekali waktu berseliweran di posisi kita berdiri. Mereka terlihat tak takut manusia, sudah terbiasa. Beringin, tak sekadar peneduh, namun menghadirkan nuansa magis yang menandakan di wilayah tersebut terjadi peristiwa spiritual yang berlangsung dalam waktu lama. 


Ya, pengalaman melukat yang menyenangkan. Mungkin di lain kesempatan tak lagi ke Tirta Empul, cari kolam lain yang lebih sepi pengunjung untuk mendapatkan suasana yang lebih khidmat.  


Baca juga: Wisata Kuliner dan Religi di Bali, 2024

No comments