Pohon Sala atau Burahol?

Aku suka sekali mengidentifikasi tanaman. Identifikasi sederhana saja. Sekadar keisengan yang terbakukan. Tak ingat sejak kapan aku melakukannya. Setiap kali berada di wilayah baru, aku selalu (SELALU!) ngecek, seberapa kenal aku dengan tanaman di sekitarku. Kurasa aku jadi semacam terobsesi, entah. Buat sebagian orang mungkin ini ganjil. Kegemaran yang aneh, katanya, haha! Nggak pa-pa, sih, sudah biasa dianggap ganjil, hihi. Nah yang terakhir membuatku penasaran adalah satu pohon dengan buah serupa bola besar warna cokelat. Pohon itu kujumpai sewaktu di Bali, berdiri di sudut halaman toko dupa. Sayangnya saat itu suasananya tak begitu menyenangkan. Jawaban dari si mbok penjaga tak cukup terdengar di kupingku. Waktu kucoba cek di mesin pencari, keluar kata salamangu dan burahol. Dua istilah yang tak familier.


Baca juga: Nimba, Pohon dengan Banyak Kasiat

Jadi, pohon apa itu sesungguhnya? Waktu pertama menampilkan foto dan buahnya saja di mesin pencari, yang muncul nama burahol atau kepel. Tapi begitu kuganti dengan foto yang ada tanganku, yang menunjukkan ukuran --perbandingan tangan dan buah, baru muncul nama salamangu. Tapi tak cukup banyak referensi yang kutemukan tentang pohon salamangu atau salamanggu. Itu pun tulisan dalam bahasa Sunda. Kocak! Iya, kocak, karena ternyata tak cukup mudah mengartikan basa Sunda dalam tulisan panjang. Penulisnya dosen UNY, tapi asli Sunda. Nama blognya Tatang. Tapi jadinya saiyah googling ke sana kemari. Diduga salamangu ini dikenal sebagai pohon sala. Ternyata nama pohon sala pun tidak tunggal. Waaah.... Catatan ini saiyah tulis buat kalian yang punya kecenderungan aneh serupa, gemar menelisik tanaman, tumbuhan, pepohonan, apa pun terkait flora.


Pohon Sala

Baiklah. Kita anggap saja namanya pohon sala. Meski sementara orang atau daerah menyebutnya salamangu atau salamanggu. 

Dari blognya Pak Dosen Tatang itu disebutkan bahwa pohon sala merupakan tumbuhan yang dianggap sebagai cikal pemberian nama Solo. Nama latinnya Couroupita guianensis. Dalam bahasa Inggris, namanya cannonball tree. Di India, pohon ini dikenal sebagai pohon asoka atau nagalinga (nagalingga). Naaah, di sini baru teringat. Kalau tak salah si mbok toko dupa menyebut nama ada "naga"-nya. Mungkin orang Bali mengacu pada nama India. Pohon ini dianggap sakral, sering dihubungkan dengan Dewa Siwa. 

Lain lagi yang kutemukan dari situsnya Taman Buah Mekarsari (TBM). Di lamannya TBM ini tak ada sama sekali disebut nama sala. Mereka memilih menggunakan nama bule, cannonball. Menurut TBM, pohon ini disebutkan asli dari tanah Amerika Selatan. Namun menurut mereka, informasi lain menyebutkan bahwa cannonball telah tumbuh di India sejak dua hingga tiga ribu tahun terakhir, jadi sangat mungkin pohon ini tumbuhan India.

Yang menarik adalah artikel yang kemudian kutemukan di Solopos. Ada informasi yang lebih detail. Agak terlepas dari konteks, karena ini membahas tentang muasal nama Kota Solo. Tapi seru juga bacanya.

Disebutkan, setidaknya ada tiga jenis tanaman yang disebut sebagai pohon sala. Dalam nama latin, Couroupita guianensis, Shorea robusta, dan Pinus mercusii. Biar tidak pahili, kalau kata orang Sunda. Couroupita guianensis sering disebut pohon canonball karena buahnya yang menyerupai peluru meriam: bulat, keras, dan besar. 

Menurut budayawan asal Solo, Hendramasto, Couropita disebut sebagai pohon sala oleh kalangan umat Buddha di Asia Tenggara. Hal ini menjelaskan perihal muasal tanaman ini berada di Solo, mengingat pada masa lalu masyakarat Solo didominasi budaya ajaran Buddha. Tapi, menurut Hendramasto, pohon itu bukan cannonball. Menurutnya, pohon sala di kalangan penganut Buddha di Asia Tenggara adalah Couroupita. Sedangkan sala di kalangan umat Hindu-Buddha di India, adalah Shorea robusta.

Nah, pohon sala yang Shorea robusta inilah menurut Hendromasto yang menjadi asal-muasal nama Kota Solo. Pohon sala yang bukan cannonball. 

Sementara itu, pohon sala yang dengan nama latin Pinus mercusii dikenal di wilayah Aceh. Ini adalah jenis pohon pinus. 

Penelusuran muasal nama Kota Solo ini konon sudah muncul pada dekade 60-an. Disebut pertama kali pada 1960 dalam buku Nawawindu Radyapustaka. Dalam buku tersebut, G.P.H. Adiwijaya menjelaskan nama Sala berasal dari sebuah tanaman. Ia menukil kisah dalam Babad Sengkala karya pujangga Yogyakarta atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono I. Meski demikian tak tersebutkan pohon sala yang dimaksud sala yang mana. 

Terkait muasal nama Kota Solo ternyata belum cukup jelas. Setidaknya sampai saat aku iseng mencari tahu soal pohon sala di hari ini. 

Kembali ke pohon sala yang canonball ...

Seperti terlihat di foto, bentuk buah sala adalah bulat, dengan tekstur kulit buah keras seperti kayu. Diameternya kisaran 15 sampai 24 cm. Satu pohon bisa menghasilkan 200 hingga 300 buah. Konon, kalau buahnya sudah matang dan jatuh sendiri ke tanah, memunculkan suara ledakan kecil, lalu retak. Tampaknya itu yang membuat pohon ini dinamai cannonball. Yang menarik lagi dari pohon ini adalah bunganya yang berwarna merah jambu dengan putik kuning dan menguarkan aroma wangi semerbak. 


Baca catatan perjalanan ke Bali lainnya:


Pohon Burahol

Berhubung sudah tersebutkan, mari kita bahas juga pohon ini. Burahol, aku baru dengar. Kalau kepel, cukup familier, meski belum pernah melihat pohonnya secara langsung. 

Rupanya pohon ini langka karena di masa lalu penanamannya sangat terbatas. Pohon ini disukai oleh putri keraton, sehingga hanya ditanam di lingkungan istana. Mengapa demikian? Tak lain karena setelah mengonsumsi buah kepel atau burahol matang akan membuat keringat dan napas para putri keraton itu wangi. 

Nama latinnya Stelechocarpus burahol. Tanaman ini tersebar di kawasan Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Indonesia, hingga Kepulauan Solomon bahkan Australia. Pohon kepel termasuk pohon langka. Selain sudah kadung tidak tersebar, di masa kini kemungkinan orang enggan untuk budi daya, mengingat banyaknya biji dalam buah burahol ini. Pohon ini merupakan flora identitas Provinsi Daerah Istimewa Jogyakarta. Keberadaannya, selain di kawasan Keraton Yogyakarta, bisa ditemukan di TMII, Taman Kiai Langgeng Magelang, Kebun Raya Bogor, dan TMB.

Di TMB, pohon kepel ditanam pada awal 1995 bertepatan dengan diresmikannya taman buah ini. Jumlahnya sebanyak 30 pohon. Dari laman TMB disebutkan, masa berbuah pohon kepel adalah April dan akan berlangsung hingga Juni. 

Jadi, demikianlah ceritanya perihal pohon sala lalu menyenggol si burahol. Gara-gara tragedi nagalingga di toko dupa, rasa penasaranku menjadi. Oke, sudah tertuliskan dan sekarang aku bisa tidur nyenyak. Terima kasih sudah baca catatan Ibu Meong, ya. Selamat mencintai tanaman. Namaste. 


Baca juga perjalanan ke Bali lainnya:

No comments