Tertawan Keindahan Kintamani dan Danau Batur

Hari masih pagi saat kami meluncur meninggalkan Denpasar. Rencananya sebetulnya tiba di lokasi lebih dini, agar bisa menjumpai sunrise. Apa daya, terpenggal ini dan itu, jadilah berangkat agak siang. Tak soal, masih kujumpai suasana pagi Danau Batur yang menakjubkan. Terhitung sejak mata bersirobok dengan danau dan latar belakang gunung dan kabut yang mengangkasa di antaranya, aku sungguh terpesona. Belakangan hari, perjumpaan-perjumpaanku dengan alam, dengan tanaman atau binatang, dengan hal-hal yang terlihat indah, terasa betul menyentil emosiku. Rasanya, tak semata memenuhi keinginan mata melainkan kebutuhan batin. Jajaran gunung dalam nuansa abu kebiruan gelap, danau batur yang mulai menampakkan gemerlap pantulan matahari, dan kabut tipis yang melayang … sungguh sebuah kemewahan. Ya, kami berada di Kintamani, kawasan tinggi Bali dengan gunung dan danaunya yang menawan.


Baca juga: Ragam Kuliner Bali, Halal dan Nonhalal


Kintamani merupakan sebuah kecamatan di Bangli, satu-satunya kabupaten yang tidak memiliki pantai atau laut. Berada sekitar 60 km dari pusat kota Denpasar, sekitar 1,5 jam perjalanan menggunakan kendaraan dengan kecepatan standar. Apakah aku pernah singgah ke Kintamani? Aku tak ingat betul. Rasa-rasa saat ikut rombongan tur, tahun 2002 atau 2010 pernah berfoto di salah satu rumah makan yang kami singgahi. Lupa. Tapi kalaupun singgah, ada pemaknaan yang berbeda dari kunjunganku kali ini.


Legenda Danau Batur


Menuju Danau Batur, tak akan afdol kalau tak mengingat kisah ini. Kisah legenda yang entah kapan kusimak. Mungkin selagi bersekolah di SD. Tentang bocah raksasa yang tenggelam di dasar danau.


Alkisah adalah sepasang suami istri yang sudah lama menikah namun tak kunjung memiliki anak. Mereka  berdoa sepanjang waktu, memohon dikaruniai anak. Doanya dikabulkan. Seorang bayi laki-laki lahir. Berbeda dengan bayi pada umumnya, bayi ini tumbuh dengan nafsu makan sangat besar. Takaran makannya setara dengan porsi makan 10 orang dewasa. Tak heran jika pertumbuhannya sangat cepat. Dan makin dewasa, si bayi yang diberi nama Kebo Iwa ini, nafsu makannya makin tak terkendali. 


Orang tua Iwa kewalahan. Mereka minta bantuan penduduk sekitar untuk ikut menyediakan makanan bagi anak raksasa yang beranjak dewasa itu. Digambarkan, Iwa saat itu besar tubuhnya sebesar bukit, dengan kekuatan serupa topan. Penduduk desa pun tak berani menolak dan memancing kemarahan Iwa. Sedangkan kebutuhan makan setara dengan porsi makan seribu orang. Penduduk desa mengabdikan diri melayani kebutuhan makanan Iwa karena rasa takut mereka. Namun begitu musim paceklik tiba, mereka dibuat kalut. Untuk menyediakan makanan bagi keluarga sendiri saja kerepotan, ini harus menyiapkan makan juga buat Iwa yang jumlahnya ugal-ugalan itu. Saat warga tak berhasil mencukupkan kebutuhannya, Iwa mengamuk. Ia menghancurkan rumah warga dan memakan ternak mereka. 


Kemarahan Iwa telah menimbulkan petaka. Orang banyak yang mati, rumah rusak, ternak hilang, sumber makanan pun harus berebut. Penduduk lalu mulai bersiasat untuk melenyapkan Iwa. 


Penduduk menawari Kebo Iwa membangun rumah dan sumur warga yang rusak dengan imbalan makanan berlimpah. Iwa pun mulai bekerja. Sementara warga terlihat sibuk mengumpulkan batu kapur yang katanya akan digunakan untuk membangun rumah Kebo Iwa. Manusia raksasa itu gembira, tak mengendus muslihat warga. Ia terus bekerja. Pada pekerjaan terakhir, ia menggali sumur. Dalam dan makin dalam. Kelelahan bekerja, Kebo Iwa beristirahat di dalam sumur yang belum tuntas digalinya. 


Demi mengetahui Kebo Iwa sedang tertidur lelap, seluruh warga berjibaku melempar batu kapur yang mereka kumpulkan sebelumnya ke dalam sumur. Iwa yang tidak mengendus rencana warga tersebut kehilangan kewaspadaan, bahkan tak sempat berkelit. Timbunan batu kapur pun makin meninggi dan mengubur tubuh Iwa hidup-hidup. Sementara sumur mulai mengeluarkan airnya, membanjiri desa hingga membentuk danau. Danau inilah yang kemudian dikenal sebagai Danau Batur. Sedangkan tumpukan kapur yang menjulang itu dinamakan Gunung Batur.


Seru kan ceritanya? Lumayan buat pengantar tidur bocah dengan segala pesan moral yang mengikutinya. 


Baca juga catatan perjalanan Bali yang lain:


Mengecap Keindahan Danau dan Gunung Batur


Kintamani —mengutip laman Pemerintah Kecamatan Kintamani— berasal dari kata Cintamani. Nama itu tercantum dalam Wrhaspati Tattwa, lontar tua berbahasa Sansekerta dan Jawa kuno terdiri. Dalam lontar itu terdapat 75 sloka atau pasal. Pada sloka 65  disebut tentang Asta Guna atau tempat yang dikehendaki. Namun referensi lain menyebutkan bahwa Kintamani atau Cintamani dalam Kitab Weda diartikan sebagai sesuatu yang dapat memberikan kebahagiaan lahir dan batin. Terlepas mana yang lebih tepat, Kintamani memang merupakan tempat yang dikehendaki banyak orang untuk berlibur, pun memberikan kebahagiaan lahir batin. Sepakat, kan?


Sepanjang kiri jalan —jika perjalanan dari arah Denpasar— berjajar kafe dan resto yang menawarkan pemandangan langsung ke arah Gunung Batur dan Danau Batur. Area Penelokan ini berada pada ketinggian sekitar 1.500 meter dpl. Sedangkan jajaran kabut berada kisaran 300-400 lebih rendah, sehingga membuat kita seolah berada di atas awan. Kami tak lama di area kafe dan pusat perbelanjaan Kintamani ini. Tujuan kami lebih merapat ke arah danau, ke Resto Apung Kintamani.



Resto Apung di Kedisan ini sejauh ini menjadi satu-satunya resto yang berhadapan langsung dengan Danau Batur. Lokasinya sangat strategis. Dilengkapi dengan 14 bungalow yang sebagian besarnya berbentuk rumah panggung. Menarik. Tapi, sorry to say, ini resto tampaknya butuh pembenahan. Terutama soal hospitality. Terasa “dingin” tanpa sambutan dari para pelayannya. Terasa sekali karena kontras dengan danau yang tenang namun menguarkan kehangatannya. Sayang sekali. Semoga kalau ada kesempatan lain untuk berkunjung, sudah ada perubahan penanganan. Padahal olahan ikan nilanya lumayan enak.




Nah, kalau mau menikmati pemandangan, kurasa resto ini menjadi tempat yang pas. Belum coba titik yang lain. Namun tak ada yang memiliki jarak dengan perairan ini sedekat Resto Apung. Kita bisa menyentuh air. Kita bisa ikut bergoyang bersama riak halus danau. Kita bisa bersantai di saung-saung, selonjoran sambil menikmati cahaya matahari yang melimpah.



Danau Batur merupakan danau terluas di Bali dan menjadi sumber air bagi sebagian besar lahan pertanian di wilayah utara Bali. Bentuknya unik, seperti bulan sabit. Terlihat cukup jelas saat kita masih di atas dan melihat danau dari kejauhan. Danau ini membelakangi Gunung Batur yang dikenal dengan kaldera kembarnya, kaldera berukuran 10 km x 13 km yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar di dunia.



Hari sudah cukup siang saat kami meninggalkan area Resto Apung. Matahari makin mengangkasa, kabut mulai menipis. Kami harus segera kembali ke kota. Ada yang belum kukunjungi, yang masih akan kujadikan catatan sebagai wilayah kunjungan jika ada kesempatan untuk kembali ke Bali. Pura Ulun Danu Batur dan Terunyan.


Pura Ulun Danu Batur merupakan tempat persembahyangan penting bagi umat Hindu Bali dan dianggap sebagai pemelihara harmoni serta stabilitas seluruh pulau. Pura ini mewakili arah utara pulau. Pura yang  didedikasikan untuk Dewa Wisnu dan Dewi Danu —dewi lokal Danau Batur— ini dibangun pertama kali abad ke-17. Ketika terjadi letusan Gunung Batur pada 1926, pura ini mengalami rusak parah. Yang berdiri sekarang adalah bangunan pura yang dibangun kemudian dengan lokasi yang berbeda, bergeser dari lokasi awal. Yang tersisa dari bangunan lama adalah meru atau menara persembahyangan dengan 11 tingkat.  Pura Ulun Danu Batur terdiri dari 9 pura, Pura Penataran Agung Batur, Pura Tamansari, Pura Jati Penataran, Pura Sampian Wangi, Pura Tirta Bungkah, Pura Tirta Mas Mampeh, Pura Taman Sari, Pura Padang Sila, Pura Gunarali, dan Pura Tuluk Biyu.


Pura Ulun Danu Batur (Foto: Wiki)


Satu lagi, Terunyan. Kawasan yang dikenal sebagai pemakaman yang membiarkan jenazah tergeletak di atas permukaan tanah. Terbuka. Tradisi ini dinamakan Bali Aga. Tradisi dari era Bali kuno yang masih dipertahankan hingga kini. Terunyan merupakan satu dari 48 desa di Kintamani yang untuk sampai di sana kita harus menyeberangi Danau Batur. Saat mengunjungi Kintamani bulan lalu, waktunya tak cukup leluasa, jadi menghilangkan bagian kunjungan ke Terunyan.


Tapi kenapa nggak ke pura, ya? Baru tersadarkan kalau dalam kunjungan terakhir ke Bali kemarin kok malah aku sama sekali tak mengunjungi pura. Padahal sebelumnya selalu berusaha menyempatkan kunjungan ke pura. Ah, semoga masih ada waktu.


Sampai ketemu lagi, Kintamani! Suksma.


Oiya, ini jeruk Kintamani. Sekilo 15 ribu.


Baca juga perjalanan ke Bali lainnya:

No comments