Dari depan, bangunan tak menunjukkan sebagai sebuah tempat usaha. Hanya penunjuk nama saja yang menjelaskannya. Itu pun bagi yang cukup tanggap terhadap keberadaan ini tulisan. Jika tidak, sekali lewat saja, bisa jadi tak menangkap tanda apa pun. Kawan Semarang, Mima, mengajakku ke sini. Tempat yang begitu masuk langsung membuatku: waaaaahhh. Setelah ada di dalam area barulah terlihat bangunan kuno yang ternyata masuk dalam daftar heritage-nya Semarang. Itulah Margo Redjo, roastery tertua di Indonesia. Berlokasi di Jalan Wotgandul Barat Nomor 14, Semarang.
Baca juga: Kopi Aroma, Kopi yang Diolah dengan Cinta
Begitu tiba di nomor 14 Jalan Wotgandul Barat, kita disuguhi pemandangan tempat tambal ban di area kiri dan warung tenda makanan di sebelah kanan. Di antaranya pada tembok tersisa, terdapat satu pintu kayu berukuran 2x1 meter. Saat pintu terbuka, yang tersaji di depan mata adalah beberapa pasang meja kursi berukuran kecil hingga sedang. Area itu terteduhi oleh deretan bambu sebafai pagar dan beberapa pohon berukuran besar serta tanaman merambat sebagai pemanis. Nun, di belakang, tampak bangunan utama yang menjadi heritage sebagai latar. Pada sisi kanan terdapat bangunan yang di dalamnya tersedia aneka pilihan kopi Nusantara yang menjadi kekhasan Margo Redjo.
Margo Redjo dalam Sejarah
Saat ini, nama Margo Redjo sebetulnya menempel pada kedai kopi atau kafe atau koffie huis yang baru dibuka pada 2019. Margo Redjo sebagai roastery sudah bersalin nama menjadi Dharma Boutique Roastery. Jadi, sebetulnya, kalau kita menyebut sejarah, perjalanan ke belakang kita adalah menjumpai masa lalu Dharma Boutique Roastery. Tapi, ya, baiklah, kita sebut saja Margo Redjo karena memang itulah nama awalnya.
Sejarah pabrik kopi ini berawal dari Tan Tiong Ie, seorang pria kelahiran Semarang yang mengawali pekerjaannya sebagai pedagang garam. Usahanya bangkrut. Ia mencoba peruntungan di tanah Sunda. Persisnya, Tan Tiong Ie hijrah ke Cimahi, Jawa Barat. Jadi, Tan Tiong Ie mendirikan usaha kopinya bukan di rumah masa kecilnya, melainkan di negeri orang, di Cimahi, kota yang kemudian hari dikenal sebagai kota tentara.
Tan memulai usahanya pada 1915. Pada masa itu, kopi robusta mulai masuk ke Hindia Belanda. Usahanya terhitung lancar. Tan berhasil memiliki sejumlah perangkat pengolahan kopi. Pada 1924 ia memutuskan pulang ke kota kelahirannya. Diboyongnya segala perkakas pabrik berukuran besar itu untuk dilanjutkan beroperasi di Semarang. Meski demikian, Tan bukan memulai pabriknya di rumah, melainkan di area yang disewanya di Jalan dr. Cipto. Pabrik ini beroperasi selama kurang lebih 4 tahun. Dalam kurun waktu tersebut ia tak kunjung mengantongi izin. Besar kemungkinan karena adanya keberatan dari para tetangga. Izin itu baru didapatkan pada 1928, setelah Tan memutuskan kembali memboyong pabriknya, kali ini ke rumah keluarga di Jalan Wotgandul.
Baca juga: Ragam Kuliner Bali, Halal dan Nonhalal
Pada masa-masa itu, dimulai pada 1926, Pabrik Kopi Margo Redjo mengalami kejayaannya. Hal itu ditandai dengan ekspor kopi yang berjalan dengan baik dan stabil ke negara-negara di Eropa. Puncaknya terjadi pada 1929. Margo Redjo bisa mengekspor tak kurang dari 200 ton biji kopi per tahun. Jumlah tersebut dapat dikatakan menguasai pasar ekspor dari Semarang.Industri kopi Mergo Redjo --dan banyak bisnis lain-- mengalami kejatuhan pada saat berlangsungnya perang dunia lalu penguasaan Jepang terhadap Indonesia. Tan pun menutup usahanya. Di luar persoalan politik di tanah air, kedatangan tentara Sekutu yang membonceng Belanda tiba di Semarang, malah menghadirkan angin segar bagi usaha Tan. Mereka meminta Tan untuk kembali membuka Margo Redjo. Tak hanya itu, mereka bahkan menyediakan bantuan mesin diesel sebagai penyedia pasokan aliran listrik. Demikianlah, Margo Redjo kembali beroperasi dan secara khusus memproduksi kopi untuk orang-orang Belanda. Kegiatan itu terus berlangsung hingga mereka kembali ke negaranya karena sudah terjadi penyerahan kekuasaan.
Pada perjalanan berikutnya, persaingan terjadi setelah industri kopi di tanah air mengalami perkembangan pesat. Persaingan tak dapat dihindari. Pada tahun 1980-an Margo Redjo mulai mengurangi produksi. Mereka melayani pelanggan tertentu saja.
Baca juga: Menjajal Minuman Beralkohol Khas Bali
Margo Redjo Koffie Huis
Jenama Margo Rejo sebagai pabrik kopi telah diganti menjadi Dharma Boutique Roaster sejak 2017. Berbagai perangkat yang telah membesarkan nama Margo Redjo masih dibiarkan bertahan di bagian belakang bangunan, dalam sebuah ruang khusus. Malah, aneka peralatan pengolah kopi yang merupakan produk Belanda dan Jerman yang usianya telah melewati satu abad itu menjadi penghuni ruang yang kemudian dijadikan museum kopi mini.
Di dalam ruangan itulah aku menyimak kisah yang disampaikan awak Kedai Kopi Margo Redjo. Setiap harinya, pada jam-jam tertentu ada tawaran kepada pengunjung kedai untuk menyimak sejarah pabrik kopi seraya melihat langsung aneka perangkat yang pernah digunakan pada masa lalu tersebut. Pada hari kunjunganku, tak ada orang lain yang berminat. Jadi aku berdua saja dengan kru --duh, lupa namanya-- yang menjadi tour guide.
Setelah menyimak cerita, kami kembali ke area depan yang dijadikan showroom. Di ruang ini tersedia 35 jenis kopi yang disimpan dalam keler kaca. Kopi-kopi tersebut disiapkan bagi pembeli yang telah melakukan pemesanan maupun bagi pembeli yang datang berkunjung.
Saat kembali ke ruang ini, ada Mbak Sri yang memperagakan proses grinding kopi menggunakan perangkat manual lama yang masih difungsikan. Grinder mungil itu memiliki kapasitas hingga 5 kg. Untuk takaran yang lebih besar, ada alat lain yang digunakan, disimpan di bagian samping showroom. Alat timbang yang digunakan juga perangkat lama dari zaman Belanda. Begitu pula alat hitung, bukan menggunakan kalkulator, melainkan cipoa, alat hitung tradisional China.
Aku minta dibuatkan kopi tubruk pakai biji kopi Gunung Wayang. Lantas memilih duduk di lokasi paling dekat dengan bangunan utama yang menjadi salah satu cagar budaya Kota Semarang itu. Sempat menuntaskan beberapa PR penyuntingan naskah hingga jelang kafe tutup.
Senang bisa berkunjung ke Margo Redjo. Terima kasih untuk sambutan hangatnya.
Baca juga: Berkunjung ke Kota Atlas
No comments