Menjajal Moda Transportasi Massalnya Bandung, Bus Trans Metro Pasundan

Sudah agak lama aku ingin menjajal bus Trans Metro Pasundan (TMP). Kesempatan itu datang saat aku ada keperluan ke Bandung Eletronic Center (BEC), karena tak dapat melakukan transaksi MyTelkomsel. Upaya penyelesaian secara daring sudah coba dilakukan, hasilnya tak memuaskan. Satu-satunya cara biar cepat tuntas adalah dengan mendatangi langsung GraPARI Telkomsel. Maka demikianlah, hari itu, Kamis, 3 Oktober menjajal salah satu moda transportasi massal di Kota Bandung tersebut.

Baca juga perjalanan ke Bali:


Sebetulnya rencana itu tak langsung dijalani. Tertunda beberapa hari. Apa pasal? Karena persiapannya lebih lama dari yang direncanakan. Akibatnya, kesiangan. Memang kenapa kalau kesiangan? Panas, bo! 

Jadi, begini... aku berencana menjajal moda transportasi massal Bandung, TMP ini sekaligus untuk lebih membiasakan diri jalan kaki. Dari rumah sampai dengan halte bus terdekat itu sekitar 2,5 km. Tak terlalu jauh dibandingkan dengan jarak saat aku jalan kaki yang belakangan aku upayakan rutin minimal 5000 langkah tiap hari itu. Cuma, kalau matahari tepat di atas kepala, pening juga awak!  


Transportasi Umum, Ketika Era Sudah Bergeser

Di masa lalu, kendaraan umum menjadi alat transportasi andalan. Kereta api, bus kota, angkot, bemo, oplet menghiasi jalanan di sebagian besar kota di tanah air. Aneka moda transportasi itu dimanfaatkan untuk berbagai keperluan; ke tempat kerja, sekolah, pasar, kunjungan ke kerabat, hingga untuk kebutuhan mudik ke kampung halaman. 

Barangkali memang demikianlah prosesnya, setiap zaman memiliki kekhasannya masing-masing. Seiring dengan kemajuan teknologi, pembangunan infrastruktur, tingkat kesejahteraan yang meningkat, aneka produk yang makin terjangkau dari sisi harga dan ketersediaan, menjadikan era berjayanya transportasi massal ini pun kemudian berakhir. Persoalannya, penggunaan kendaraan pribadi yang melimpah ruah telah menimbulkan banyak persoalan. Mulai dari kemacetan lalu lintas, polusi udara, tingginya angka kecelakaan, hingga aneka persoalan sosial. Saat ini, dengan mudah kita menjumpai kasus, keluarga kehilangan sawahnya karena sang anak ingin dibelikan motor. Anak-anak muda yang gemar flexing dengan kendaraan terbaru, padahal sesungguhnya kemampuannya belum sampai di situ. Dan banyak masalah sosial yang lainnya. 

Tak heran jika harapan untuk kembali menggiatkan pemanfaatan transportasi massal ini masuk dalam rencana pemerintah. 

Berkaca pada negara-negara maju, transportasi umum menjadi pilihan utama masyarakatnya. Seorang kawan yang sedang ambil kuliah di Jepang bercerita tentang salah seorang Indonesia sempat menjadi bahan olok-olok di lingkungan pertemanannya dengan orang Jepang. Hanya gara-gara ia membeli mobil. Memiliki mobil bukanlah kebanggaan bagi orang Jepang. Pajaknya mahal! Mereka lebih memilih untuk memanfaatkan moda transportasi massal. Biaya murah dengan fasilitas yang memadai. Nah, itu menjadi salah satu persoalan besar di tanah air.

Tentu saja kita tidak dapat membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju yang manajemen transportasi umumnya memang sudah teruji oleh waktu. 

Selain Jepang, Korea Selatan juga memiliki manajemen atau tata kelola transportasi yang bahkan lebih maju dibandingkan banak negara lain di dunia. Mereka menjadikan kereta api sebagai andalan untuk mengatasi mobilitas masyarakat yang ketat dan padat. Negara ini juga memiliki bus umum dalam jumlah yang memadai dan dengan jadwal yang ketat. 


Baca juga perjalanan ke Baduy:


Bagaimana dengan Indonesia?

Sudah banyak kok alat transportasi umum yang armadanya ditingkatkan, dari sisi kuantitas maupun kualitas. Kita tentu tidak lupa bagaimana kiprah Ignatius Jonan saat menjabat Dirut PT KAI, lantas menjadi Menteri Perhubungan. Layanan BUMN perkeretapian itu dirombak total, dan hasilnya bisa kita nikmati hingga kini. Mungkin belum ada apa-apanya dibandingkan yang sudah dilakukan oleh perusahaan kereta api di luar negeri. Tapi apa yang pernah terjadi di tubuh lembaga kereta api itu tentunya dapat dijadikan sedikitnya acuan bahwa hal yang dulu pernah dianggap tidak mungkin, bisa terjadi. Sebagian di antara kita barangkali pernah mengalami buruknya layanan PT Kereta Api di masa lalu. 

Nah, apakah hal serupa dapat terjadi di moda transportasi publik lainnya? Aku sih, optimis bisa. Segala hal yang berpotensi memberikan dampak positif perlu didukung. 

Pada 2019 lalu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI menginisiasi diadakannya sistem transportasi angkutan cepat bus (bus rapid transit/BRT) dengan nama Teman Bus yang merupakan singkatan dari Transportasi Ekonomis Mudah Aman dan Nyaman. Layanan ini merupakan pengembangan dari BRT dalam program yang telah diinisasi di beberapa kota dua tahun sebelumnya. Layanan Teman Bus pertama dioperasikan di Palembang pada 2 Juni 2020. Menyusul kota-kota lainnya, termasuk Bandung yang menamai armadanya dengan Trans Metro Pasundan.

Pengalaman Menggunakan TMP

TMP mulai beroperasi pada 27 Desember 2021. Moda transportasi massal bagi warga Bandung ini tersedia dalam tiga jenis, yakni bus ukuran sedang, ukuran besar, dan bus berbahan bakar listrik. Bus ukuran besar berkapasitas 60 orang dengan 30 tempat duduk. Bus ukuran sedang berkapasitas 40 orang dengan 20 buah tempat duduk. Sedangkan bus listrik berkapasitas 24 orang dengan 19 kursi. TMP yang kunaiki dengan rute Baleendah - BEC adalah bus dengan ukuran sedang. 

Jadi teringatkan kawan blogger, Mbak Dian Restu yang gemar menggunakan motor listrik; sudah coba bus listrik, belum, Mbak?

Saat awal kemunculannya, penggunaan TMP ini digratiskan. Lalu, per 31 Oktober 2022, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 138/PMK.02/2022, semua layanan program Teman Bus dikenakan tarif. TMP mengenakan tarif Rp4.900 untuk sekali perjalanan. Pembayarannya bisa menggunakan kartu uang elektronik QRIS. 

Untunglah bulan lalu aku sudah mencoba menggunakan layanan bus serupa di Semarang. Jadi, saat menjajal TMP lumayan percaya diri. 

Bagi yang belum pernah coba, ini aku kutipkan tata cara pembayaran di TMP menggunaka QRIS. 



Untuk pemakaian kartu elektronik, juga tinggal tempelkan kartunya ke perangkat.

Di jalur Bojongsoang, halte terdekat cukup banyak. Dalam radius sekitar satu kilometer terdapat 4 halte pemberhentian. Untuk yang rumahnya ada di jalan utama Bojongsoang, tentunya fasilitas ini lumayan sekali. Kalaupun harus jalan kaki cukup kisaran 250 meter saja sudah ketemu halte. Sangat lumayan kan jika dibandingkan aku yang harus berjalan sejauh minimal 2,5 km untuk mencapai halte terdekat.

Perjalanan lancar. Hampir secara keseluruhan bus terisi minimal 80%. Pada beberapa titik sejumlah penumpang bahkan harus berdiri karena tidak kebagian kursi. 

1. Kenyamanan

Karena aku pemotor, berada dalam kendaraan besar dengan AC, tentu saja terasa nyaman. Selain itu bisa menyaksikan pemandangan di sepanjang jalan yang terlewati, hal yang tak bisa kulakukan saat bermotor.

Bagi yang biasa menggunakan kendaraan roda empat, karena TMP adalah transportasi massal, dari sisi kenyamanan mungkin kurang. Harus berbaur dengan banyak orang. Pun harus mengikuti aturan seperti tidak boleh makan dalam kendaraan.

2. Durasi perjalanan

Sebagai pemotor, aku bisa mengira-ngira waktu yang kubutuhkan untuk mencapai sebuah tujuan. Kalaupun meleset akibat kemacetan atau penyebab lainnya, tak akan terlalu jauh.

Beda halnya jika menggunakan transportasi umum seperti TMP ini. Ada standar kecepatan kendaraan yang diterapkan. Rute yang panjang dengan segala tetek-bengek hambatan di jalan membuat kita agak sulit membuat prediksi waktu.

Paling tidak dua hal itu yang menjadi lebih-kurangnya penggunaan TMP. Tapi menurutku, keduanya masih bisa disiasati, jika ingin mendapatkan alat transportasi murah sekaligus ikut mendukung program pengoperasian transportasi massal dari pemerintah.


Baca juga perjalanan di Bandung Raya:


Aku sendiri, akan secara berkala memanfaatkan bus Trans Metro Pasundan ini. Selain soal penghematan, juga demi mendukung badan yang lebih sehat dan upaya menjalani hidup yang "melambat". Bagaimana denganmu? Naik, bus bareng, yuk!

Ibu Meong Jajal TMP



No comments