Sebuah poster yang mengabarkan rencana perjalanan ke Gunung Putri melintas di salah satu platform media sosial. Sebelumnya aku sudah sempat melihat pengumuman dari penyelenggara yang sama, Geowana Ecotourism, perjalanan ke Gunung Padang. Tapi baru merasa ada greget, saat lihat poster terbaru. Langsung daftar, dan langsung ikut perjalanannya pada Sabtu, 14 September 2024. Perjalanan berkenalan dengan Sesar Lembang dari dekat. Sebuah perjalanan menantang diri untuk terus bergerak saat pertambahan usia tak bisa direm. Ya, pada umurku yang sudah setengah abad, aku ingin terus bisa melakoni hidup dengan segala dinamikanya tanpa berkesah.
Baca juga: Jelajah Taman Buru Masigit-Kareumbi
Geowana Ecotourism dimotori oleh Kang Gan Gan Jatnika. Meski sebagai pemandu wisata geologi, Kang Gan Gan melengkapi diri dengan aneka cerita yang menjadi legenda Tatar Bandung lengkap dengan mitos-mitosnya. Sepanjang perjalanan, mulai berangkat hingga pulang, diisi dengan cerita, baik informasi faktual maupun dongeng.
Apa itu Sesar Lembang?
Ini adalah kali pertama perjalananku bergabung dengan komunitas jalan-jalan, yang kebetulan bergabungnya dengan Geowana. Ada dua titik janji pertemuan. Yang pertama di sebuah mini market kawasan Lembang, yang kedua lokasi parkir Gunung Putri. Berhubung aku tidak familiar dengan kawasan ini, ke minimarketlah aku menuju. Rupanya semua peserta memang memilih untuk berangkat bersama dari titik ini.
Ada 10 orang, termasuk Kang Gan Gan. Awalnya rada was-was juga kalau pesertanya semuanya anak muda. Eh, ternyata tidak. Bahkan ada dua orang yang jauh lebih senior. Tenang, deh, hehe. Barangkali buat dua bapak ini, perjalanan seperti ini untuk mengisi masa pensiun. Ada pula ibu rumah tangga yang bergabung. Usianya di bawahku. Tapi bisa kupastikan kalau mereka juga ingin mendapatkan sesuatu yang berbeda dari alam. Atau itu cara mereka sekadar mengusir kebosanan, seperti kawan Mom blogger yang juga punya caranya sendiri.
Agenda sedikit mundur dari yang direncanakan. Dalam rundown, perjalanan naik diagendakan pukul 8 pagi. Ternyata pukul 8 kurang sedikit, peserta baru terkumpul lengkap di titik pertama. Maka begitu semua siap, tak menunggu waktu lama, langsung berangkat.
Di jalur mendaki Gunung Putri ini mudah. Entah tahun berapa mulai dibangun. Tak lagi berupa tanah biasa melainkan dibuatkan tangga semen. Setelah anak tangga ke sekian, perjalanan berlanjut ke tanah biasa, hingga pada titik pemberhentian pertama. Kisaran 20 menit dari area parkir dengan kecepatan sedang. Area kami berhenti ini dimanfaatkan pengunjung untuk berkemah. Padahal jelas tertulis larangan untuk berkemah. Entah, siapa yang seharusnya menjaga aturan tersebut diikuti.
Di titik ini Kang Gan Gan membentangkan banner berisi penjelasan tentang sesar Lembang. Sesar Lembang menjadi latar belakangnya.
Baca juga: Sebuah Perjalanan ke Bali Dwipa
Secara morfologi, sesar Lembang membentuk perbukitan memanjang dari timur ke barat. Sisi timur dimulai dari puncak Gunung Palasari sebagai titik tertinggi, membentang hingga jelang Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, yakni di wilayah Ngamprah dan Cimahi. Bentangan sejauh 29 km ini terbagi dua, patahan segmen barat dan patahan segmen timur.
Sesar Lembang terbentuk tidak secara bersamaan. Pada patahan segmen timur terbentuk sekitar 180.000-200.000 tahun. Terjadi bersamaan dengan peristiwa letusan Gunung Api Sunda Purba. Sedangkan pada segmen barat terbentuk lebih muda, kisaran 50.000-60.000 tahun yang lalu, kemungkinan bersamaan dengan letusan Tangkubanparahu.
Ada sejumlah infrastruktur penting yang berada di jalur patahan Lembang ini, di antaranya Observatorium Bosscha, Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara (Seskoau), Sespim Polri, dan Pusdik Kowad. Pada sisi barat ada Sekolah Polisi Negara (SPN) dan sejumlah kawasan bisnis wisata.
Isu soal gempa megathrust tak luput jadi pertanyaan peserta. Isu ini belakangan sedang ramai dibicarakan, terutama pasca terjadinya gempa dahsyat berkekuatan 7,1 Skala Richter (SR) yang terjadi di Pulau Kyushu, Jepang, pada 8 Agustus lalu. Di Indonesia, dua lokasi disebut-sebut sebagai zona yang berpotensi mengalami gempa ini, yakni Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut. Istilah dari BMKG: tinggal menunggu waktu.
Baca juga: Menjelajahi Taman Hutan Raya Juanda
Bagi masyarakat tanah Sunda, soal megatrust ini juga dikait-kaitkan dengan Sesar Lembang. Karena jika seluruh segmen bergerak berbarengan, tak terkecuali sesar Lembang yang tersentil, dapat mengakibatkan gempa bumi berkekuatan hingga tujuh magnitudo. Menurut perkiraan, jika suatu saat terjadi pergerakan pada sesar ini, diperkirakan hampir 10 juta penduduk bakal terancam. Penduduk yang ada di Lembang maupun di cekungan Bandung.
Tapi menurut Kang Gan Gan, megatrust sebagai semata pengalihan isu politik. Bahwa memang betul kemungkinan megatrust itu ada. Hanya tidak diketahui kapannya. Upaya untuk mencegah dampaknya dan cara menghadapinya saja yang bisa dilakukan. Saat ini pun gempa-gempa kecil terus terjadi, sebagai pelepasan energinya. Justru jika tidak terjadi gempa-gempa kecil perlu harus khawatir. Karena tidak ada gempa yang terukur.
"Saya mah selagi para para pakar geologi masih anteng-anteng tinggal di Bandung, santai saja. Kan mereka mengikuti terus perkembangannya. Kalau kondisi sudah bahaya, pasti yang mereka pikirkan pertama adalah keluarganya. Paling tidak akan sementara meninggalkan Bandung." Begitu alasan Kang Gan Gan. Hmm, iya juga, ya? Make sense.
Dari titik henti pertama, perjalanan dilanjutkan langsung menuju puncak.
Gunung Putri Lembang memiliki ketinggian 1.587 mdpl. Persis pada puncak gunung ini berdiri tugu. Namanya Tugu SESPIM Polri. Sampai di titik ini dibutuhkan sekitar 30 menit perjalanan dari titik pertama.
Baca juga: Berkunjung ke Kota ATLAS
Mitos di Seputaran Sesar Lembang
Kawasan Lembang dan sekitarnya dipenuhi aneka mitos. Atau persisnya kawasan Cekungan Bandung.
Tak lain mitos itu melekat dengan kisah legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Bukan hanya Tangkubanparahu, legenda ini berkembang biak ke dalam aneka cerita. Sebagian dibagikan ceritanya oleh Kang Gan Gan saat jeda ngopi, sekitar setengah jam turun dari puncak. Di antaranya tentang bunga jaksi.
Sebelum kisah tentang si bunga, kita lanjutkan perjalanan dulu. Titik pemberhentian berikutnya adalah warung makan Bu Eti (semoga aku tak salah ingat). Butuh waktu cukup panjang untuk sampai titik buat makan siang ini.
Sebelum sampai tempat makan, titik pemberhentian adalah benteng Belanda. Benteng ini diperkirakan dibangun pada awal 1900-an, untuk kebutuhan pertahanan Belanda pada masa itu. Tempat yang seru buat ambil gambar. Sayangnya ada banyak coretan, ulah orang-orang iseng.
Puas ambil gambar dan sejenak jeda, perjalanan pun berlanjut ke tempat yang sangat ditunggu. Karena waktunya makan! Pilihan menu di warung Bu Eti sederhana, tapi luar biasa nikmat. Aku bukan pemakai kata luar biasa. Tapi kok rasanya ini jadi kata yang pas setelah melakukan perjalanan yang cukup bikin lelah. Apalagi makannya di bawah saung, di tengah hutan pinus.
Baca juga: Menjajal Trans Metro Pasundan
Jadi, bagaimana kisah si bunga legenda tadi?
Alkisah, Nyai Dayang Sumbi yang setengah putus asa karena ingin dinikahi putranya sendiri, lari ke arah sebuah gunung. Di belakangnya, Sangkuriang mengejarnya dalam langkah yang lebih lebar. Jarak semakin dekat. Dalam kekalutannya, Dayang Sumbi memohon kepada Sang Penguasa Semesta untuk menyelamatkannya dari nafsu Sangkuriang. Petunjuk pun datang. Dayang Sumbi dituntun menuju rimbunnya hutan. Dan berubahlah ia menjadi satu tanaman yang kemudian dikenal sebagai bunga jaksi.
Meski mengerahkan segala kesaktiannya, Sangkuriang tak berhasil menemukan Sang Putri. Ketajaman nalurinya menunjukkan kalau Dayang Sumbi menuju gunung tersebut, namun bahkan ia tak menjumpai jejaknya. Ia pun berlari menuju ke arah timur. Gunung yang menaungi Sang Putri pun kemudian dinamai Gunung Putri.
Selain Gunung Putri, cerita legenda Sangkuriang-Dayang Sumbi juga dikaitkan dengan kawasan dan gunung lain di Cekungan Bandung.
Sementara terkait bunga jaksi sendiri, konon yang ada di Gunung Putri ini menjadi satu-satunya. Belum ditemukan di daerah lain.
Sekilas bentuknya mirip pandan hutan atau pandan pantai. Ada yang menyebutkan mirip dengan pohon cangkuang. Tapi jika diperhatikan lebih detail, ada perbedaan pada bentuk dan panjang daun, serta batangnya.
Baca juga perjalanan ke Baduy:
Pohon jaksi ini ada di jalur setelah meninggalkan warung makan Bu Eti. Setelah meninggalkan warung Bu Eti, kami agak kesulitan menemukan si pohon legenda. Kang Gan Gan bilang kemungkinan terlewat. Yang penasaran boleh ikut kembali ke arah sebelumnya. Yang tidak ingin, diminta tunggu. Tentu saja aku termasuk yang penasaran. Akhirnya bisa berfoto dengan Sang Putri besama beberapa anggota rombongan. Pohonnya sedang kusut, kurus dan mengering. Semoga bisa tumbuh segar lagi.
Meninggalkan warung, dengan perut terisi, energi kembali penuh untuk melanjutkan perjalanan. Tapi kali ini untuk pulang. Yup, bunga jakti menjadi titik akhir perjalanan. Kami tiba di area parkir pada pukul 14 lewat sedikit. Tak terlalu jauh dari yang diperkirakan.
Perjalanan yang seru dan menarik. Buat yang ingin bergabung dengan Geowana, bisa cek akun IG-nya: geowana_ecotourism, untuk berkenalan dengan Sesar Lembang maupun perjalanan lainnya. Atau sekadar untuk menikmati alam. Buatku ini perjalanan pertama setelah aku menantang diri untuk terus menjaga tubuh tetap bugar mesti sudah memasuki usia emas.
Yuk, kita jalan-jalan berjumpa dengan alam. Semoga terus terjaga kesehatan. Namaste.
No comments