Mengapa Perselingkuhan Terjadi?

Ini pertanyaan klise, bukan? Tapi nyatanya ini pertanyaan yang terus mengemuka dari waktu ke waktu. Dalam beberapa hari ini aku dihadapkan pada cerita tentang dua kawan yang mengalami masalah dalam rumah tangganya. Yang seorang sudah mengakhiri pernikahannya, seorang lagi sedang dalam proses perceraian. Salah satu penyebabnya adalah perselingkuhan. Mengapa "salah satu"? Karena dalam banyak kasus, perselingkuhan bukanlah penyebab tunggal. Jadi, mengapa perselingkuhan bisa terjadi? 



Baca juga: Menemukan Makna Hidup dari Viktor E Frankl

Perihal perselingkuhan menjadi topik yang tak akan habis dibahas. Kasusnya banyak kita temukan di sekitar, bahkan di antara kita barangkali adalah "korban" atau sebaliknya, "pelaku". Tetap, aku perlu membubuhkan tanda petik karena alasan-alasannya bisa jadi masih perlu diperdebatkan. Saking mudahnya menemukan kasus perselingkuhan, ada diskusi yang menyebutkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan mengakui pernah menjalani hubungan selain dengan pasangan (sah) mereka. Besarannya mencapai lebih dari 31 persen untuk laki-laki dan 20 persen untuk perempuan; dalam rentang usia antara 40 hingga 50 tahun. Sesungguhnya, apa sebab terjadinya perselingkuhan? 


Kapan Sebuah Hubungan Disebut Terjadi Perselingkuhan?

Belakangan aku banyak bermain di media sosial X. Bahasan soal perselingkuhan ini kerap sekali muncul. Terutama dari komunitas tertentu. Sebagian besarnya berkisah tentang perselingkuhan yang terjadi dalam hubungan pacaran. Pertanyaannya, apakah saat dalam hubungan pacaran, ketidaksetiaan terhadap pasangan sudah bisa disebut perselingkuhan? Bukankah masa berpacaran adalah proses pencarian, dan wajar saja mereka berproses sekaligus dengan beberapa orang? Tak sedikit yang menyebutkan bahwa yang namanya selingkuh, ya, bisa terjadi dalam berbagai bentuk hubungan. Bukan soal telah disahkan oleh lembaga pernikahan dengan legitimasi dari negara atau tidak. 

Aku sendiri lebih cenderung sepakat dengan pemahaman bahwa istilah selingkuh bisa diterapkan dalam berbagai hubungan. Apalagi jika melihat kondisi akhir-akhir ini, ketika orang tak lagi mensakralkan perjanjian pernikahan oleh lembaga negara atau agama. Bukan dengan maksud hidup suka-suka, melainkan lebih percaya pada komitmen dengan pasangan. Tentu saja jika pasangan berada di sumpah pernikahan, konsekuensinya bakal lebih rumit. 

Sebelumnya, sebagai disclaimer, catatan ini semata pertimbanganku yang pernah akrab dengan lingkungan yang dipenuhi perselingkuhan, pernah menjadi korban, pernah pula mengiyakan begitu saja untuk berelasi dengan orang yang sudah berpasangan. 

Baca juga: Mengelola Pikiran Agar Terhindar dari Stres Berlebihan


Penyebab terjadinya perselingkuhan:

1. Perasaan diabaikan. Adalah hal yang manusiawi ketika seseorang merasa diabaikan, merasa tak lagi punya nilai di mata pasangannya, ia akan mencari perhatian dari orang lain. Ini dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. 

2. Keinginan membalas dendam. Hal ini terjadi jika sudah ada pemicu peristiwa sebelumnya. Apakah peristiwa itu terkait dengan perselingkuhan, atau hal lain. Penyebabnya soal lain, namun pembalasan yang dilakukan hanya bisa berupa perselingkuhan, maka itulah yang dipilih. Perasaan dikhianati dan disakiti itu memunculkan keinginan membalas dendam.

3. Kebutuhan seksual yang tak terpenuhi. Ada dua kemungkinan. Secara nyata memang pasangan menolak melakukan hubungan seksual, atau semata tidak puas. Dua hal yang sama-sama bisa didiskusikan untuk mencari jalan keluar. 

4. Hilangnya chemistry. Manusia berubah, perasaan berubah. Orang membutuhkan sensasi "letupan emosi" seperti kali pertama jatuh cinta. Lalu pencariannya bukan kembali ke dalam diri pasangan melainkan keluar. 

5. Komitmen yang rendah. Harus diakui tak semua hubungan berpasangan, bahkan menikah sekalipun dilandasi dengan komitmen yang serius. Bisa jadi hanya sebagai syarat. Maka, soal perselingkuhan pun bukanlah pasal kesalahan yang serius. 

6. Terjebak dalam kondisi tak biasa. Kondisi tak biasa itu misalnya berada dalam kesibukan yang memunculkan ketegangan sehingga membutuhkan pelepasan. Ini sering kali kaitannya dengan aktivitas seksual. Hasilnya bisa jadi sekadar peristiwa selewat, atau berlanjut menjadi sebuah peristiwa perselingkuhan yang melibatkan perasaan yang lebih dalam. 

7. Perasaan rendah diri. Hal semacam ini banyak kita jumpai kasusnya pada orang-orang dengan trauma. Mencari pelarian atas rasa tak percaya dirinya melalui hubungan (seksual) dengan banyak orang.

8. Keingin mencari variasi alias memang "penyakit". Orang yang ada di golongan ini adalah mereka yang memang ingin mendulang banyak pengalaman dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan materiil maupun keinginan seksual.

Baca juga: Kesehatan Mental dan Skala Hawkins


Yang Bisa dan Tidak Bisa Dihindari

Terlalu naif jika kita mengharapkan akan menjumpai pasangan kita sebagai orang yang sama persis dengan yang kita jumpai pertama kali. Dalam perjalanan waktu pastinya akan terjadi banyak perubahan. Intensitas pertemuan dan komunikasi di antara pasangan akan memberikan kontribusi bagi masing-masing untuk berubah. Maka, apa penyebab perselingkuhan bukan hal yang penting lagi. Yang lebih penting tentu saja adalah bagaimana menerima segala bentuk perubahan dari masing-masing pribadi yang berpasangan dan menjadikannya tetap selaras. Karena jika tidak, barangkali tak ada lagi yang bisa diselamatkan.

Jadi, apa yang masih bisa dihindari dari kemungkinan terjadinya perselingkuhan?

Buatku yang utama adalah persoalan komunikasi. 

Aku pernah berjumpa dengan kawan lelaki yang pada suatu masa menceritakan kehidupan pribadinya. Ia mengaku tak mendapatkan kepuasan dari hubungan seks dengan istrinya. Seperti ada yang kurang.

Kutanya,"Apakah istrimu merasakan kepuasan?"

Dan jawabannya membuatku takjub karena dia bahkan tidak tahu apakah istrinya mengalami kepuasan secara seksual atau tidak. Aku tidak tahu juga, tidak menanyakan lebih jauh, apakah memang ada anggapan dari budaya atau ajaran agama yang tidak membolehkan pasangan membahas hal semacam itu. 

Tapi kasus di atas bisa menjadi salah satu contoh betapa suatu hal dianggap sebagai masalah secara sepihak, tapi tidak upaya untuk membahasnya bersama pasangan. Begitu pun pada kasus-kasus lain, aku cukup meyakini bahwa komunikasi memegang peran yang sangat penting. Tentu saja kehendak untuk meluruskan asumsi atau menyelesaikan masalah harus datang dari kedua belah pihak. 

Baca juga: Body Process, Upaya Membebaskan Diri dari Depresi


Dari 8 poin di atas, apakah semuanya bisa diselesaikan melalui komunikasi yang baik. Kalau dalam pertimbanganku, "iya", KECUALI nomor 8. 

Aku pernah berhadapan dengan orang-orang yang memang betul-betul menjadikan seks sebagai petualangan. Mereka ini akan selalu mencari celah untuk berselingkuh. Tidak ada soal afeksi dalam hubungan tersebut. 

Jadi, sekali lagi, menurutku hanya poin 8 saja yang tak akan berhasil dengan upaya apa pun. Anggap "selesai" saja, tinggalkan, lupakan. 

Tujuh poin yang lain masih sangat mungkin dibicarakan. Jika memungkinkan, cukup selesaikan berdua saja. Sayangnya tak semua orang mahir dalam mengeluarkan apa yang ada di pikiran. Kalau itu yang terjadi, dapat melibatkan pihak ketiga. Apakah orang tersebut adalah kawan, keluarga, atau profesional. Mungkin kamu membutuhkan saran dari psikolog atau konsultan pernikahan. 

Perasaan manusia dapat berubah. Komitmen tidak. Selagi komitmen untuk menjalani hubungan sebagai pasangan masih datang dari kedua pihak, hubungan masih dapat dipertahankan. Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika segala upaya di atas tidak menemukan hasil? Barangkali memang sudah saatnya untuk berserah. Berserah, bukan menyerah, ya.

Dalam konteks ini, dalam pemahamanku, kondisinya sudah betul-betul di luar kendali kita. Apa pun yang kalian percayai. Apakah menganggap itu sebagai kehendak Ilahi. Atau sebagai takdir. Atau bagian dari karma. Hanya akan menemukan jalan buntu jika kita bersikukuh untuk menyelesaikan hal yang memang di luar kendali kita. Solusinya cuma satu: menyerahkan kepada Semesta, atau apa pun entitas yang kalian percayai sebagai sosok yang berkuasa atas hidup manusia. Tak akan mudah, tapi, cobalah. Tinggalkan yang sudah berlalu, rangkullah masa depan. Namaste.

Baca juga: Body Process, Upaya Membebaskan Diri dari Depresi

NB: Lalu, apa yang terjadi ketika banyak perempuan terjebak dalam perselingkuhan yang sebetulnya tidak diinginkan? Lain waktu mungkin aku akan menuliskannya.

No comments