Ini adalah perjalanan lain yang tertunda sekian lama. Sebetulnya belum terencana, sih, baru sebatas keinginan. Dan itu terjadi jauh sebelum kehebohan yang terjadi akibat pemberitaan di media massa terkait aneka temuan mereka yang mengaku peneliti. Ya, pada suatu masa Gunung Padang menjadi isu seksi. Setelah kehebohan tersebut mereda, malah datang kesempatan itu. Perjalanan ke gunung yang terletak di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti ini merupakan perjalanan keduaku bersama komunitas trip, Geowana.
Baca juga: Melihat Sesar Lembang dari Dekat, Usia Bukan Halangan
Gunung Padang ada di pusaran kontroversi dalam beberapa tahun terakhir. Tak lain karena situs Megalitikum di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ini disebut-sebut sebagai sebuah piramida raksasa yang umurnya lebih tua dari bangunan serupa di Mesir dan Peru. Sebelumnya, oleh warga setempat situs Gunung Padang dikeramatkan dan dianggap sebagai petilasan Prabu Siliwangi, raja di tanah Sunda.
Gunung Padang dalam Perdebatan
Tercatat dalam beberapa referensi, Gunung Padang ditemukan pada 1914 Oleg N.J. Krom. Ia lalu menuliskannya dalam bentuk laporan di Rapporten Oudheidkundige Dienst. Ia tidak menyebutkan Gunung Padang sebagai nama dari situs tersebut. N. J. Krom hanya mengatakan bahwa ia menemukan situs baru berlokasi tak jauh dari Gunung Melati.
Namun berhubung tidak ada penelitian lanjutan, situs ini pun kembali ditutupi tanaman liar. Situs dilaporkan kembali penemuannya pada 1979. Tiga warga setempat (Endi, Soma, dan Abidin) yang tanpa sengaja menemukan situs tersebut melaporkan apa yang mereka temukan ke Kepala Seksi Kebudayaan Kabupaten Cianjur. Sejumlah penelitian pun mulai dilakukan.
Situs Gunung Padang menjadi pembahasan hangat pada 2023 lalu. Awalnya adalah Danny Hilman Natawidjaja dan timnya yang melakukan penelitian terhadap situs Gunung Padang pada kurun 2011--2014. Dari penelitian itu mereka menyebutkan adanya empat lapisan di Gunung Padang yang masing-masing dibangun pada masa yang berbeda. Lapisan terdalam yang ditemukan berupa inti lava yang mengeras dan telah dipahat. Lapisan berikutnya adalah susunan batu bata dengan penanggalan karbon. Materialnya berupa tanah yang terdapat di sela bebatuan hasil pengeboran lapisan inti.
Baca juga: Berkunjung ke Kota ATLAS
Berdasarkan temuan tersebut, Natawidjaja menyebutkan bahwa material bebatuan di situs Gunung Padang itu dipahat oleh manusia pada sekitar 27.000 tahun lalu atau sebelum berlangsungnya Zaman Es. Klaim itu dituliskan dalam Jurnal Archaeological Prospection pada Oktober 2023.
Perkiraan waktu yang dipaparkan oleh Natawidjaja dan tim ini mendapat sorotan internasional. Dengan penanggalan tersebut artinya usia Gunung Padang berarti lebih tua dari situs piramida di Mesir. Dalam tayangan detik dot com (24 Desember 2024), mengutip New York Times, kritik menyebutkan bahwa dalam penelitian tersebut penentuan waktu terkait keberadaan manusia di Gunung Padang didasarkan pada pengukuran radiokarbon tanah dari sampel pengeboran. Seharusnya dari artefak.
Setelah banyaknya kritik yang muncul dari studi yang diterbitkan jurnal tersebut, editor akhirnya melakukan koreksi. Ia mengakui adanya kesalahan dalam penerbitan makalah studi.
Sementara itu, arkeolog asal Jawa Barat, Dr. Lutfi Yondri menyebutkan bahwa Gunung Padang merupakan punden berundak, dengan penanggalan karbon antara 117 SM-45 SM.
Punden berundak dikenal sebagai peninggalan zaman Megalitikum. Namun sesungguhnya struktur ini sudah ada sejak masa bercocok tanam. Nah, era Megalitikum merupakan puncak perkembangannya. Masyarakat prasejarah menganggap punden berundak sebagai simbol persemayaman roh leluhur yang memberikan berkah berupa kesuburan, ketenteraman, dan kesejahteraan. Pundan berundak ini dianggap sebagai gunung suci. Dalam perkembangannya, struktur ini berakulturasi dengan budaya Hindu, Buddha, atau akulturasi keduanya, yang jejaknya dapat kita lihat pada candi-candi yang mengerucut ke atas, seperti Borobudur. Ini pulalah yang ditemukan di situs Gunung Padang. Diawali dari bagian paling rendah, lalu berlanjut ke bagian yang paling tinggi.
Baca juga perjalanan ke Baduy:
Melihat Gunung Padang dari Dekat
Akhirnya waktunya tiba. Hari Sabtu, 5 Oktober 2024. Pagi-pagi aku melajukan Beaty ke meeting point, lokasi keberangkatan mobil di Komplek Perumahan Margahayu Raya atau Metro. Dari situ menuju ke beberapa titik jemput peserta lain yang disepakati. Perjalanan menuju situs di Desa Karyamukti, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ini memakan waktu hampir 3 jam. Dengan jarak 110 km mestinya bisa ditempuh dengan waktu lebih cepat. Barangkali akibat beberapa titik kemacetan.
Tiba di lokasi, rombongan kami yang terdiri dari 13 orang termasuk Kang Gangan sebagai pemandu Geowana, segera bersiap mengelanai area.
Seperti yang dicatatkan Dr. Yondri dalam bukunya yang bertajuk "Situs Gunung Padang: Kebudayaan, Manusia, dan Lingkungan", berdasarkan posisinya, Gunung Padang dibagi menjadi tiga, yakni:
Bagian paling rendah yang disebut juga sebagai sumur. Struktur sumur ini berupa susunan bongkahan batu kolom andesit dalam posisi melingkungi sumber atau mata air). Sempatkan untuk mampir di mata air yang jernih ini, sekadar mencicipi airnya maupun untuk cuci muka. Adem.
Baca juga: Wisata Kuliner dan Religi di Bali, 2024
Bagian tangga utama, sebagai bagian yang menghubungkan sumur dengan teras pertama atau teras I. Ada sekitar 450 anak tangga yang harus dilewati. Itu jalur tangga landai. Jadi ada 2 jalur, sebelah kiri jalur curam, sebelah kanan jalur yang relatif lebih aman. Aku memilih jalur curam. Selain kondisinya lebih menantang, juga mempercepat waktu tempuh.
Bagian paling rendah dan tangga utama sudah terlewati. Berikutnya adalah bagian teras.
Begitu tiba di teras ini, terlihat hamparan susunan batu kolom berusia ribuan tahun itu. Bebatuan berjenis andesit basaltis ini berwarna abu gelap, dalam ukuran yang bervariasi. Posisinya pun berbeda-beda. Ada yang tegak berdiri, ada yang rebah. Pemandu mengingatkan agar kami tidak menduduki batu yang dalam posisi tegak karena batu-batu tersebut memiliki fungsi sakral.
Situs Gunung Padang terdiri dari lima teras yang membujur utara-selatan. Kelima teras ini dibedakan dengan ketinggian. terletak dengan orientasi utara-selatan.
Tiap teras memiliki keunikannya masing-masing. Misalnya di teras pertama terdapat beberapa bebatuan yang khas, seperti batu untuk persembahan dan batu yang dapat mengeluarkan musik. Bunyinya bonang atau saron dalam gamelan Jawa. Di teras kedua terdapat pohon tinggi menjulang.
Saat kedatangan kami, ada satu keluarga kecil yang tengah mengaras doa di area sekitar bawah pohon yang dibentuk seperti ruang khusus doa. Tentunya ruang terbuka. Entah mereka mendaraskan doa dalam bahasa apa. Dari penuturan pemandu lokal, banyak memang yang datang ke situs ini untuk berdoa. Mereka datang dari latar belakang agama dan kepercayaan yang berbeda-beda.
Pada teras ketiga terdapat batu harimau. Bukan batunya berbentuk harimau, melainkan di salah satu batu terdapat jejak seperti tapak kaki harimau. Di masa lalu konon batu tersebut dijadikan tempat semedi atau meditasi.
Baca juga: Pengalaman Melukat di Tirta Empul
Yang terlihat lebih jelas sebagai tempat semedi ada di teras kelima atau terakhir. Saat kunjunganku ini terlihat beberapa orang juga secara bergantian memanfaatkan susunan batu ini sebagai tempat meditasi.
Setelah melewati teras penghujung, kami mlipir ke saung di sisi kanan situs. Makanan yang sudah kami pesan sebelumnya sudah disiapkan. Menu khas Sunda nikmat meski sambalnya kurang pedas.
Tuntas dengan asupan sumber energi tubuh, kami kembali menjelajahi area situs yang terlewat. Tentu saja sekali mengambil foto bersama.
Suatu kali nanti ingin kembali ke sini. Mungkin sendiri, atau dengan kelompok yang lebih kecil. Sekalian ingin berkunjung ke stasiun kereta lama dan air terjun yang tak keburu kami datangi kemarin. Atau nanti coba cek dulu catatan Rani R Tyas's Journal yang punya cara membuat itenary liburan yang efektif.
Btw, di awal 2025 ini muncul pemberitaan terkait kepentingan pemerintah yang akan melakukan peninjauan ulang atas penelitian yang sudah-sudah, dan ada kemungkinan untuk melakukan penelitian lanjutan. Hmmm, bakal ramai lagi sepertinya.
Baca juga:
No comments