Memasuki bulan Desember nuansa Natal dengan mudah kita temukan di berbagai tempat. Bukan hanya lokasi, namun juga berbagai program hiburan. Di masa lalu, entah sampai tahun berapa, Home Alone tak henti-hentinya diputar di berbagai stasiun televisi. Banyak orang bahkan sampai terkaget-kaget ketika Macaulay Culkin sudah menikah. Dalam pikiran mereka Culkin masih sosok bocah seperti di film tersebut. Film bertema Natal lainnya ikut melengkapi. Bisa jadi termasuk yang baru kutonton hari ini, Noel (2004). Film yang membuatku bertanya: betulkah orang merasakan kesepian karena harus merayakan Natal sendirian?
Aku tak sengaja menemukan film ini saat mencari klip lagu. Iseng aja diklik. Karena kalau lihat pemerannya, oke. Ada Susan Sarandon, Penelope Cruz, dan sosok yang kukangeni, Robin Williams. Nama Robin tidak tercantum, karena kemunculannya yang memang sebentar. Atau entah atas pertimbangan apa, mengingat nama besarnya. Tapi aku seneng aja. Dan seperti halnya film-film bertema Natal lainnya, Noel memiliki alur cerita yang sederhana. Memang dirancang sebagai film hiburan yang menemani libur akhir tahun.
Sinopsis
Film diawali dengan penampakan Rose (Susan Sarandon) yang kedua tangannya sibuk dengan tas belanjaan berjalan membelah keramaian kota. Seorang kenalan mencegatnya. Basa-basi ini dan itu. Dari ekspresinya, kelihatan sekali kalau Rose tengah berbohong. Dia menceritakan tentang suami dan anak kembarnya. Kebohongan itu kemudian ditunjukkan melalui adegan berikutnya, Rose yang menemui ibunya, seorang pasien alzheimer.
Berbarengan dengan Rose, ditampilkan juga sosok lain yang menjadi bagian cerita, yakni pasangan Nina (Penelope Cruz) - Mike (Paul Walker) dan Jules (Marcus Thomas).
Tiga bagian penceritaan ini mewakili mereka yang memiliki masalah yang berujung pada nuansa kesendirian dan kesepian pada malam Natal. Perayaan ini seolah dianggap sebagai momentum bahagia yang harus dilewati semua orang. Kesedihan tak mendapatkan ruang di malam Natal. Lebih kurang tema Natal memang mengisahkan tentang hal tersebut.
Baca juga: Eastern Promises, Film tentang Mafia Rusia
Rose adalah seorang editor buku yang berhasil. Namun rumah tangganya gagal. Selain pekerjaan, urusan utamanya adalah merawat ibunya. Seorang staf di gedung yang sama menaruh perhatian kepada Rose. Namanya Marco. Sekretaris Rose paling getol menjodohkannya dengan pemuda itu. "You need sex. Good sex!" Begitu ujar sang sekretaris. Tentu saja Rose menolak. Tak ada dalam bayangannya untuk berkencan dengan brondong. Namun ketika suatu kali Marco mengajaknya berkencan, Rose tidak mengelak. Sayangnya, seperti yang ia duga sebelumnya, kencan itu gagal. Kegagalan yang membawa Rose pada kesimpulan bahwa bukan itu yang ia cari.
Kemunculan Nina, pada kali pertama membuatku berpikir tentang pertemuan dua orang dari antah berantah yang saling jatuh cinta, accidentally in love. Ternyata tidak. Mike, polisi yang membuntutinya dan menggodanya ternyata memang kekasihnya. Semacam becandaan ala mereka. Pokok persoalannya adalah Mike yang posesif dan pencemburu berat. Berulangkali Nina merasa mengalami kebuntuan dalam hubungan mereka. Meski ia sangat mencintai Mike dan ingin memiliki anak bersama Mike, ia juga satu sosok yang ingin bebas. Hal yang sulit ia peroleh dalam hubungannya dengan Mike.
Ketika sedang berkonflik dengan Mike, dan Nina memilih pergi, terjadi perjumpaan tak sengaja antara Nina dengan Rose. Mendadak, begitu saja, Rose nyasar di rumah keluarga Nina. Kejadian yang berangkat dari salah pengertian dan nyaris membuat Rose makin menciut dalam kesepiannya pada jelang Natal pada kahirnya berakhir baik. Nina mengajak Rose untuk nonkrong berdua. Perbincangan mereka membuahkan perspektif baru bagi Nina yang pengalamannya masih lebih muda.
Baca juga: The Swordman, Adu Akting Joe Taslim dan Jang Hyuk
Hal menarik adalah perjumpaan Rose dengan Charlie (Robin Williams). Perjumpaan yang juga tanpa sengaja, yang terjadi di rumah sakit itu memberikan kesan tersendiri. Rose yang tengah kehilangan pegangan, berdiri di tepi sungai. Charlie mengajak Rose menepi. Tentu saja Rose yang keras kepala pada awalnya menentang. Namun akhirnya mereka melewatkan malam yang menyenangkan di apartemen Rose. Tanpa disertai romansa. Sayangnya di akhir pertemuan itu malah diisi pertengkaran.
Sosok terakhir, Jules adalah orang dengan trauma. Dia mencari alasan untuk mendapatkan perhatian orang. Tak tanggung-tanggung, dia dengan sengaja minta seseorang untuk mematahkan lengannya. Dan malam Natal-nya berakhir di IGD rumah sakit.
Ah, ya, ada bagian cerita lain yang juga unik. Yakni sosok Artie Venizelos (Alan Arkin) yang meyakini Mike sebagai penjelmaan dari istrinya yang meninggal dunia.
Kisah masing-masing tokoh ini berkelindan satu sama lain. Meski tak semuanya berjalan dengan baik, tapi pada akhirnya berujung pada kegembiraan yang lain. Setiap tokoh menemukan pembelajarannya untuk kemudian membuat komitmen baru untuk hari-hari ke depan yang lebih baik. Klise, sih, tapi barangkali hidup memang sesederhana itu. Kita saja yang berharap ada banyak drama dalam film yang kita tonton, hehe.
Baca juga: Jalan Jauh, Jangan Lupa Pulang, Sekuel NKCTHI
Film Natal yang Menghangatkan
Meski IMDb hanya memberi poin 6,1 dari skala 10, namun cukup banyak orang yang merekomendasikan film ini untuk menjadi hiburan di akhir tahun. Kurasa ya karena film ini tak membuat orang mesti berpikir keras. Semua pemain menjalankan perannya dengan baik sehingga secara keseluruhan film ini hadir sebagai tontonan yang menjawab kebutuhan mereka yang butuh hiburan ringan.
Susan Sarandon nama yang bisa menjadi jaminan. Aku sendiri tak mengidolakannya, tak pula banyak nonton filmnya. Tapi rasa-rasanya, dari sejumlah filmnya yang kutonton, asyik-asyik aja. Tak ada yang kunilai buruk. Penelope Cruz aku malah nyaris tak pernah menonton filmnya. Tapi permainan fine-fine aja. Dan cantik, yang jelas. Sepadan dengan Paul Walker. Yang aku nggak cukup sreg mungkin Marcus Thomas. Entah apa karena aku merasa peran Marcus di sini terasa sekadar tempelan atau memang pemeranannya tak cukup ciamik. Yang cukup unik dan mengejutkan adalah hadirnya Charlie yang seolah ada selipan cerita metafisik.
Baca juga: Midnight in Paris, Komedi Fantasi Keren ala Woody Allen
Bagaimanapun film-film seperti ini cukup dibutuhkan. Tentang bagaimana perasaan kesepian menyerang manusia. Tentang trauma masa kecil yang terus mendera jika tak diselesaikan; ujungnya tak mampu menjadikan diri sebagai sosok yang cukup berharga, kehilangan eksistensi diri, dll. Di sisi lain, juga tentang bagaimana manusia tetap menjalankan fungsinya sebagai makhluk yang dengan akal budinya bisa mendorong orang lain untuk bisa hadir dengan lebih baik.
Suasana Natal yang meriah penuh kerlip khas Hollywoood juga menjadi tampilan yang menyenangkan film yang sebagian besar lokasi pengambilan gambarnya dilakukan di Montreal, Quebec, Kanada ini. Noel, film Natal rilisan tahun 2004 ini ditulis oleh David Hubbard dan disutradarai oleh Chazz Palminteri.
Sejauh ini sih rasanya aku belum menemukan film tentang hari raya yang menampilkan kisah yang sama sekali berbeda. Sebagian besar mencakup topik yang senada terkait perubahan sikap dan cara pandang terhadap satu masalah. Bukan hanya Natal, tapi juga di film dengan latar Idul Fitri khas Indonesia. Atau tentang Imlek di drama China. Dan perayaan keagamaan di berbagai belahan dunia. Tapi tetap saja, sebagai sebuah tontonan, film Natal lama ini masih layak dijadikan pilihan.
Baca juga: Honest Thief, Saat Aktor Gaek Asik Beraksi
No comments