Trauma Bonding, Luka yang Sering Disangka Cinta

Barangkali tak cuma sekali dua kali kita menyaksikan orang-orang dekat, baik kenalan atau keluarga yang berada dalam hubungan yang tidak sehat tapi terus berjalan. Kemungkinan besar tengah berlangsung trauma bonding di dalam relasi tersebut. Salah satu pihak menyadari bahwa tengah berada dalam hubungan yang tidak sehat namun sulit untuk lepas atau mengakhiri. Pada setiap pertengkaran memang membuat sakit, namun pada kesempatan lain ada banyak momen manis dan terasa dipenuhi cinta sehingga membuat kembali mereka berharap. Demikian terjadi hingga berkali-kali. 


Baca juga: Berdamai dengan Inner Child

Coba lihat sekeliling, adakah teman-teman, keluarga, kenalan, yang mengalami trauma bonding ini. Bukan bermaksud ngepoin kehidupan orang lain, lo. Sekadar berjaga, karena bisa jadi suatu kali mereka membutuhkan pertolongan. Atau, jangan-jangan kamu sendiri yang tengah mengalaminya?


Apa itu Trauma Bonding?

Istilah trauma bonding muncul pertama kali pada 1997. Diperkenalkan oleh seorang terapis yang juga pakar kecanduan seksual, Dr. Patrick Carnes. Ia bekerja sebagai direktur klinik di The Meadows, Arizona dan sebagai direkstur eksekutif di Pine Grove Behavioral Center, Mississippi. Tentang trauma bond ini Carnes menulis dalam bukunya bertajuk The Betrayal Bond: Breaking Free of Exploitive Relationships. Ada ringkasan dalam bentuk pdf yang juga bisa didapatkan dengan mudah melalui internet.

Menurut Carnes, bond atau ikatan trauma ini merupakan akibat siklus kekerasan dan perilaku manis yang berlangsung lama dalam sebuah hubungan. Biasanya, setelah melakukan kekerasan, baik fisik maupun verbal terhadap korban, pelaku akan memanipulasi korban dengan sikap yang baik. Ada yang langsung menyatakan dalam pernyataan penyesalan, ada pula yang menggantinya dengan sikap yang manis. Keadaan akan kembali normal untuk beberapa lama, lantas kembali terjadi pola serupa. Keadaan ini awalnya terasa asing bagi korban, hingga kemudian merasa menikmati dan malah bergantung kepada pelaku. 

Baca juga: Empati dan Seni Berkomunikasi


Mengutip sequoiabehavioralhealth dot org, ada 7 tahapan dalam trauma bonding.

Love bombing

Tahap awal ini seperti permulaan relasi pada umumnya, dengan ragamnya masing-masing. Ada yang terasa seperti love at first sight, ada yang malu-malu, ada yang sudah langsung hangat. Tak terdeteksi adanya kemungkinan manipulasi dalam hubungan. Pelan tapi pasti, sejak awal ini seseorang akan melimpahi aneka hal menyenangkan, perhatian, ungkapan cinta, kasih sayang, hadiah, dsb.  

Disebutkan bahwa kasih sayang dan hadiah yang berlebihan perlu dicurigai dari awal. Tapi menurutku tak melulu berlebihan. Seorang yang manipulatif juga dapat melakukannya secara halus. 


Creating Trust and Dependency

Ketika hubungan mulai berjalan, pelaku akan mulai memasukkan wacana tentang masa depan. Rencana terkait pernikahan, anak, liburan yang menyenangkan, bisnis bersama, dan lain-lain, hal yang kira-kira diinginkan pasangan. 


Criticism

Bayangan akan stabilitas di masa depan membuat seseorang akan serus berpikir tentang hubungan jangka panjang. Siapa yang tak menginginkan? Tapi perkembangan berikutnya, perhatian mulai memudar. Love bombing mulai surut. Berbagai keluhan terhadap pasangan mulai dimunculkan. Berbagai aksi yang menyakiti mulai dirasakan oleh pasangan. Sayangnya si pasangan segera bisa menerima kembali ketika pelaku menyampaikan permintaan maaf dan biasanya dibarengi dengan pemberian hadiah dan pujian serta hal-hal menyenangkan lainnya. 


Gaslighting

Ini merupakan taktik manipulasi emosional yang bertujuan menjadikan korban meragukan dirinya sendiri. Saat pasangan sudah berhasil di-gaslight, yang terjadi adalah mereka seolah mentolerir perbuatan pelaku. Seolah yang yang dilakukan pelaku bukanlah hal yang salah. Tidak menyadari jika diri sedang diperlakukan tidak layak. Korban juga sering disudutkan pada posisi orang yang bersalah.


Resignation

Pada tahap ini, sudah tidak ada lagi komunikasi yang membangun. Jika ada komunikasi, hanya untuk menjaga keberlangsung hubungan sehari-hari. Persoalan-persoalan yang lebih penting dan membutuhkan penanganan tidak mendapatkan perhatian. Akibatnya apa-apa yang mestinya menjadi bahasan untuk kepentingan masa depan hubungan seolah menemui jalan buntu. Di titik ini pasangan mulai merasakan ada yang tidak beres, namun seolah tak memiliki energi untuk pergi. Selalu menemukan alasan untuk bertahan. Apakah itu kenangan indah, rasa iba, atau --kalau istilah temanku-- dorongan untuk menjadi pahlawan. Bertahan dan berharap pelaku akan "sembuh". 


Loss of Self

Ketidakmampuan untuk pergi menjadikan pasangan makin bisa menerima perlakuan buruk pelaku. Tak sadar ia telah membiarkan pelaku menguasai perasaan korban. Ia bahkan kehilangan kebutuhan dan keinginan dari dirinya sendiri. Yang ia lakukan adalah memenuhi apa yang diinginkan pelaku. Ia lupa dengan kondisi dirinya, kebahagiaannya, kesehatannya, harapan-harapannya. Ia pun menjauhkan diri dari orang-orang dekatnya. Di masa ini love bombing terus dijalankan oleh pelaku saat korban sedikit saja terlihat mulai protes. 


Emotional Addiction

Ini nyata adanya. Aku menjumpai beberapa kenalan mengalami kecanduan secara psikologis terhadap hubungan yang penuh kekerasan. Entah proses kimia apa yang terjadi dalam tubuh korban sehingga mereka bisa memetik kepuasan tertentu dalam siksaan fisik dan batin yang ia alami. 

Ada berapa banyak kasus trauma bonding di sekitar kita? Ah, kalau dari angka belum pernah kutemukan penelitiannya. Namun dari pengalaman pribadi, ada cukup banyak kasusnya. Mungkin saiyah perlu titip pertanyaan ke kawan blogger Teh Okti yang masih banyak turun lapangan, bikin semacam survei kecil-kecilan. 

Baca juga: Body Process, Upaya Membebaskan Diri dari Depresi


Apakah Trauma Bonding Bisa Diakhiri?

Kembali ke awal, pertanyaannya: mengapa hal ini bisa terjadi?

Trauma bonding muncul karena perpaduan rasa takut, harapan, dan manipulasi. Seseorang takut akan kehilangan pasangan; khawatir mengalami kesepian. Kebaikan hati si pasangan ini selalu mencuatkan harapan bahwa pelaku dapat berubah.

Berhasil menemukan kontra dari jawaban tersebut, merupakan tahap penting bagi seseorang untuk bisa lepas dari kondisi ini. Dibutuhkan keyakinan diri bahwa: 

• Tidak ada masalah dengan menjalani hidup sendiri. Ada banyak aktivitas pilihan untuk mengatasi rasa kesepian. Begitu pula orang-orang baik di sekitar, pun binatang-bintang peliharaan.

• Bukan tugas kita untuk menjadikan orang lain berubah. Sebagai orang dewasa, setiap orang terus meng-upgrade diri untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam kurun waktu yang lama perubahan tak kunjung ada, bisa jadi yang bersangkutan memang tak mau berubah. 

Yang sulit memang ingatan akan hal-hal yang baik dan indah yang pernah terjadi. Bagaimana selama ini si pelaku memberikan dukungan, baik materi maupun mental. Rasa hangat yang dihadirkan karena kepeduliannya. Humor yang menyenangkan yang tercipta di antara percakapan. Semua hal yang pernah sangat mencukupkan kebutuhkan afeksi ini seolah menciptakan rasa bersalah jika harus meninggalkan pelaku. 

Padahal pertanyaan besarnya: Apakah semua peristiwa menyenangkan itu mampu menyembuhkan luka yang sudah mereka berikan?

Kemungkinan besarnya tidak. Karena luka, sekali dibuat akan meninggalkan jejaknya. Begitu datang luka baru, akan memperlebar atau memperdalam. Begitu seterusnya. Luka itu tak akan pernah benar-benar sembuh. Apalagi bagi mereka yang telah punya pengalaman traumatis. 

Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping

So, tak ada jalan lain selain mengakhirinya.

Bagi yang mulai merasakan potensi terjadi trauma bonding dalam hubungan, bisa segera mencari pertolongan. Jika mampu menyelesaikan sendiri, lakukan. Jika tidak, carilah orang-orang yang dapat dipercaya, baik dari kalangan dekat maupun tenaga profesional.

Dalam sesinya, prosfesional akan membantu korban untuk mencari faktor apa saja yang menjadi penguat terjadinya trauma bonding untuk dicarikan cara mengatasinya. Selain itu korban juga akan dibimbing untuk membuat batasan bagi diri sendiri agar tak terjebak dalam masalah serupa dalam relasi di kemudian hari, dan bisa memetik hal berharga dari pengalaman yang sudah dilaluinya.

Jika kamu adalah orang yang didatangi oleh korban, baik sekadar bercerita aupun meminta pertolongan, hal pertama yang perlu dilakukan alah untuk tidak menghakimi. Yakinkan bahwa dia tidak sendiri dan jika merasa tak cukup sanggup untuk membantu mencari jalan keluar, arahkan korban untuk mencari pertolongan profesional. Semoga semua makhluk berbahagia. Namaste.

Baca juga: Mengapa Tak Perlu Membenci


No comments