Suatu kali aku mendapati satu pos yang dibagikan seorang kawan di salah satu platform media sosial. Ia membagikan sebuah tayangan video tentang trauma dengan pengumpamaan air dalam gelas. Ia memberi takarir: "stop di kamu." Wajar, sih, lalu apa anehnya? Anehnya adalah si kawan ini pelaku kekerasan verbal. Pertanyaannya, apakah sikap manipulatif itu ia lakukan secara sadar, dalam artian bahwa itu merupakan pilihan sikap yang selama ini ia terapkan dalam kehidupannya, ataukah itu adalah buah atau mekanisme koping dari trauma yang ia derita dan tak coba dipulihkan.
Baca juga: Trauma Bonding, Luka yang Sering Disangka Cinta
Lebih detailnya, video tersebut memperlihatkan gelas berisi air berwarna gelap. Isi gelas tersebut dipindahkan ke gelas berikutnya. Lalu dipindahkan lagi ke gelas ketiga. Di gelas terakhir ini ada penambahan air jernih yang dikucurkan pelan-pelan dan membuat air gelap terdorong meluber, keluar dari gelas. Dengan dikucurkan secara terus menerus, maka gelas terakhir ini pun bebas dari warna gelap. Yang tersisa hanya air jernih semata. Yup, istilah "stop di kamu" mengacu pada sosok yang tidak melanjutkan tradisi yang memunculkan trauma dalam garis keluarga.
Perilaku Manipulatif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:
ma.ni.pu.la.si --psikologis: upaya memengaruhi individu dengan mengendalikan segala keinginan dan gagasan yang ada di bawah sadar, juga menggunakan sugesti.
Sebelum memunculkan dampak negatif, baik yang disadari oleh korban maupun orang lain yang memberikan perhatian, perilaku manipulatif ini barangkali tak cukup dikenali. Malah yang muncul adalah anggapan bahwa sang pelaku sedang melakukan kebaikan. Tak terendus adanya agenda tersembunyi. Hingga pada titik terjadi kekecewaan, tujuan si pelaku tak terpenuhi, maka bakal muncullah karakter aslinya yang manipulatif.
Dari berbagai sumber, kukutipkan, apa saja sih ciri-ciri orang manipulatif:
- defensif, tidak mau mengakui kesalahan
- berbohong, bahkan menyalahkan orang lain
- mengabaikan perasaan orang lain
- menyodorkan fakta yang berbeda dari yang sesungguhnya terjadi
- membuat orang lain merasa bersalah
- membuat orang lain meragukan diri sendiri
Mengapa orang melakukan manipulasi? Ada banyak alasan. Tentu saja hal utamanya adalah karena mereka hanya berfokus kepada diri sendiri. Memang, mereka memberikan bantuan, baik materi maupun nonmateri. Namun, hal itu mereka lakukan bukan semata untuk alasan kebaikan melainkan untuk menciptakan ketergantungan hingga pada saat dibutuhkan, mereka akan bersiap untuk mengorbankan diri. Perilaku manipulatif dapat dijumpai dalam berbagai bentuk relasi. Sering terjadi dalam hubungan romantis, namun banyak kasus pula terjadi dalam hubungan kerja, bahkan dalam lingkungan keluarga, dan dalam hubungan sosial lainnya.
Perilaku manipulatif sangat mungkin dilakukan secara sadar sebagai sebuah upaya sistematis. Pada kasus lain, sikap manipulatif lahir sebagai strategi yang terbangun di bawah sadar akibat trauma yang mereka derita.
Baca juga: Mengenal Sabotase Diri dan Mekanisme Koping
American Psychological Association (APA) menyebutkan bahwa trauma dapat menyebabkan seseorang mengembangkan strategi manipulatif untuk mengontrol orang lain dan lingkungan sekitar, serta untuk menghindari perasaan tidak nyaman.
Faktor trauma yang memengaruhi perilaku manipulatif ini antara lain:
1. Kontrol dan kekuasaan. Pengalaman traumatis dapat membuat orang tidak terkendali dan merasa tak berdaya. Mereka akan berusaha mengambil kontrol dan pegang kendali dengan melakukan manipulasi.
2. Pengalihan emosi. Ketidakmampuan mereka dengan trauma dalam mengolah emosinya, membuat mereka mencari jalan keluar dengan pengalihan. Caranya ya dengan melakukan tindakan manipulatif.
3. Ketergantungan. Orang dengan trauma membutuhkan orang lain untuk bergantung, baik secara emosional maupun fisik. Kebutuhan ini mereka penuhi dengan cara manipulatif agar tercipta ketergantungan. Alhasil, seolah orang lain yang bergantung, padahal sebetulnya mereka.
4. Pikiran negatif. Pola pikir orang dengan trauma cenderung negatif. Mereka menilai diri rendah, dipenuhi rasa bersalah, tidak berharga. Salah satu cara yang dilakukan mereka adalah mendapatkan validasi atau pengakuan dari orang lain. Caranya adalah dengan menempatkan orang lain dalam posisi diri mereka.
Baca juga: Body Process, Upaya Memulihkan Diri dari Depresi
Apa Itu Trauma Healing?
Bagaimanapun suksesnya seseorang menjalankan kehidupan yang penuh manipulasi, ia tak akan menjalani hidupnya dengan tenang. Karena ia terus menerus memikir upaya manipulasi yang tak mungkin berhenti, berkesinambungan. Hidup dipenuhi drama. Bagi siapa pun yang menyadari perilaku manipulatif sebagai dampak dari trauma yang dialami, yak ada jalan lain selain melakukan pengobatan dan pemulihan. Mudahnya, kita sebut trauma healing. Di sinilah istilah "stop di kamu" betul-betul diterapkan.
Trauma healing adalah upaya mengatasi post traumatic stress disorder (PTSD) dan pemulihan gangguan psikologis sebagai dampak dari peristiwa traumatis, baik dari peristiwa di masa lalu (masa kecil) maupun masa yang belum terlalu jauh terlewati. Banyak studi yang sudah menunjukkan bahwa trauma memberikan dampak buruk bagi penderitanya terutama terkait masalah emosional. Pada akhirnya hal tersebut berdampak pada kualitas hidup, kualitas hubungan dengan orang lain dan kehidupan sosial, serta menggerogoti kesehatan fisik.
Peristiwa traumatis yang menyebabkan gangguan emosional itu antara lain:
- kekerasan yang dilakukan orang tua atau orang-orang dekat dalam keluarga pada masa kanak, baik secara fisik maupun verbal
- kekerasan atau pelecehan seksual
- perpisahan atau perceraian orang tua
- perundungan di sekolah, lingkungan sekitar, atau tempat kerja
- kecelakaan lalu lintas dengan cedera serius
- bencana alam besar
- KDRT
- PHK atau kehilangan pekerjaan secara mendadak
- lain-lain
Baca juga: Menemukan Makna Hidup Bersama Viktor E Frankl
Membayangkan jika setiap orang mampu bertanggung jawab terhadap masa depan orang-orang yang berinteraksi atau berelasi dengan mereka, barangkali tidak ada sikap yang menyakiti. Tidak ada kekerasan yang terjadi. Namun, jika peristiwa sudah kadung terjadi, tentunya perlu penanganan lanjutannya.
Trauma healing jika sekiranya masih berada di kasus yang belum rumit, bisa melakukan pemulihan mandiri, misalnya dengan meditasi, yoga, membuat jurnal, rajin menulis di blog seperti kawan blogger di blog sunglow.me. Namun, jika kondisi sudah berlanjut, segera cari pertolongan ke mereka yang kompeten di bidangnya. Untuk bantuan profesional, baik psikolog maupun psikiater adalah banyak pilihan terapi. Misalnya dengan terapi kognitif-behavioral (CBT) yang bertujuan membantu mengurai pola pikir yang tidak sehat. Ada banyak metode lain.
Trauma healing mungkin bisa dilakukan dengan pendekatan religi dan spiritual. Barangkali ada ustad, pastor, atau pendeta --dengan catatan memiliki kapabilitas terkait psikologi manusia, bisa dimintakan bantuannya. Atau melalui terapi energi yang saat ini juga banyak pilihan.
Yang pasti, jika saat ini kamu baru menyadari sisi dirimu yang manipulatif, atau mendapati kawan atau anggota keluarga dan orang-orang dekat dengan kasus serupa, berikan saran untuk segera melakukan trauma healing. Demi kehidupan yang lebih baik, dapat menjaga emosi, mengelola stres. Semoga semua makhluk berbahagia. Namaste.
Baca juga: Mengapa Perselingkuhan Terjadi?
No comments