Kapan hari di medsos yang --menurutku-- paling berisik sekaligus bisa jadi sumber informasi, kutemukan satu thread yang membahas perselisihan yang terjadi antara pasangan (pacar). Lebih kurang dalam tayangan itu diceritakan si laki-laki marah gara-gara mendapati darah haid pacarnya tembus ke pakaian. Reaksi netizen beragam. Tapi sebagian besarnya menyebutkan si lelaki muda itu dianggap tak cukup mendapatkan pendidikan seks (sexual education).
Baca juga: Mengapa Perempuan Perlu Bekerja
Sering kudengar cerita tentang anak-anak yang bertanya tentang alat kelaminnya. Atau bertanya proses kelahirannya. Atau keinginan mereka memiliki adik, yang konon bikin orang tua kewalahan untuk menjawabnya. Karena tak pernah berada di lingkungan dengan anak-anak, aku tak punya pengalaman berinteraksi dengan anak-anak secara langsung. Tapi rasanya cukup banyak kutemukan cerita yang menunjukkan bahwa sebetulnya anak-anak, bahkan dari usia balita memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi. Pastinya sangat disayangkan jika keingintahuan itu tidak terpenuhi lewat pemberian informasi yang memadai.
Kapan Pendidikan Seks Sebaiknya Mulai Diterapkan?
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) membagi periode pendidikan anak dan remaja dalam kelompok usia, yakni: 5-8 tahun, 9-12 tahun, 12-15 tahun, dan 15 hingga di atas 18 tahun. Materi pembelajaran untuk anak-anak menyesuaikan pembagian usia tersebut. Termasuk bahasan terkait seksualitas.
Organisasi di bawah naungan PBB yang berfokus bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan ini pada 2018 lalu mengeluarkan panduan mengenai pendidikan seks (International Technical Guidance on Sexuality Education). Disebutkan ada delapan topik yang perlu dibahas dalam pendidikan seksualitas, meliputi:
- Relasi
- Hak asasi dan seksualitas dalam budaya
- Gender
- Pencegahan terhadap kekerasan seksual
- Kesehatan dan kesejahteraan terkait seksualitas
- Tubuh manusia dan pertumbuhannya
- Seks dan perilaku seksual
- Kesehatan reproduksi
Penjabarannya tak selalu mudah, terutama bagi lingkungan dan orang-orang yang menganggap seksualitas adalah hal tabu. Padahal UNESCO memberikan gambaran materi yang terbilang memudahkan.
Dua kelompok pertama adalah anak-anak usia Sekolah Dasar (SD).
Untuk kelompok usia pertama, TK hingga kelas 3 SD dapat diberikan pemahaman tentang keluarga dan peran setiap anggota keluarga. Diperkenalkan pada organ tubuh, perbedaan organ laki-laki dan perempuan, dan perlunya menjaga privasi terkait organ tubuh. Terhubung pula dengan bahasan soal hubungan sosial yang sehat.
Untuk siswa kelas 4 – 6 SD dapat dilakukan pengulangan dari materi kelas sebelumnya dengan ditambahi soal kesehatan organ reproduksi, konsep diri, dan etika berelasi sosial. Termasuk di dalamnya cara melindungi diri dari pelecehan atau kekerasan seksual.
Di kelompok tiga, kita dihadapkan kepada anak-anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Memasuki SMP, anak-anak sudah mendapatkan mata pelajaran biologi, yang di antaranya mempelajari tubuh manusia. Di masa ini bisa disampaikan materi soal aneka macam relasi sosial yang lebih intim seperti pertemanan, pacaran, suami-istri. Konsep gender juga bisa diberikan, juga serta perilaku seksual dan konsekuensinya. Tak ketinggalan bahasan soal kesehatan reproduksi termasuk siklus menstruasi dan kehamilan.
Pengenalan terhadap fisik manusia juga perlu dibarengi dengan konsep penghormatan terhadap tubuh. Dengan begitu dapat dicegah potensi perilaku pelecehan maupun sebagai korban tindak pelecehan.
Kelompok terakhir, anak-anak usia Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga perguruan tinggi.
Pada jenjang ini, para pengajar tetap perlu membahas ulang materi yang telah disampaikan sejak jenjang awal, semata memastikan para siswa memiliki pemahaman yang setara mengingat kemungkinan mereka tidak mendapatkan materi yang seragam. Materi berikutnya adalah tentang kehamilan dan kelahiran, pengendalian kelahiran, hak reproduksi, serta tugas dan peran gender. Di usia menuju dewasa ini, pembelajaran tentang kesehatan seksual makin kental, dibarengi dengan kesadaran akan dampak perilaku seksual. Mereka juga sudah mulai dibekali pengetahuan tentang membangun keluarga yang sehat.
Baca juga: Berhati-hatilah dengan Siapa Kamu Bercinta
Bagaimana Penerapan Pendidikan Seks di Sekolah?
Siapa yang tidak miris mendengar kabar peristiwa pencabulan hingga pemerkosaan yang terjadi di lingkungan pesantren. Bukan perihal lingkungannya, itu bahasan yang lain. Kebetulan saja kasus yang akhir-akhir ini berendeng muncul adalah laporan pelecehan seksual terhadap anak-anak didik di pesantren. Yang kondisinya bahkan hingga si anak-anak perempuan itu hamil.
Mendapati kabar-kabar itu, buatku pribadi, mengisyaratkan bahwa pendidikan seksual belum dijalankan dengan baik. Di lingkungan sekolah maupun di rumah.
Seperti dikutip CNN Indonesia (cnnindonesia: kemdikbud-pendidikan-seks-sudah-masuk-kurikulum/21 Mei 2016), Direktur Pendididikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad menyatakan bahwa mereka telah memasukkan materi pendidikan seksual pada 2013 untuk tiap jenjang pendidikan dalam kurikulum pembelajaran. Ia mengakui bahwa materi pendidikan seksual tidak dicantumkan dalam kurikulum. Namun, secara eksplisit masuk dalam pendidikan kesehatan reproduksi.
Hamid Muhammad menyampaikan hal tersebut sebagai bantahan atas opini yang beredar di masyarakat yang menganggap Kemdikbud abai terhadap isu pendidikan seks ini. Saat itu (2016), Hamid mengklaim pendidikan seksual tidak perlu dijadikan kurikulum tersendiri. Menurutnya, selama pihak sekolah bisa menyampaikan materi pendidikan terkait kesehatan reproduksi, pelajar bakal bisa memahami soal seksualitas. Saat itu, tampaknya detail model pengajaran diserahkan ke masing-masing sekolah. Dengan begitu, rasanya sulit, ya, untuk membuat evaluasinya.
Sayangnya aku tak berhasil menemukan sumber informasi terbaru soal kebijakan pendidikan seks ini dikaitkan dengan kurikulum sekolah. Tolong ingatkan, ya, kalau memang pasca UNESCO mengeluarkan rekomendasi pembelajaran tentang pendidikan seks ada kebijakan baru dari pemerintah.
Sejauh ini, dalam bayanganku detail pendidikan seksual ini diserahkan ke masing-masing institusi. Kemudian menjadi penting apa yang harus disiapkan orang tua. Bagaimana topik-topik soal pendidikan seks bisa dijadikan bagian dari parenting modern. Orang tua membekali anak-anaknya dengan pemahaman yang tepat perihal seksualitas. Tak perlu dilakukan pembatasan aktivitas anak jika mereka memahami pilihan tindakannya.
Dengan kelonggaran akses internet, keingintahuan anak-anak perihal seksualitas dapat dengan mudah dipenuhi oleh internet, yang berpotensi melahirkan perbedaan nilai. Tetap, menjadi PR bagi orang tua agar anak-anak memiliki pemahaman yang tepat tentang seksualitas. Pada saatnya, mereka tahu cara menempatkan diri di tengah lingkungannya, tak lagi gagap saat ada persoalan datang. Mereka akan menjadi anak-anak yang memahami tubuh dan dirinya secara utuh, dapat melindungi diri dari pelecehan dan kekerasan seksual, dapat berlaku adil terhadap sesama.
Pendidikan seks yang tepat dapat membawa generasi muda menuju masa depan yang sehat. Tanpa asumsi, tanpa prasangka, tanpa penghakiman, menghargai tubuh, dan menghormati pilihan orang lain.
Baca juga: Kekerasan Verbal dan Trauma Healing
No comments