Harmonisasi musik seperti apa yang bisa kita dengarkan dari genteng yang dipukul oleh ratusan orang? Seru, asyik, membius. Itulah pengalamanku menghadiri Festival Rampak Genteng 2024. Entah sudah berapa kali aku mendapat ajakan untuk melihat langsung agenda tiga tahunan ini. Tak pernah terealisasi. Ada saja halangannya. Mang Mukti --orang yang rajin mengajakku itu-- akhirnya berpulang pada Agustus 2022. Kepergianku ke Jatiwangi, Majalengka, kali ini sekaligus menuntaskan harapannya untuk aku bisa melihat langsung komunitas yang pernah didampinginya itu.
Baca juga: Mukti-Mukti, Pemusik Balada Bandung Berpulang
Aku ingat, November 2021, Mang Mukti bersikukuh ingin pergi ke Jatiwangi. Ia mengajakku. Kurasa dia berusaha mengajak kawan-kawan yang lain. Kami semua tahu, kalau ia sudah punya mau, susah diredam. Aku sendiri tak mungkin memenuhi keinginannya. Saat itu kakinya bengkak akibat sakitnya. Makannya juga susah, harus diatur sedemikian rupa. Dalam kondisi itu dia ingin aku menemaninya menggunakan bus, berangkat dari Terminal Cicaheum. Selain keterbatasanku, seingatku saat itu aku masih bekerja reguler. Tidak bisa pergi begitu saja. Untungnya ada kawan-kawan lain yang akhirnya bisa menemaninya menggunakan kendaraan pribadi. Pileuleuyan, Mang. Kelak namanya disebut dalam doa pembukaan Festival Rampak Genteng 2024, sebagai sosok yang punya andil dalam perhelatan musik di Majalengka ini.
Berkenalan dengan Jatiwangi Art Factory
Sebelum bercerita soal pengalaman langsung menghadiri Festival Rampak Genteng, kita berkenalan dulu dengan Jatiwangi Art Factory (JAF). Nama ini juga sudah lama kudengar dari kawan-kawan di lingkungan Mukti-Mukti. Tapi ini baru pertemuan pertamaku.
Kami berangkat dari Bandung berlima: Safei (pemilik kendaraan sekaligus sopir, hehe), Matdon, Dhini, Ajeng, dan aku. Meninggalkan Bandung sekitar pukul 10.30. Perjalanan lancar, bahkan cepat. Lewat jalur tol, nyaris tanpa hambatan. Jam makan siang kami sudah menikmati Soto Lamongan di Jatiwangi. Setelahnya, kami singgah di base camp-nya JAF.
JAF ini merupakan sebuah komunitas yang berpusat di Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka. Kawasan ini telah dikenal sebagai penghasil genteng sejak awal abad 20. Adalah Arief Yudi yang kemudian terpikirkan untuk mengembangkan produk keramik tanah liat bukan semata menjadi genteng namun juga produk seni rupa yang unik. JAF berkiprah sebagai komunitas yang berfokus pada seni rupa sejak 2005 dengan dimotori oleh Arief Yudi dan Ginggi Syarief Hasyim.
Dengan daya dukung lingkungan sekitar yang kuat, komunitas ini pun berkembang dengan baik. Berbagai program dirancang untuk mengasah kreativitas anggota komunitas dan warga yang tertarik bergabung serta meningkatkan nilai jual produk berbahan tanah liat itu. Program yang diagendakan pun beragam, dari yang bulanan, tahunan, dua tahunan, dan tiga tahunan. Nah, Festival Rampak Genteng itu program tiga tahunan mereka.
Festival ini diselenggarakan dengan mengusung tema besar bagi Jatiwangi yakni Kerja Tanah. Hal ini tak lepas dari kecintaan masyarakat setempat terhadap alam. Dan tanah, bagi masyarakat Majalengka bukan sekadar tempat berpijak, namun juga memberikan nilai ekonomis. Penghormatan masyarakat Jatiwangi terhadap tanah inilah yang melatari diselenggarakannya festival yang dilangsungkan pada tiap tanggal 11 November, tiga tahun sekali, dengan nama Festifal Rampak Genteng atau Ceramic Music Festival. Persiapannya sendiri tak tanggung-tanggung, dilakukan sepanjang tahun dengan intensitas makin kental pada jelang hari pertunjukan.
Dalam pelaksanaannya, Rampak Genteng melibatkan banyak komponen masyarakat, mulai dari guru dan siswa sekolah, aparat keamanan (polisi dan tentara), PNS, pengusaha dan karyawan, seniman --sudah pasti-- baik para perupa maupun pemusik, dan anggota masyarakat yang tertarik bergabung. Bukan hal mudah untuk mengumpulkan dan melatih ribuan orang untuk mengikuti aransemen yang dibuat, karena tak semua familier dengan urusan bermusik ini. Tapi barangkali itulah tantangannya, hingga menjadi kepuasan tersendiri saat mereka berhasil mempertunjukkan hasil latihan itu ke hadapan para penonton.
Oiya, JAF sendiri memiliki band musik yang menggunakan alat musik secara khusus dari tanah liat. Mereka bahkan sudah berkelana ke berbagai negara. Lair adalah salah satu nama band mereka, yang pada 2022 lalu menggelar tur 1.000km++ meliputi wilayah Indonesia, dan beberapa negara luar di antaranya Kanada negara-negara di Eropa. Pada Maret lalu grup ini diundang manggung di Austin Amerika dan KEXP Amerika. Pada pertengahan tahun berlanjut ke Eropa kembali. Sungguh tahun yang sibuk.
Baca juga: Sawung Jabo dan Sirkus Barock
Menyaksikan Bebunyian di Bawah Deras Hujan
Satu hal yang tak kupersiapkan adalah piranti anti hujan. Rupanya "menonton rampak genteng di bawah hujan" itu menjadi semacam kekhasan ajang musik tiga tahunan ini. Kawan-kawan yang sudah langganan hadir tidak berbagi cerita. Untunglah ada banyak penjaja mantel hujan, yang biarpun tipis ya lumayanlah.
Saat hujan mulai mereda, para pemain yang satu per satu memasuki area Lapangan Jatiwangi Square. Lapangan ini merupakan eks Pabrik Gula Jatiwangi, Kabupaten Majalengka. Pemain yang merupakan siswa sekolah, datang bersama rombongan masing-masing sekolahnya. Mereka langsung menuju ke titik yang disediakan. Begitu pula rombongan dari instansi pemerintah, dari kelompok ibu-ibu seperti PKK, dan para peserta lain hingga seluruh bagian lapangan yang disediakan untuk para penabuh genteng itu terisi. Masing-masing peserta atau pemain membawa dua batang stik dan satu lembar genteng.
Di tengah area yang terisi pemain, berdiri satu bangunan mungil berbentuk persegi yang dibuat khusus untuk keperluan festival. Ada aneka perangkat musik di dalamnya, sedangkan bagian atas bangunan menjadi tempat sang pembirama atau dirigen.
Area bermain dikelilingi oleh panggung. Berhadapan dengan para peserta, merupakan panggung besar yang disediakan bagi tamu kehormatan. Tampak sejumlah pejabat menempati area ini. Panggung di area belakang ada dua bersebelahan, keduanya diisi peserta khusus, paduan suara, dan pemain musik. Pada sisi kiri dan kanan area bermain, terdapat tribun untuk penonton.
Maka demikianlah, pertunjukan pun dimulai.
Dari atas singgasananya, pembirama memberikan instruksinya. Secara serentak, para pemain mengikuti sesuai tugasnya masing-masing. Alunan bunyi dari genteng bertalu membentuk harmoni musik yang unik.
Satu momen membuatku tercekat. Saat lagu bertema tanah mengalun, di bawah gerimis yang mengguyur tanpa henti, aku membayangkan berada di tempat ini bertahun silam. Cerobong asap pengolahan tebu menguarkan aroma manis. Entah itu semata dalam bayanganku saja, belum pernah melihat pabrik gula dari dekat.
Baca juga: LCLR Plus, Pesona Musik 70-an
Pesta Rakyat
Pesta rakyat pabrik gula
Pesta rakyat pabrik gula
Pesta rakyat pabrik gula
Pesta rakyat pabrik gula
Menyebar di semua arah
Musimnya tiba, semua berjejal
Gemerlap di Pesta Tebu
Panen raya bercinta
Pesta rakyat pabrik gula
Pesta rakyat pabrik gula
Pesta rakyat pabrik gula
Pesta rakyat pabrik gula
Menyebar di semua arah
Musimnya tiba, semua berjejal
Gemerlap di Pesta Tebu
Panen raya bercinta
Menyebar di semua arah
Musimnya tiba, semua berjejal
Gemerlap di Pesta Tеbu
Panen raya bercinta
See upcoming country shows
Get tickets for your favorite artists
You might also like
Tatalu
Lair Musik
Roda Gila
Lair Musik
Hard Fought Hallelujah
Brandon Lake
Menyеbar di semua arah
Musimnya tiba, semua berjejal
Gemerlap di Pesta Tebu
Panen raya bercinta
Pesta Rakyat ...
Menarik sekali membayangkan tiap bagian penghuni bumi ini memiliki perayaan ungkapan syukur terhadap tanah yang memberi tumpangan untuk lahir, tinggal, tumbuh dan berkembang, berkarya, hingga kematian menjemput. Digelar dalam festival atau perayaan secara berkala sebagai momentum penghormatan. Tentu saja bisa memberikan andil secara ekonomi terhadap pendapatan daerah. Aku jadi ingat kawan travel blogger Medan. Selain wisata alam, pastinya banyak perayaan serupa dalam tradisi di tanah Sumatra Utara.
Secara keseluruhan acara berlangsung menyenangkan. Dua hal dan buatku menjadi kritik serius adalah:
1. Pejabat yang hadir dengan sangat lambat. Para peserta sudah hadir dan siap di memulai acara sejak pukul 2 siang. Dengan kondisi hujan ringan tanpa henti. Pejabat baru hadir pukul 4 lewat, sore. Dua jam lebih berbasah-basah. Tolonglah, pejabat, meski memang ada aturan yang menyebutkan bahwa pejabat diminta hadir beberapa lama setelah jadwal undangan, bukan berarti terlambat sejam lebih. Berhitung mundurlah dari waktu persiapan panitia pelenggara.
2. Sampah! Ini hal yang masih menjadi masalah besar dalam event apa pun. Belum ada kesigapan panitia penyelenggara misalnya untuk membawa sendiri tumbler, sehingga botol dan gelas minuman kemasan tidak dibuang sembarangan. Selagi kesadaran berlingkungan yang bersih belum menjadi kesadaran para manusia yang hadir.
Tapi aku senang ketika akhirnya bisa menikmati pertunjukan musik dalam Festival Rampak Genteng Jatiwangi 2024 ini. Semoga menjadi pengingat bagi lebih banyak orang untuk memuliakan tanah dan tentu saja tradisi lokal. Hatur nuhun. Namaste.
Baca juga: Grammy Award dan Lagu Siaran Radio