Featured Slider

Menjajal Moda Transportasi Massalnya Bandung, Bus Trans Metro Pasundan

Sudah agak lama aku ingin menjajal bus Trans Metro Pasundan (TMP). Kesempatan itu datang saat aku ada keperluan ke Bandung Eletronic Center (BEC), karena tak dapat melakukan transaksi MyTelkomsel. Upaya penyelesaian secara daring sudah coba dilakukan, hasilnya tak memuaskan. Satu-satunya cara biar cepat tuntas adalah dengan mendatangi langsung GraPARI Telkomsel. Maka demikianlah, hari itu, Kamis, 3 Oktober menjajal salah satu moda transportasi massal di Kota Bandung tersebut.

Baca juga perjalanan ke Bali:


Sebetulnya rencana itu tak langsung dijalani. Tertunda beberapa hari. Apa pasal? Karena persiapannya lebih lama dari yang direncanakan. Akibatnya, kesiangan. Memang kenapa kalau kesiangan? Panas, bo! 

Jadi, begini... aku berencana menjajal moda transportasi massal Bandung, TMP ini sekaligus untuk lebih membiasakan diri jalan kaki. Dari rumah sampai dengan halte bus terdekat itu sekitar 2,5 km. Tak terlalu jauh dibandingkan dengan jarak saat aku jalan kaki yang belakangan aku upayakan rutin minimal 5000 langkah tiap hari itu. Cuma, kalau matahari tepat di atas kepala, pening juga awak!  


Transportasi Umum, Ketika Era Sudah Bergeser

Di masa lalu, kendaraan umum menjadi alat transportasi andalan. Kereta api, bus kota, angkot, bemo, oplet menghiasi jalanan di sebagian besar kota di tanah air. Aneka moda transportasi itu dimanfaatkan untuk berbagai keperluan; ke tempat kerja, sekolah, pasar, kunjungan ke kerabat, hingga untuk kebutuhan mudik ke kampung halaman. 

Barangkali memang demikianlah prosesnya, setiap zaman memiliki kekhasannya masing-masing. Seiring dengan kemajuan teknologi, pembangunan infrastruktur, tingkat kesejahteraan yang meningkat, aneka produk yang makin terjangkau dari sisi harga dan ketersediaan, menjadikan era berjayanya transportasi massal ini pun kemudian berakhir. Persoalannya, penggunaan kendaraan pribadi yang melimpah ruah telah menimbulkan banyak persoalan. Mulai dari kemacetan lalu lintas, polusi udara, tingginya angka kecelakaan, hingga aneka persoalan sosial. Saat ini, dengan mudah kita menjumpai kasus, keluarga kehilangan sawahnya karena sang anak ingin dibelikan motor. Anak-anak muda yang gemar flexing dengan kendaraan terbaru, padahal sesungguhnya kemampuannya belum sampai di situ. Dan banyak masalah sosial yang lainnya. 

Tak heran jika harapan untuk kembali menggiatkan pemanfaatan transportasi massal ini masuk dalam rencana pemerintah. 

Berkaca pada negara-negara maju, transportasi umum menjadi pilihan utama masyarakatnya. Seorang kawan yang sedang ambil kuliah di Jepang bercerita tentang salah seorang Indonesia sempat menjadi bahan olok-olok di lingkungan pertemanannya dengan orang Jepang. Hanya gara-gara ia membeli mobil. Memiliki mobil bukanlah kebanggaan bagi orang Jepang. Pajaknya mahal! Mereka lebih memilih untuk memanfaatkan moda transportasi massal. Biaya murah dengan fasilitas yang memadai. Nah, itu menjadi salah satu persoalan besar di tanah air.

Tentu saja kita tidak dapat membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju yang manajemen transportasi umumnya memang sudah teruji oleh waktu. 

Selain Jepang, Korea Selatan juga memiliki manajemen atau tata kelola transportasi yang bahkan lebih maju dibandingkan banak negara lain di dunia. Mereka menjadikan kereta api sebagai andalan untuk mengatasi mobilitas masyarakat yang ketat dan padat. Negara ini juga memiliki bus umum dalam jumlah yang memadai dan dengan jadwal yang ketat. 


Baca juga perjalanan ke Baduy:


Bagaimana dengan Indonesia?

Sudah banyak kok alat transportasi umum yang armadanya ditingkatkan, dari sisi kuantitas maupun kualitas. Kita tentu tidak lupa bagaimana kiprah Ignatius Jonan saat menjabat Dirut PT KAI, lantas menjadi Menteri Perhubungan. Layanan BUMN perkeretapian itu dirombak total, dan hasilnya bisa kita nikmati hingga kini. Mungkin belum ada apa-apanya dibandingkan yang sudah dilakukan oleh perusahaan kereta api di luar negeri. Tapi apa yang pernah terjadi di tubuh lembaga kereta api itu tentunya dapat dijadikan sedikitnya acuan bahwa hal yang dulu pernah dianggap tidak mungkin, bisa terjadi. Sebagian di antara kita barangkali pernah mengalami buruknya layanan PT Kereta Api di masa lalu. 

Nah, apakah hal serupa dapat terjadi di moda transportasi publik lainnya? Aku sih, optimis bisa. Segala hal yang berpotensi memberikan dampak positif perlu didukung. 

Pada 2019 lalu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI menginisiasi diadakannya sistem transportasi angkutan cepat bus (bus rapid transit/BRT) dengan nama Teman Bus yang merupakan singkatan dari Transportasi Ekonomis Mudah Aman dan Nyaman. Layanan ini merupakan pengembangan dari BRT dalam program yang telah diinisasi di beberapa kota dua tahun sebelumnya. Layanan Teman Bus pertama dioperasikan di Palembang pada 2 Juni 2020. Menyusul kota-kota lainnya, termasuk Bandung yang menamai armadanya dengan Trans Metro Pasundan.

Pengalaman Menggunakan TMP

TMP mulai beroperasi pada 27 Desember 2021. Moda transportasi massal bagi warga Bandung ini tersedia dalam tiga jenis, yakni bus ukuran sedang, ukuran besar, dan bus berbahan bakar listrik. Bus ukuran besar berkapasitas 60 orang dengan 30 tempat duduk. Bus ukuran sedang berkapasitas 40 orang dengan 20 buah tempat duduk. Sedangkan bus listrik berkapasitas 24 orang dengan 19 kursi. TMP yang kunaiki dengan rute Baleendah - BEC adalah bus dengan ukuran sedang. 

Jadi teringatkan kawan blogger, Mbak Dian Restu yang gemar menggunakan motor listrik; sudah coba bus listrik, belum, Mbak?

Saat awal kemunculannya, penggunaan TMP ini digratiskan. Lalu, per 31 Oktober 2022, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 138/PMK.02/2022, semua layanan program Teman Bus dikenakan tarif. TMP mengenakan tarif Rp4.900 untuk sekali perjalanan. Pembayarannya bisa menggunakan kartu uang elektronik QRIS. 

Untunglah bulan lalu aku sudah mencoba menggunakan layanan bus serupa di Semarang. Jadi, saat menjajal TMP lumayan percaya diri. 

Bagi yang belum pernah coba, ini aku kutipkan tata cara pembayaran di TMP menggunaka QRIS. 



Untuk pemakaian kartu elektronik, juga tinggal tempelkan kartunya ke perangkat.

Di jalur Bojongsoang, halte terdekat cukup banyak. Dalam radius sekitar satu kilometer terdapat 4 halte pemberhentian. Untuk yang rumahnya ada di jalan utama Bojongsoang, tentunya fasilitas ini lumayan sekali. Kalaupun harus jalan kaki cukup kisaran 250 meter saja sudah ketemu halte. Sangat lumayan kan jika dibandingkan aku yang harus berjalan sejauh minimal 2,5 km untuk mencapai halte terdekat.

Perjalanan lancar. Hampir secara keseluruhan bus terisi minimal 80%. Pada beberapa titik sejumlah penumpang bahkan harus berdiri karena tidak kebagian kursi. 

1. Kenyamanan

Karena aku pemotor, berada dalam kendaraan besar dengan AC, tentu saja terasa nyaman. Selain itu bisa menyaksikan pemandangan di sepanjang jalan yang terlewati, hal yang tak bisa kulakukan saat bermotor.

Bagi yang biasa menggunakan kendaraan roda empat, karena TMP adalah transportasi massal, dari sisi kenyamanan mungkin kurang. Harus berbaur dengan banyak orang. Pun harus mengikuti aturan seperti tidak boleh makan dalam kendaraan.

2. Durasi perjalanan

Sebagai pemotor, aku bisa mengira-ngira waktu yang kubutuhkan untuk mencapai sebuah tujuan. Kalaupun meleset akibat kemacetan atau penyebab lainnya, tak akan terlalu jauh.

Beda halnya jika menggunakan transportasi umum seperti TMP ini. Ada standar kecepatan kendaraan yang diterapkan. Rute yang panjang dengan segala tetek-bengek hambatan di jalan membuat kita agak sulit membuat prediksi waktu.

Paling tidak dua hal itu yang menjadi lebih-kurangnya penggunaan TMP. Tapi menurutku, keduanya masih bisa disiasati, jika ingin mendapatkan alat transportasi murah sekaligus ikut mendukung program pengoperasian transportasi massal dari pemerintah.


Baca juga perjalanan di Bandung Raya:


Aku sendiri, akan secara berkala memanfaatkan bus Trans Metro Pasundan ini. Selain soal penghematan, juga demi mendukung badan yang lebih sehat dan upaya menjalani hidup yang "melambat". Bagaimana denganmu? Naik, bus bareng, yuk!

Ibu Meong Jajal TMP



Pembukaan Olimpiade 2024: the Last Supper vs Dionysus

Pembukaan perhelatan akbar dunia, Olimpiade 2024 mengundang reaksi negatif masyarakat dunia. Utamanya dari kalangan kristiani. Kecaman berhamburan karena menganggap pesta olah raga internasional itu memparodikan the Last Supper, lukisan ikonik seniman era Renaisans, Leonardo da Vinci. Apa sebetulnya makna lukisan tersebut? Betulkah Prancis sebagai penyelenggara olimpiade dengan sengaja mengejek kalangan Kristen melalui tema yang mereka usung? Apa pula Dionysus yang disebut-sebut kemudian? 



Baca juga: Menemukan Makna Hidup bersama Viktor E. Frankl 

Aku, secara pribadi --yang telah akrab dengan lukisan Last Supper atau Perjamuan Terakhir itu tak pernah memandang lukisan tersebut sebagai benda sakral. Terlebih setelah tak menjadikan agama sebagai salah satu prioritas. Di rumah-rumah orang kristiani sangat jamak memajang lukisan ini. Tapi, ya, semacam hiasan saja. Meski tak tahu menahu muasal lukisan tersebut. Aku pun, baru tahu kisah pembuatan lukisan ini setelah dewasa, setelah kuliah di Bandung.


Leonardo da Vinci dan Karyanya

Leonardo dikenal memiliki tradisi dan teknik artistik yang yang berbeda pada zamannya, unik. Komposisi yang ia ciptakan seolah membawa mata kita pada pengelanaan tiga dimensi. Mona Lisa, lukisan Leonardo yang paling banyak dikenal, meski sebetulnya banyak karyanya yang telah memengaruhi banyak karya perupa berikutnya, bahkan hingga di masa kini. 

The Last Supper merupakan lukisan bekennya yang lain. Bedanya, barangkali hanya kalangan akademis yang mengetahui detail lukisan ini. Secara fisik lebih dekat, namun tak semua orang yang memajang lukisan tersebut mengenal siapa pelukisnya dan siapa Leonardo. 

The Last Supper atau Perjamuan Terakhir merupakan lukisan pesanan dari bangsawan Milan, Italia, Ludovico Sforza. Sang bangsawan dikenal sebagai seorang yang royal terhadap karya seni, dan pembeli setia karya-karya Leonardo. Lukisan yang awalnya dalam bentuk mural itu dipesan untuk menghiasi biara Dominika di Santa Maria delle Grazie. 

Proses mural mulai dilakukan pada 1495 dan tuntas tiga tahun kemudian. Da Vinci menggunakan cat tempera dengan minyak pada dinding gereja. Lewat muralnya, da Vinci menerjemahkan salah satu ayat dalam Injil, yakni Injil Yohanes 13:21. Ayat tersebut menceritakan perihal Yesus yang mengumumkan tentang adanya pengkhianat di antara mereka. Dalam lukisan tersebut terlihat posisi Yesus berada di tengah, diapit oleh 12 muridnya, 6 di sisi kiri, 6 sisi kanan. 

Ke-12 murid dikelompokkan berdasarkan ekspresi mereka. Bartolomeus, Yakabus, dan Andreas, adalah tiga orang yang tergabung dalam satu group dan menunjukkan ekpresi terkejut. Yudas Iskariot, Petrus, dan Yohanes berada di grup beirkutnya. Da Vinci mengambarkan Yudas tertutup bayangan, seolah ingin segera menarik diri, keluar dari perjamuan. Penampakan Yudas juga dilengkapi dengan kantong kecil yang menjadi tanda bahwa dialah sang penukar Yesus dengan uang perak. Yudas sendiri dikenal sebagai bendahara dalam kelompok ini.

Di tengah, Yesus menunjukkan kedua tangan yang mengarah ke roti dan cawan yang dianggap sebagai simbol dari tubuh dan darah Kristus. Sisi sebelah Yesus terdapat Tomas, Yakobus, dan Filipus. Tomas di kemudian hari menunjukkan ketidakpercayaannya pada kebangkitan Yesus. Berikutnya ada Matius, Jude Thaddeus, dan Simon. Digambarkan Jude Thaddeus dan Matius menunjukkan gerak tubuh ke arah Simon, berharap mendapatkan penjelasan dari pernyataan Yesus yang baru mereka dengar. 

Nama-nama sosok lukisan tersebut baru diketahui pada abad ke-19, pasca ditemukannya manuskrip berisi catatan harian Leonardo da Vinci tentang siapa saja yang berada dalam lukisan tersebut. 

Ada hal simbolis yang ditampilkan dalam lukisan tersebut. Seperti simbol segitiga sama sisi yang mewakili trinitas. Atau posisi Yesus yang persis berada di tengah yang menunjukkan siapa yang menjadi sentral dalam lukisan tersebut. 

Mengutip laman Leonardidavinci dot net, mural di dinding gereja biara tersebut merupakan ekperimen gagal da Vinci. Penyebabnya adalah karena da Vinci melukis di atas dinding plester kering. Pada umumnya, lukisan dinding tradisional dilakukan di dinding plester basah. Teknik ini diakui membantu proses pembuatan lukisan terihat lebih detail dibandingkan mural pada umumnya. Namun mengakibatkan cat tidak menempel sempurna dan mulai terkelupas pada beberapa dekade setelah lukisan selesai dibuat. 

Lukisan mural da Vinci "dipindahkan" ke dalam kanvas pada abad ke-16. Sebanyak tiga salinan lukisan dibuat oleh tiga murid da Vinci. Giampietrino membuat salinan skala penuh, saat ini disimpan di Royal Academy of Arts London. Salinan kedua oleh Andrea Solari yang disimpan di Museum Leonardo da Vinci di Belgia. Yang terakhir, salinan yang dibuat oleh Cesare da Sesto dipajang di Gereja Saint Ambrogio di Swiss.

The Last Supper versi Google Art Culture

Mural karya da Vinci pun tak lagi 100 persen karya sang maestro. Sekitar satu abad sejak pembuatannya, dilakukan pembongkaran menuju ruang lain yang menghilangkan sisi bawah lukisan, yakni bagian kaki Yesus. Saat terjadi Perang Dunia II, serangan bom besar-besaran di Kota Milan, nyaris membuat sebagian lukisan rusak. Berkat teknologi yang sudah demikian berkembang, lukisan dapat direstorasi tanpa menghilangkan sisi aslinya. Selain itu, dilakukan pembatasan jumlah wisatawan untuk mengurangi risiko kerusakan. 

Baca juga:


Dionysus dalam Mitologi Yunani

Setelah ungkapan keberatan dan protes terhadap Prancis sebagai negara penyelenggara Olimpiade 2024, muncul pernyataan bahwa yang dimunculkan dalam pesta pembukaan bukanlah parodi The Last Supper, melainkan dewa dalam mitologi Yunani. Namanya Dionysus. Ada yang tahu? Aku sih nggak hafal. 

Sosok Dionysus (Dok. Natgeo)

Dalam mitologi Yunani, Dionysus merupakan simbol pesta. Ia adalah anggur, ekstasi, teater, dan pesta pora. Ia juga dikenal sebagai dewa tumbuh-tumbuhan. Seorang dewa yang sangat dinamis, yang jauh berbeda dengan penggambaran dewa-dewi Yunani pada umumnya. Ia adalah dewa tarian gembira dan pelindung orang gila. Jadi, siapakah sesungguhnya Dionysus ini?

Ada banyak sekali versi terkait muasal Dionysus. Ada yang menyebutkan bahwa adalah anak dari perkawinan Zeus --raja para dewa, dan Semele --seorang putri fana. Semele mengalami nasib tragis seperti halnya banyak perempuan lain yang menjadi kekasih Zeus. Istri Zeus, Hera, yang iri dan curiga memanipulasi Semele. Si putri fana itu pun mendapatkan hukuman dengan mengiriminya petir. Namun ia ingin anak yang sedang dikandung Semele bertahan hidup. Ia lantas menjahit bayi prematur ke pahanya hingga saat kelahirannya. 

Versi lain menyebutkan bahwa tokoh kita ini adalah seorang Thracia yang sedang berkeliling dunia. Tibalah ia di Yunani dan memutuskan menetap. Ada sejumlah catatan yang menyebutkan bahwa ia dijuluki “orang asing”. Hal ini yang lantas mengarahkan Dionysus sebagai salah satu bagian dari peradaban tetangga, kemungkinan besar dari bangsa Thracia. Dalam perkembangannya, pemujaan terhadap Dionysus mengakar kuat dalam budaya Yunani kuno, khususnya selama periode klasik dan Helenistik. 

Ada cukup banyak versi lain yang unik-unik.

Kultus Dionysian ditandai dengan ritual-ritual yang penuh kegembiraan dan pembebasan. Para penganutnya sering berkumpul untuk berpesta bersama hingga mabuk. Ada pula festival yang didedikasikan untuk Dionysus. Festival  yang dinamai Dionysia itu dirayakan di berbagai kota di Yunani, mencakup pesta minum --khususnya anggur-- yang dianggap menginspirasi “kegilaan ilahi”, yang membawa kegembiraan dan meringankan penderitaan seseorang. Festival-festival tersebut mengusung inti dari identifikasi sosok Dionysus sebagai karakter yang menantang norma-norma masyarakat dan merangkul berbagai aspek sifat manusia tanpa hambatan. Sehingga eksplorasi tema-tema tabu dan imajinatif sangat dimungkinkan.

Selain pesta minuman, dalam festival ini terdapat pertunjukan drama yang berisi aneka kisah terkait mitos seputar Dionysus. Pertunjukan ini diklaim sebagai cikal teater drama modern.

Meski demikian, simbolisme Dionysus melampaui segala pesta dan drama. Dia mewujudkan dualitas kehidupan. Perayaan yang mewakili kegembiraan pada satu sisi, dan mewakili aspek sifat manusia yang lebih gelap dan kacau pada sisi lainnya. Hingga berabad-abad kemudian, Dionysus diyakini sebagai sosok dengan banyak segi dan abadi. Bahkan pengaruhnya dianggap telah melampaui batas-batas mitologi Yunani kuno.

Pesta Dionysus by Mythology Vault


Baca juga:


Aku sendiri tak menonton secara langsung pesta pembukaan olimpiade. Hanya menyaksikan foto dan potongan video dari perhelatan akbar dunia tersebut. Sebagian besarnya disertai nuansa geram. Tetap, aku tak tertarik untuk mencari tahu sumber konfliknya. Catatan ini tanpa dibarengi nilai apa pun. Sekadar memenuhi keingintahuan kawan-kawan yang tak tahu persis kisah di balik the Last Supper. Pun aku penasaran dengan kisah Dionysus, karena memang belum pernah mengeja ceritanya. 

Sekadar tambahan, terutama bagi yang tak familier dengan lukisan da Vinci tersebut, plesetan lukisan the Last Supper sudah banyak dilakukan. Dalam berbagai versi. Bahkan --kalau sudah nonton film Da Vinci Code, diceritakan tentang bahwa sebetulnya ada Maria Magdalena dalam lukisan tersebut yang dihilangkan. Dan dikisahkan, sang tokoh perempuan merupakan keturunan Yesus dan Maria Magdalena. Nah, bukankah itu serius penyimpangannya? 

Kabar terakhir, Vatikan juga unjuk suara. Delapan hari setelah pesta pembukaan, pukul 8 pagi waktu setempat, Vatikan mengeluarkan pernyataan resmi yang menyebutkan lebih kurang bahwa sebagai sebuah perhelatan akbar tingkat dunia seharusnya dipertimbangkan untuk membuat acara yang tidak memunculkan ketersinggungan berbagai pihak. 

Buatku, tetap, mungkin itu bukan pertunjukan yang indah, tapi tak perlu dibawa terlalu jauh. Tentu saja setiap orang bebas dengan pemaknaannya atas pentas akbar tersebut, yang entah apakah masih akan mempertentangkan: itu parodi the Last Supper atau Dionysus, ya?


Baca juga: Mengenal Van Gogh lewat Lust for Life

Pohon Sala atau Burahol?

Aku suka sekali mengidentifikasi tanaman. Identifikasi sederhana saja. Sekadar keisengan yang terbakukan. Tak ingat sejak kapan aku melakukannya. Setiap kali berada di wilayah baru, aku selalu (SELALU!) ngecek, seberapa kenal aku dengan tanaman di sekitarku. Kurasa aku jadi semacam terobsesi, entah. Buat sebagian orang mungkin ini ganjil. Kegemaran yang aneh, katanya, haha! Nggak pa-pa, sih, sudah biasa dianggap ganjil, hihi. Nah yang terakhir membuatku penasaran adalah satu pohon dengan buah serupa bola besar warna cokelat. Pohon itu kujumpai sewaktu di Bali, berdiri di sudut halaman toko dupa. Sayangnya saat itu suasananya tak begitu menyenangkan. Jawaban dari si mbok penjaga tak cukup terdengar di kupingku. Waktu kucoba cek di mesin pencari, keluar kata salamangu dan burahol. Dua istilah yang tak familier.


Baca juga: Nimba, Pohon dengan Banyak Kasiat

Jadi, pohon apa itu sesungguhnya? Waktu pertama menampilkan foto dan buahnya saja di mesin pencari, yang muncul nama burahol atau kepel. Tapi begitu kuganti dengan foto yang ada tanganku, yang menunjukkan ukuran --perbandingan tangan dan buah, baru muncul nama salamangu. Tapi tak cukup banyak referensi yang kutemukan tentang pohon salamangu atau salamanggu. Itu pun tulisan dalam bahasa Sunda. Kocak! Iya, kocak, karena ternyata tak cukup mudah mengartikan basa Sunda dalam tulisan panjang. Penulisnya dosen UNY, tapi asli Sunda. Nama blognya Tatang. Tapi jadinya saiyah googling ke sana kemari. Diduga salamangu ini dikenal sebagai pohon sala. Ternyata nama pohon sala pun tidak tunggal. Waaah.... Catatan ini saiyah tulis buat kalian yang punya kecenderungan aneh serupa, gemar menelisik tanaman, tumbuhan, pepohonan, apa pun terkait flora.


Pohon Sala

Baiklah. Kita anggap saja namanya pohon sala. Meski sementara orang atau daerah menyebutnya salamangu atau salamanggu. 

Dari blognya Pak Dosen Tatang itu disebutkan bahwa pohon sala merupakan tumbuhan yang dianggap sebagai cikal pemberian nama Solo. Nama latinnya Couroupita guianensis. Dalam bahasa Inggris, namanya cannonball tree. Di India, pohon ini dikenal sebagai pohon asoka atau nagalinga (nagalingga). Naaah, di sini baru teringat. Kalau tak salah si mbok toko dupa menyebut nama ada "naga"-nya. Mungkin orang Bali mengacu pada nama India. Pohon ini dianggap sakral, sering dihubungkan dengan Dewa Siwa. 

Lain lagi yang kutemukan dari situsnya Taman Buah Mekarsari (TBM). Di lamannya TBM ini tak ada sama sekali disebut nama sala. Mereka memilih menggunakan nama bule, cannonball. Menurut TBM, pohon ini disebutkan asli dari tanah Amerika Selatan. Namun menurut mereka, informasi lain menyebutkan bahwa cannonball telah tumbuh di India sejak dua hingga tiga ribu tahun terakhir, jadi sangat mungkin pohon ini tumbuhan India.

Yang menarik adalah artikel yang kemudian kutemukan di Solopos. Ada informasi yang lebih detail. Agak terlepas dari konteks, karena ini membahas tentang muasal nama Kota Solo. Tapi seru juga bacanya.

Disebutkan, setidaknya ada tiga jenis tanaman yang disebut sebagai pohon sala. Dalam nama latin, Couroupita guianensis, Shorea robusta, dan Pinus mercusii. Biar tidak pahili, kalau kata orang Sunda. Couroupita guianensis sering disebut pohon canonball karena buahnya yang menyerupai peluru meriam: bulat, keras, dan besar. 

Menurut budayawan asal Solo, Hendramasto, Couropita disebut sebagai pohon sala oleh kalangan umat Buddha di Asia Tenggara. Hal ini menjelaskan perihal muasal tanaman ini berada di Solo, mengingat pada masa lalu masyakarat Solo didominasi budaya ajaran Buddha. Tapi, menurut Hendramasto, pohon itu bukan cannonball. Menurutnya, pohon sala di kalangan penganut Buddha di Asia Tenggara adalah Couroupita. Sedangkan sala di kalangan umat Hindu-Buddha di India, adalah Shorea robusta.

Nah, pohon sala yang Shorea robusta inilah menurut Hendromasto yang menjadi asal-muasal nama Kota Solo. Pohon sala yang bukan cannonball. 

Sementara itu, pohon sala yang dengan nama latin Pinus mercusii dikenal di wilayah Aceh. Ini adalah jenis pohon pinus. 

Penelusuran muasal nama Kota Solo ini konon sudah muncul pada dekade 60-an. Disebut pertama kali pada 1960 dalam buku Nawawindu Radyapustaka. Dalam buku tersebut, G.P.H. Adiwijaya menjelaskan nama Sala berasal dari sebuah tanaman. Ia menukil kisah dalam Babad Sengkala karya pujangga Yogyakarta atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono I. Meski demikian tak tersebutkan pohon sala yang dimaksud sala yang mana. 

Terkait muasal nama Kota Solo ternyata belum cukup jelas. Setidaknya sampai saat aku iseng mencari tahu soal pohon sala di hari ini. 

Kembali ke pohon sala yang canonball ...

Seperti terlihat di foto, bentuk buah sala adalah bulat, dengan tekstur kulit buah keras seperti kayu. Diameternya kisaran 15 sampai 24 cm. Satu pohon bisa menghasilkan 200 hingga 300 buah. Konon, kalau buahnya sudah matang dan jatuh sendiri ke tanah, memunculkan suara ledakan kecil, lalu retak. Tampaknya itu yang membuat pohon ini dinamai cannonball. Yang menarik lagi dari pohon ini adalah bunganya yang berwarna merah jambu dengan putik kuning dan menguarkan aroma wangi semerbak. 


Baca catatan perjalanan ke Bali lainnya:


Pohon Burahol

Berhubung sudah tersebutkan, mari kita bahas juga pohon ini. Burahol, aku baru dengar. Kalau kepel, cukup familier, meski belum pernah melihat pohonnya secara langsung. 

Rupanya pohon ini langka karena di masa lalu penanamannya sangat terbatas. Pohon ini disukai oleh putri keraton, sehingga hanya ditanam di lingkungan istana. Mengapa demikian? Tak lain karena setelah mengonsumsi buah kepel atau burahol matang akan membuat keringat dan napas para putri keraton itu wangi. 

Nama latinnya Stelechocarpus burahol. Tanaman ini tersebar di kawasan Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Indonesia, hingga Kepulauan Solomon bahkan Australia. Pohon kepel termasuk pohon langka. Selain sudah kadung tidak tersebar, di masa kini kemungkinan orang enggan untuk budi daya, mengingat banyaknya biji dalam buah burahol ini. Pohon ini merupakan flora identitas Provinsi Daerah Istimewa Jogyakarta. Keberadaannya, selain di kawasan Keraton Yogyakarta, bisa ditemukan di TMII, Taman Kiai Langgeng Magelang, Kebun Raya Bogor, dan TMB.

Di TMB, pohon kepel ditanam pada awal 1995 bertepatan dengan diresmikannya taman buah ini. Jumlahnya sebanyak 30 pohon. Dari laman TMB disebutkan, masa berbuah pohon kepel adalah April dan akan berlangsung hingga Juni. 

Jadi, demikianlah ceritanya perihal pohon sala lalu menyenggol si burahol. Gara-gara tragedi nagalingga di toko dupa, rasa penasaranku menjadi. Oke, sudah tertuliskan dan sekarang aku bisa tidur nyenyak. Terima kasih sudah baca catatan Ibu Meong, ya. Selamat mencintai tanaman. Namaste. 


Baca juga perjalanan ke Bali lainnya:

Tertawan Keindahan Kintamani dan Danau Batur

Hari masih pagi saat kami meluncur meninggalkan Denpasar. Rencananya sebetulnya tiba di lokasi lebih dini, agar bisa menjumpai sunrise. Apa daya, terpenggal ini dan itu, jadilah berangkat agak siang. Tak soal, masih kujumpai suasana pagi Danau Batur yang menakjubkan. Terhitung sejak mata bersirobok dengan danau dan latar belakang gunung dan kabut yang mengangkasa di antaranya, aku sungguh terpesona. Belakangan hari, perjumpaan-perjumpaanku dengan alam, dengan tanaman atau binatang, dengan hal-hal yang terlihat indah, terasa betul menyentil emosiku. Rasanya, tak semata memenuhi keinginan mata melainkan kebutuhan batin. Jajaran gunung dalam nuansa abu kebiruan gelap, danau batur yang mulai menampakkan gemerlap pantulan matahari, dan kabut tipis yang melayang … sungguh sebuah kemewahan. Ya, kami berada di Kintamani, kawasan tinggi Bali dengan gunung dan danaunya yang menawan.


Baca juga: Ragam Kuliner Bali, Halal dan Nonhalal


Kintamani merupakan sebuah kecamatan di Bangli, satu-satunya kabupaten yang tidak memiliki pantai atau laut. Berada sekitar 60 km dari pusat kota Denpasar, sekitar 1,5 jam perjalanan menggunakan kendaraan dengan kecepatan standar. Apakah aku pernah singgah ke Kintamani? Aku tak ingat betul. Rasa-rasa saat ikut rombongan tur, tahun 2002 atau 2010 pernah berfoto di salah satu rumah makan yang kami singgahi. Lupa. Tapi kalaupun singgah, ada pemaknaan yang berbeda dari kunjunganku kali ini.


Legenda Danau Batur


Menuju Danau Batur, tak akan afdol kalau tak mengingat kisah ini. Kisah legenda yang entah kapan kusimak. Mungkin selagi bersekolah di SD. Tentang bocah raksasa yang tenggelam di dasar danau.


Alkisah adalah sepasang suami istri yang sudah lama menikah namun tak kunjung memiliki anak. Mereka  berdoa sepanjang waktu, memohon dikaruniai anak. Doanya dikabulkan. Seorang bayi laki-laki lahir. Berbeda dengan bayi pada umumnya, bayi ini tumbuh dengan nafsu makan sangat besar. Takaran makannya setara dengan porsi makan 10 orang dewasa. Tak heran jika pertumbuhannya sangat cepat. Dan makin dewasa, si bayi yang diberi nama Kebo Iwa ini, nafsu makannya makin tak terkendali. 


Orang tua Iwa kewalahan. Mereka minta bantuan penduduk sekitar untuk ikut menyediakan makanan bagi anak raksasa yang beranjak dewasa itu. Digambarkan, Iwa saat itu besar tubuhnya sebesar bukit, dengan kekuatan serupa topan. Penduduk desa pun tak berani menolak dan memancing kemarahan Iwa. Sedangkan kebutuhan makan setara dengan porsi makan seribu orang. Penduduk desa mengabdikan diri melayani kebutuhan makanan Iwa karena rasa takut mereka. Namun begitu musim paceklik tiba, mereka dibuat kalut. Untuk menyediakan makanan bagi keluarga sendiri saja kerepotan, ini harus menyiapkan makan juga buat Iwa yang jumlahnya ugal-ugalan itu. Saat warga tak berhasil mencukupkan kebutuhannya, Iwa mengamuk. Ia menghancurkan rumah warga dan memakan ternak mereka. 


Kemarahan Iwa telah menimbulkan petaka. Orang banyak yang mati, rumah rusak, ternak hilang, sumber makanan pun harus berebut. Penduduk lalu mulai bersiasat untuk melenyapkan Iwa. 


Penduduk menawari Kebo Iwa membangun rumah dan sumur warga yang rusak dengan imbalan makanan berlimpah. Iwa pun mulai bekerja. Sementara warga terlihat sibuk mengumpulkan batu kapur yang katanya akan digunakan untuk membangun rumah Kebo Iwa. Manusia raksasa itu gembira, tak mengendus muslihat warga. Ia terus bekerja. Pada pekerjaan terakhir, ia menggali sumur. Dalam dan makin dalam. Kelelahan bekerja, Kebo Iwa beristirahat di dalam sumur yang belum tuntas digalinya. 


Demi mengetahui Kebo Iwa sedang tertidur lelap, seluruh warga berjibaku melempar batu kapur yang mereka kumpulkan sebelumnya ke dalam sumur. Iwa yang tidak mengendus rencana warga tersebut kehilangan kewaspadaan, bahkan tak sempat berkelit. Timbunan batu kapur pun makin meninggi dan mengubur tubuh Iwa hidup-hidup. Sementara sumur mulai mengeluarkan airnya, membanjiri desa hingga membentuk danau. Danau inilah yang kemudian dikenal sebagai Danau Batur. Sedangkan tumpukan kapur yang menjulang itu dinamakan Gunung Batur.


Seru kan ceritanya? Lumayan buat pengantar tidur bocah dengan segala pesan moral yang mengikutinya. 


Baca juga catatan perjalanan Bali yang lain:


Mengecap Keindahan Danau dan Gunung Batur


Kintamani —mengutip laman Pemerintah Kecamatan Kintamani— berasal dari kata Cintamani. Nama itu tercantum dalam Wrhaspati Tattwa, lontar tua berbahasa Sansekerta dan Jawa kuno terdiri. Dalam lontar itu terdapat 75 sloka atau pasal. Pada sloka 65  disebut tentang Asta Guna atau tempat yang dikehendaki. Namun referensi lain menyebutkan bahwa Kintamani atau Cintamani dalam Kitab Weda diartikan sebagai sesuatu yang dapat memberikan kebahagiaan lahir dan batin. Terlepas mana yang lebih tepat, Kintamani memang merupakan tempat yang dikehendaki banyak orang untuk berlibur, pun memberikan kebahagiaan lahir batin. Sepakat, kan?


Sepanjang kiri jalan —jika perjalanan dari arah Denpasar— berjajar kafe dan resto yang menawarkan pemandangan langsung ke arah Gunung Batur dan Danau Batur. Area Penelokan ini berada pada ketinggian sekitar 1.500 meter dpl. Sedangkan jajaran kabut berada kisaran 300-400 lebih rendah, sehingga membuat kita seolah berada di atas awan. Kami tak lama di area kafe dan pusat perbelanjaan Kintamani ini. Tujuan kami lebih merapat ke arah danau, ke Resto Apung Kintamani.



Resto Apung di Kedisan ini sejauh ini menjadi satu-satunya resto yang berhadapan langsung dengan Danau Batur. Lokasinya sangat strategis. Dilengkapi dengan 14 bungalow yang sebagian besarnya berbentuk rumah panggung. Menarik. Tapi, sorry to say, ini resto tampaknya butuh pembenahan. Terutama soal hospitality. Terasa “dingin” tanpa sambutan dari para pelayannya. Terasa sekali karena kontras dengan danau yang tenang namun menguarkan kehangatannya. Sayang sekali. Semoga kalau ada kesempatan lain untuk berkunjung, sudah ada perubahan penanganan. Padahal olahan ikan nilanya lumayan enak.




Nah, kalau mau menikmati pemandangan, kurasa resto ini menjadi tempat yang pas. Belum coba titik yang lain. Namun tak ada yang memiliki jarak dengan perairan ini sedekat Resto Apung. Kita bisa menyentuh air. Kita bisa ikut bergoyang bersama riak halus danau. Kita bisa bersantai di saung-saung, selonjoran sambil menikmati cahaya matahari yang melimpah.



Danau Batur merupakan danau terluas di Bali dan menjadi sumber air bagi sebagian besar lahan pertanian di wilayah utara Bali. Bentuknya unik, seperti bulan sabit. Terlihat cukup jelas saat kita masih di atas dan melihat danau dari kejauhan. Danau ini membelakangi Gunung Batur yang dikenal dengan kaldera kembarnya, kaldera berukuran 10 km x 13 km yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar di dunia.



Hari sudah cukup siang saat kami meninggalkan area Resto Apung. Matahari makin mengangkasa, kabut mulai menipis. Kami harus segera kembali ke kota. Ada yang belum kukunjungi, yang masih akan kujadikan catatan sebagai wilayah kunjungan jika ada kesempatan untuk kembali ke Bali. Pura Ulun Danu Batur dan Terunyan.


Pura Ulun Danu Batur merupakan tempat persembahyangan penting bagi umat Hindu Bali dan dianggap sebagai pemelihara harmoni serta stabilitas seluruh pulau. Pura ini mewakili arah utara pulau. Pura yang  didedikasikan untuk Dewa Wisnu dan Dewi Danu —dewi lokal Danau Batur— ini dibangun pertama kali abad ke-17. Ketika terjadi letusan Gunung Batur pada 1926, pura ini mengalami rusak parah. Yang berdiri sekarang adalah bangunan pura yang dibangun kemudian dengan lokasi yang berbeda, bergeser dari lokasi awal. Yang tersisa dari bangunan lama adalah meru atau menara persembahyangan dengan 11 tingkat.  Pura Ulun Danu Batur terdiri dari 9 pura, Pura Penataran Agung Batur, Pura Tamansari, Pura Jati Penataran, Pura Sampian Wangi, Pura Tirta Bungkah, Pura Tirta Mas Mampeh, Pura Taman Sari, Pura Padang Sila, Pura Gunarali, dan Pura Tuluk Biyu.


Pura Ulun Danu Batur (Foto: Wiki)


Satu lagi, Terunyan. Kawasan yang dikenal sebagai pemakaman yang membiarkan jenazah tergeletak di atas permukaan tanah. Terbuka. Tradisi ini dinamakan Bali Aga. Tradisi dari era Bali kuno yang masih dipertahankan hingga kini. Terunyan merupakan satu dari 48 desa di Kintamani yang untuk sampai di sana kita harus menyeberangi Danau Batur. Saat mengunjungi Kintamani bulan lalu, waktunya tak cukup leluasa, jadi menghilangkan bagian kunjungan ke Terunyan.


Tapi kenapa nggak ke pura, ya? Baru tersadarkan kalau dalam kunjungan terakhir ke Bali kemarin kok malah aku sama sekali tak mengunjungi pura. Padahal sebelumnya selalu berusaha menyempatkan kunjungan ke pura. Ah, semoga masih ada waktu.


Sampai ketemu lagi, Kintamani! Suksma.


Oiya, ini jeruk Kintamani. Sekilo 15 ribu.


Baca juga perjalanan ke Bali lainnya: