Featured Slider

Pesta Rakyat bersama JAF dalam Festival Rampak Genteng 2024

Harmonisasi musik seperti apa yang bisa kita dengarkan dari genteng yang dipukul oleh ratusan orang? Seru, asyik, membius. Itulah pengalamanku menghadiri Festival Rampak Genteng 2024. Entah sudah berapa kali aku mendapat ajakan untuk melihat langsung agenda tiga tahunan ini. Tak pernah terealisasi. Ada saja halangannya. Mang Mukti --orang yang rajin mengajakku itu-- akhirnya berpulang pada Agustus 2022. Kepergianku ke Jatiwangi, Majalengka, kali ini sekaligus menuntaskan harapannya untuk aku bisa melihat langsung komunitas yang pernah didampinginya itu.


Baca juga: Mukti-Mukti, Pemusik Balada Bandung Berpulang

Aku ingat, November 2021, Mang Mukti bersikukuh ingin pergi ke Jatiwangi. Ia mengajakku. Kurasa dia berusaha mengajak kawan-kawan yang lain. Kami semua tahu, kalau ia sudah punya mau, susah diredam. Aku sendiri tak mungkin memenuhi keinginannya. Saat itu kakinya bengkak akibat sakitnya. Makannya juga susah, harus diatur sedemikian rupa. Dalam kondisi itu dia ingin aku menemaninya menggunakan bus, berangkat dari Terminal Cicaheum. Selain keterbatasanku, seingatku saat itu aku masih bekerja reguler. Tidak bisa pergi begitu saja. Untungnya ada kawan-kawan lain yang akhirnya bisa menemaninya menggunakan kendaraan pribadi. Pileuleuyan, Mang. Kelak namanya disebut dalam doa pembukaan Festival Rampak Genteng 2024, sebagai sosok yang punya andil dalam perhelatan musik di Majalengka ini.


Berkenalan dengan Jatiwangi Art Factory

Sebelum bercerita soal pengalaman langsung menghadiri Festival Rampak Genteng, kita berkenalan dulu dengan Jatiwangi Art Factory (JAF). Nama ini juga sudah lama kudengar dari kawan-kawan di lingkungan Mukti-Mukti. Tapi ini baru pertemuan pertamaku.

Kami berangkat dari Bandung berlima: Safei (pemilik kendaraan sekaligus sopir, hehe), Matdon, Dhini, Ajeng, dan aku. Meninggalkan Bandung sekitar pukul 10.30. Perjalanan lancar, bahkan cepat. Lewat jalur tol, nyaris tanpa hambatan. Jam makan siang kami sudah menikmati Soto Lamongan di Jatiwangi. Setelahnya, kami singgah di base camp-nya JAF.

JAF ini merupakan sebuah komunitas yang berpusat di Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka. Kawasan ini telah dikenal sebagai penghasil genteng sejak awal abad 20. Adalah Arief Yudi yang kemudian terpikirkan untuk mengembangkan produk keramik tanah liat bukan semata menjadi genteng namun juga produk seni rupa yang unik. JAF berkiprah sebagai komunitas yang berfokus pada seni rupa sejak 2005 dengan dimotori oleh Arief Yudi dan Ginggi Syarief Hasyim. 


Dengan daya dukung lingkungan sekitar yang kuat, komunitas ini pun berkembang dengan baik. Berbagai program dirancang untuk mengasah kreativitas anggota komunitas dan warga yang tertarik bergabung serta meningkatkan nilai jual produk berbahan tanah liat itu. Program yang diagendakan pun beragam, dari yang bulanan, tahunan, dua tahunan, dan tiga tahunan. Nah, Festival Rampak Genteng itu program tiga tahunan mereka. 

Festival ini diselenggarakan dengan mengusung tema besar bagi Jatiwangi yakni Kerja Tanah. Hal ini tak lepas dari kecintaan masyarakat setempat terhadap alam. Dan tanah, bagi masyarakat Majalengka bukan sekadar tempat berpijak, namun juga memberikan nilai ekonomis. Penghormatan masyarakat Jatiwangi terhadap tanah inilah yang melatari diselenggarakannya festival yang dilangsungkan pada tiap tanggal 11 November, tiga tahun sekali, dengan nama Festifal Rampak Genteng atau Ceramic Music Festival. Persiapannya sendiri tak tanggung-tanggung, dilakukan sepanjang tahun dengan intensitas makin kental pada jelang hari pertunjukan. 

Dalam pelaksanaannya, Rampak Genteng melibatkan banyak komponen masyarakat, mulai dari guru dan siswa sekolah, aparat keamanan (polisi dan tentara), PNS, pengusaha dan karyawan, seniman --sudah pasti-- baik para perupa maupun pemusik, dan anggota masyarakat yang tertarik bergabung. Bukan hal mudah untuk mengumpulkan dan melatih ribuan orang untuk mengikuti aransemen yang dibuat, karena tak semua familier dengan urusan bermusik ini. Tapi barangkali itulah tantangannya, hingga menjadi kepuasan tersendiri saat mereka berhasil mempertunjukkan hasil latihan itu ke hadapan para penonton. 

Oiya, JAF sendiri memiliki band musik yang menggunakan alat musik secara khusus dari tanah liat. Mereka bahkan sudah berkelana ke berbagai negara. Lair adalah salah satu nama band mereka, yang pada 2022 lalu menggelar tur 1.000km++ meliputi wilayah Indonesia, dan beberapa negara luar di antaranya Kanada negara-negara di Eropa. Pada Maret lalu grup ini diundang manggung di Austin Amerika dan KEXP Amerika. Pada pertengahan tahun berlanjut ke Eropa kembali. Sungguh tahun yang sibuk. 

Baca juga: Sawung Jabo dan Sirkus Barock


Menyaksikan Bebunyian di Bawah Deras Hujan 

Satu hal yang tak kupersiapkan adalah piranti anti hujan. Rupanya "menonton rampak genteng di bawah hujan" itu menjadi semacam kekhasan ajang musik tiga tahunan ini. Kawan-kawan yang sudah langganan hadir tidak berbagi cerita. Untunglah ada banyak penjaja mantel hujan, yang biarpun tipis ya lumayanlah.

Saat hujan mulai mereda, para pemain yang satu per satu memasuki area Lapangan Jatiwangi Square. Lapangan ini merupakan eks Pabrik Gula Jatiwangi, Kabupaten Majalengka. Pemain yang merupakan siswa sekolah, datang bersama rombongan masing-masing sekolahnya. Mereka langsung menuju ke titik yang disediakan. Begitu pula rombongan dari instansi pemerintah, dari kelompok ibu-ibu seperti PKK, dan para peserta lain hingga seluruh bagian lapangan yang disediakan untuk para penabuh genteng itu terisi. Masing-masing peserta atau pemain membawa dua batang stik dan satu lembar genteng. 

Di tengah area yang terisi pemain, berdiri satu bangunan mungil berbentuk persegi yang dibuat khusus untuk keperluan festival. Ada aneka perangkat musik di dalamnya, sedangkan bagian atas bangunan menjadi tempat sang pembirama atau dirigen

Area bermain dikelilingi oleh panggung. Berhadapan dengan para peserta, merupakan panggung besar yang disediakan bagi tamu kehormatan. Tampak sejumlah pejabat menempati area ini. Panggung di area belakang ada dua bersebelahan, keduanya diisi peserta khusus, paduan suara, dan pemain musik. Pada sisi kiri dan kanan area bermain, terdapat tribun untuk penonton. 

Maka demikianlah, pertunjukan pun dimulai. 

Dari atas singgasananya, pembirama memberikan instruksinya. Secara serentak, para pemain mengikuti sesuai tugasnya masing-masing. Alunan bunyi dari genteng bertalu membentuk harmoni musik yang unik.

Satu momen membuatku tercekat. Saat lagu bertema tanah mengalun, di bawah gerimis yang mengguyur tanpa henti, aku membayangkan berada di tempat ini bertahun silam. Cerobong asap pengolahan tebu menguarkan aroma manis. Entah itu semata dalam bayanganku saja, belum pernah melihat pabrik gula dari dekat.


Baca juga: LCLR Plus, Pesona Musik 70-an


Pesta Rakyat   


Pesta rakyat pabrik gula

Pesta rakyat pabrik gula

Pesta rakyat pabrik gula

Pesta rakyat pabrik gula


Menyebar di semua arah

Musimnya tiba, semua berjejal

Gemerlap di Pesta Tebu

Panen raya bercinta


Pesta rakyat pabrik gula

Pesta rakyat pabrik gula

Pesta rakyat pabrik gula

Pesta rakyat pabrik gula


Menyebar di semua arah

Musimnya tiba, semua berjejal

Gemerlap di Pesta Tebu

Panen raya bercinta


Menyebar di semua arah

Musimnya tiba, semua berjejal

Gemerlap di Pesta Tеbu

Panen raya bercinta

See upcoming country shows

Get tickets for your favorite artists


You might also like

Tatalu

Lair Musik

Roda Gila

Lair Musik

Hard Fought Hallelujah

Brandon Lake


Menyеbar di semua arah

Musimnya tiba, semua berjejal

Gemerlap di Pesta Tebu

Panen raya bercinta


Pesta Rakyat ...


Menarik sekali membayangkan tiap bagian penghuni bumi ini memiliki perayaan ungkapan syukur terhadap tanah yang memberi tumpangan untuk lahir, tinggal, tumbuh dan berkembang, berkarya, hingga kematian menjemput. Digelar dalam festival atau perayaan secara berkala sebagai momentum penghormatan. Tentu saja bisa memberikan andil secara ekonomi terhadap pendapatan daerah. Aku jadi ingat kawan travel blogger Medan. Selain wisata alam, pastinya banyak perayaan serupa dalam tradisi di tanah Sumatra Utara. 

Secara keseluruhan acara berlangsung menyenangkan. Dua hal dan buatku menjadi kritik serius adalah:

1. Pejabat yang hadir dengan sangat lambat. Para peserta sudah hadir dan siap di memulai acara sejak pukul 2 siang. Dengan kondisi hujan ringan tanpa henti. Pejabat baru hadir pukul 4 lewat, sore. Dua jam lebih berbasah-basah. Tolonglah, pejabat, meski memang ada aturan yang menyebutkan bahwa pejabat diminta hadir beberapa lama setelah jadwal undangan, bukan berarti terlambat sejam lebih. Berhitung mundurlah dari waktu persiapan panitia pelenggara. 

2. Sampah! Ini hal yang masih menjadi masalah besar dalam event apa pun. Belum ada kesigapan panitia penyelenggara misalnya untuk membawa sendiri tumbler, sehingga botol dan gelas minuman kemasan tidak dibuang sembarangan. Selagi kesadaran berlingkungan yang bersih belum menjadi kesadaran para manusia yang hadir.

Tapi aku senang ketika akhirnya bisa menikmati pertunjukan musik dalam Festival Rampak Genteng Jatiwangi 2024 ini. Semoga menjadi pengingat bagi lebih banyak orang untuk memuliakan tanah dan tentu saja tradisi lokal. Hatur nuhun. Namaste.  

Baca juga: Grammy Award dan Lagu Siaran Radio

Mengapa Perselingkuhan Terjadi?

Ini pertanyaan klise, bukan? Tapi nyatanya ini pertanyaan yang terus mengemuka dari waktu ke waktu. Dalam beberapa hari ini aku dihadapkan pada cerita tentang dua kawan yang mengalami masalah dalam rumah tangganya. Yang seorang sudah mengakhiri pernikahannya, seorang lagi sedang dalam proses perceraian. Salah satu penyebabnya adalah perselingkuhan. Mengapa "salah satu"? Karena dalam banyak kasus, perselingkuhan bukanlah penyebab tunggal. Jadi, mengapa perselingkuhan bisa terjadi? 



Baca juga: Menemukan Makna Hidup dari Viktor E Frankl

Perihal perselingkuhan menjadi topik yang tak akan habis dibahas. Kasusnya banyak kita temukan di sekitar, bahkan di antara kita barangkali adalah "korban" atau sebaliknya, "pelaku". Tetap, aku perlu membubuhkan tanda petik karena alasan-alasannya bisa jadi masih perlu diperdebatkan. Saking mudahnya menemukan kasus perselingkuhan, ada diskusi yang menyebutkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan mengakui pernah menjalani hubungan selain dengan pasangan (sah) mereka. Besarannya mencapai lebih dari 31 persen untuk laki-laki dan 20 persen untuk perempuan; dalam rentang usia antara 40 hingga 50 tahun. Sesungguhnya, apa sebab terjadinya perselingkuhan? 


Kapan Sebuah Hubungan Disebut Terjadi Perselingkuhan?

Belakangan aku banyak bermain di media sosial X. Bahasan soal perselingkuhan ini kerap sekali muncul. Terutama dari komunitas tertentu. Sebagian besarnya berkisah tentang perselingkuhan yang terjadi dalam hubungan pacaran. Pertanyaannya, apakah saat dalam hubungan pacaran, ketidaksetiaan terhadap pasangan sudah bisa disebut perselingkuhan? Bukankah masa berpacaran adalah proses pencarian, dan wajar saja mereka berproses sekaligus dengan beberapa orang? Tak sedikit yang menyebutkan bahwa yang namanya selingkuh, ya, bisa terjadi dalam berbagai bentuk hubungan. Bukan soal telah disahkan oleh lembaga pernikahan dengan legitimasi dari negara atau tidak. 

Aku sendiri lebih cenderung sepakat dengan pemahaman bahwa istilah selingkuh bisa diterapkan dalam berbagai hubungan. Apalagi jika melihat kondisi akhir-akhir ini, ketika orang tak lagi mensakralkan perjanjian pernikahan oleh lembaga negara atau agama. Bukan dengan maksud hidup suka-suka, melainkan lebih percaya pada komitmen dengan pasangan. Tentu saja jika pasangan berada di sumpah pernikahan, konsekuensinya bakal lebih rumit. 

Sebelumnya, sebagai disclaimer, catatan ini semata pertimbanganku yang pernah akrab dengan lingkungan yang dipenuhi perselingkuhan, pernah menjadi korban, pernah pula mengiyakan begitu saja untuk berelasi dengan orang yang sudah berpasangan. 

Baca juga: Mengelola Pikiran Agar Terhindar dari Stres Berlebihan


Penyebab terjadinya perselingkuhan:

1. Perasaan diabaikan. Adalah hal yang manusiawi ketika seseorang merasa diabaikan, merasa tak lagi punya nilai di mata pasangannya, ia akan mencari perhatian dari orang lain. Ini dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. 

2. Keinginan membalas dendam. Hal ini terjadi jika sudah ada pemicu peristiwa sebelumnya. Apakah peristiwa itu terkait dengan perselingkuhan, atau hal lain. Penyebabnya soal lain, namun pembalasan yang dilakukan hanya bisa berupa perselingkuhan, maka itulah yang dipilih. Perasaan dikhianati dan disakiti itu memunculkan keinginan membalas dendam.

3. Kebutuhan seksual yang tak terpenuhi. Ada dua kemungkinan. Secara nyata memang pasangan menolak melakukan hubungan seksual, atau semata tidak puas. Dua hal yang sama-sama bisa didiskusikan untuk mencari jalan keluar. 

4. Hilangnya chemistry. Manusia berubah, perasaan berubah. Orang membutuhkan sensasi "letupan emosi" seperti kali pertama jatuh cinta. Lalu pencariannya bukan kembali ke dalam diri pasangan melainkan keluar. 

5. Komitmen yang rendah. Harus diakui tak semua hubungan berpasangan, bahkan menikah sekalipun dilandasi dengan komitmen yang serius. Bisa jadi hanya sebagai syarat. Maka, soal perselingkuhan pun bukanlah pasal kesalahan yang serius. 

6. Terjebak dalam kondisi tak biasa. Kondisi tak biasa itu misalnya berada dalam kesibukan yang memunculkan ketegangan sehingga membutuhkan pelepasan. Ini sering kali kaitannya dengan aktivitas seksual. Hasilnya bisa jadi sekadar peristiwa selewat, atau berlanjut menjadi sebuah peristiwa perselingkuhan yang melibatkan perasaan yang lebih dalam. 

7. Perasaan rendah diri. Hal semacam ini banyak kita jumpai kasusnya pada orang-orang dengan trauma. Mencari pelarian atas rasa tak percaya dirinya melalui hubungan (seksual) dengan banyak orang.

8. Keingin mencari variasi alias memang "penyakit". Orang yang ada di golongan ini adalah mereka yang memang ingin mendulang banyak pengalaman dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan materiil maupun keinginan seksual.

Baca juga: Kesehatan Mental dan Skala Hawkins


Yang Bisa dan Tidak Bisa Dihindari

Terlalu naif jika kita mengharapkan akan menjumpai pasangan kita sebagai orang yang sama persis dengan yang kita jumpai pertama kali. Dalam perjalanan waktu pastinya akan terjadi banyak perubahan. Intensitas pertemuan dan komunikasi di antara pasangan akan memberikan kontribusi bagi masing-masing untuk berubah. Maka, apa penyebab perselingkuhan bukan hal yang penting lagi. Yang lebih penting tentu saja adalah bagaimana menerima segala bentuk perubahan dari masing-masing pribadi yang berpasangan dan menjadikannya tetap selaras. Karena jika tidak, barangkali tak ada lagi yang bisa diselamatkan.

Jadi, apa yang masih bisa dihindari dari kemungkinan terjadinya perselingkuhan?

Buatku yang utama adalah persoalan komunikasi. 

Aku pernah berjumpa dengan kawan lelaki yang pada suatu masa menceritakan kehidupan pribadinya. Ia mengaku tak mendapatkan kepuasan dari hubungan seks dengan istrinya. Seperti ada yang kurang.

Kutanya,"Apakah istrimu merasakan kepuasan?"

Dan jawabannya membuatku takjub karena dia bahkan tidak tahu apakah istrinya mengalami kepuasan secara seksual atau tidak. Aku tidak tahu juga, tidak menanyakan lebih jauh, apakah memang ada anggapan dari budaya atau ajaran agama yang tidak membolehkan pasangan membahas hal semacam itu. 

Tapi kasus di atas bisa menjadi salah satu contoh betapa suatu hal dianggap sebagai masalah secara sepihak, tapi tidak upaya untuk membahasnya bersama pasangan. Begitu pun pada kasus-kasus lain, aku cukup meyakini bahwa komunikasi memegang peran yang sangat penting. Tentu saja kehendak untuk meluruskan asumsi atau menyelesaikan masalah harus datang dari kedua belah pihak. 

Baca juga: Body Process, Upaya Membebaskan Diri dari Depresi


Dari 8 poin di atas, apakah semuanya bisa diselesaikan melalui komunikasi yang baik. Kalau dalam pertimbanganku, "iya", KECUALI nomor 8. 

Aku pernah berhadapan dengan orang-orang yang memang betul-betul menjadikan seks sebagai petualangan. Mereka ini akan selalu mencari celah untuk berselingkuh. Tidak ada soal afeksi dalam hubungan tersebut. 

Jadi, sekali lagi, menurutku hanya poin 8 saja yang tak akan berhasil dengan upaya apa pun. Anggap "selesai" saja, tinggalkan, lupakan. 

Tujuh poin yang lain masih sangat mungkin dibicarakan. Jika memungkinkan, cukup selesaikan berdua saja. Sayangnya tak semua orang mahir dalam mengeluarkan apa yang ada di pikiran. Kalau itu yang terjadi, dapat melibatkan pihak ketiga. Apakah orang tersebut adalah kawan, keluarga, atau profesional. Mungkin kamu membutuhkan saran dari psikolog atau konsultan pernikahan. 

Perasaan manusia dapat berubah. Komitmen tidak. Selagi komitmen untuk menjalani hubungan sebagai pasangan masih datang dari kedua pihak, hubungan masih dapat dipertahankan. Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika segala upaya di atas tidak menemukan hasil? Barangkali memang sudah saatnya untuk berserah. Berserah, bukan menyerah, ya.

Dalam konteks ini, dalam pemahamanku, kondisinya sudah betul-betul di luar kendali kita. Apa pun yang kalian percayai. Apakah menganggap itu sebagai kehendak Ilahi. Atau sebagai takdir. Atau bagian dari karma. Hanya akan menemukan jalan buntu jika kita bersikukuh untuk menyelesaikan hal yang memang di luar kendali kita. Solusinya cuma satu: menyerahkan kepada Semesta, atau apa pun entitas yang kalian percayai sebagai sosok yang berkuasa atas hidup manusia. Tak akan mudah, tapi, cobalah. Tinggalkan yang sudah berlalu, rangkullah masa depan. Namaste.

Baca juga: Body Process, Upaya Membebaskan Diri dari Depresi

NB: Lalu, apa yang terjadi ketika banyak perempuan terjebak dalam perselingkuhan yang sebetulnya tidak diinginkan? Lain waktu mungkin aku akan menuliskannya.

Melihat Sesar Lembang dari Dekat, Memastikan Usia Bukan Halangan

Sebuah poster yang mengabarkan rencana perjalanan ke Gunung Putri melintas di salah satu platform media sosial. Sebelumnya aku sudah sempat melihat pengumuman dari penyelenggara yang sama, Geowana Ecotourism, perjalanan ke Gunung Padang. Tapi baru merasa ada greget, saat lihat poster terbaru. Langsung daftar, dan langsung ikut perjalanannya pada Sabtu, 14 September 2024. Perjalanan berkenalan dengan Sesar Lembang dari dekat. Sebuah perjalanan menantang diri untuk terus bergerak saat pertambahan usia tak bisa direm. Ya, pada umurku yang sudah setengah abad, aku ingin terus bisa melakoni hidup dengan segala dinamikanya tanpa berkesah.


Baca juga: Jelajah Taman Buru Masigit-Kareumbi

Geowana Ecotourism dimotori oleh Kang Gan Gan Jatnika. Meski sebagai pemandu wisata geologi, Kang Gan Gan melengkapi diri dengan aneka cerita yang menjadi legenda Tatar Bandung lengkap dengan mitos-mitosnya. Sepanjang perjalanan, mulai berangkat hingga pulang, diisi dengan cerita, baik informasi faktual maupun dongeng.


Apa itu Sesar Lembang?

Ini adalah kali pertama perjalananku bergabung dengan komunitas jalan-jalan, yang kebetulan bergabungnya dengan Geowana. Ada dua titik janji pertemuan. Yang pertama di sebuah mini market kawasan Lembang, yang kedua lokasi parkir Gunung Putri. Berhubung aku tidak familiar dengan kawasan ini, ke minimarketlah aku menuju. Rupanya semua peserta memang memilih untuk berangkat bersama dari titik ini.

Ada 10 orang, termasuk Kang Gan Gan. Awalnya rada was-was juga kalau pesertanya semuanya anak muda. Eh, ternyata tidak. Bahkan ada dua orang yang jauh lebih senior. Tenang, deh, hehe. Barangkali buat dua bapak ini, perjalanan seperti ini untuk mengisi masa pensiun. Ada pula ibu rumah tangga yang bergabung. Usianya di bawahku. Tapi bisa kupastikan kalau mereka juga ingin mendapatkan sesuatu yang berbeda dari alam. Atau itu cara mereka sekadar mengusir kebosanan, seperti kawan Mom blogger yang juga punya caranya sendiri.

Agenda sedikit mundur dari yang direncanakan. Dalam rundown, perjalanan naik diagendakan pukul 8 pagi. Ternyata pukul 8 kurang sedikit, peserta baru terkumpul lengkap di titik pertama. Maka begitu semua siap, tak menunggu waktu lama, langsung berangkat. 

Di jalur mendaki Gunung Putri ini mudah. Entah tahun berapa mulai dibangun. Tak lagi berupa tanah biasa melainkan dibuatkan tangga semen. Setelah anak tangga ke sekian, perjalanan berlanjut ke tanah biasa, hingga pada titik pemberhentian pertama. Kisaran 20 menit dari area parkir dengan kecepatan sedang. Area kami berhenti ini dimanfaatkan pengunjung untuk berkemah. Padahal jelas tertulis larangan untuk berkemah. Entah, siapa yang seharusnya menjaga aturan tersebut diikuti.

Di titik ini Kang Gan Gan membentangkan banner berisi penjelasan tentang sesar Lembang. Sesar Lembang menjadi latar belakangnya.

Baca juga: Sebuah Perjalanan ke Bali Dwipa

Secara morfologi, sesar Lembang membentuk perbukitan memanjang dari timur ke barat. Sisi timur dimulai dari puncak Gunung Palasari sebagai titik tertinggi, membentang hingga jelang Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, yakni di wilayah Ngamprah dan Cimahi. Bentangan sejauh 29 km ini terbagi dua, patahan segmen barat dan patahan segmen timur.  

Sesar Lembang terbentuk tidak secara bersamaan. Pada patahan segmen timur terbentuk sekitar 180.000-200.000 tahun. Terjadi bersamaan dengan peristiwa letusan Gunung Api Sunda Purba. Sedangkan pada segmen barat terbentuk lebih muda, kisaran 50.000-60.000 tahun yang lalu, kemungkinan bersamaan dengan letusan Tangkubanparahu. 

Ada sejumlah infrastruktur penting yang berada di jalur patahan Lembang ini, di antaranya Observatorium Bosscha, Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara (Seskoau), Sespim Polri, dan Pusdik Kowad. Pada sisi barat ada Sekolah Polisi Negara (SPN) dan sejumlah kawasan bisnis wisata. 

Isu soal gempa megathrust tak luput jadi pertanyaan peserta. Isu ini belakangan sedang ramai dibicarakan, terutama pasca terjadinya gempa dahsyat berkekuatan 7,1 Skala Richter (SR) yang terjadi di Pulau Kyushu, Jepang, pada 8 Agustus lalu. Di Indonesia, dua lokasi disebut-sebut sebagai zona yang berpotensi mengalami gempa ini, yakni Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut. Istilah dari BMKG: tinggal menunggu waktu.

Baca juga: Menjelajahi Taman Hutan Raya Juanda

Bagi masyarakat tanah Sunda, soal megatrust ini juga dikait-kaitkan dengan Sesar Lembang. Karena jika seluruh segmen bergerak berbarengan, tak terkecuali sesar Lembang yang tersentil, dapat mengakibatkan gempa bumi berkekuatan hingga tujuh magnitudo. Menurut perkiraan, jika suatu saat terjadi pergerakan pada sesar ini, diperkirakan hampir 10 juta penduduk bakal terancam. Penduduk yang ada di Lembang maupun di cekungan Bandung. 

Tapi menurut Kang Gan Gan, megatrust sebagai semata pengalihan isu politik. Bahwa memang betul kemungkinan megatrust itu ada. Hanya tidak diketahui kapannya. Upaya untuk mencegah dampaknya dan cara menghadapinya saja yang bisa dilakukan. Saat ini pun gempa-gempa kecil terus terjadi, sebagai pelepasan energinya. Justru jika tidak terjadi gempa-gempa kecil perlu harus khawatir. Karena tidak ada gempa yang terukur. 

"Saya mah selagi para para pakar geologi masih anteng-anteng tinggal di Bandung, santai saja. Kan mereka mengikuti terus perkembangannya. Kalau kondisi sudah bahaya, pasti yang mereka pikirkan pertama adalah keluarganya. Paling tidak akan sementara meninggalkan Bandung." Begitu alasan Kang Gan Gan. Hmm, iya juga, ya? Make sense.

Dari titik henti pertama, perjalanan dilanjutkan langsung menuju puncak. 

Gunung Putri Lembang memiliki ketinggian 1.587 mdpl. Persis pada puncak gunung ini berdiri tugu. Namanya Tugu SESPIM Polri. Sampai di titik ini dibutuhkan sekitar 30 menit perjalanan dari titik pertama.



Baca juga: Berkunjung ke Kota ATLAS


Mitos di Seputaran Sesar Lembang

Kawasan Lembang dan sekitarnya dipenuhi aneka mitos. Atau persisnya kawasan Cekungan Bandung. 

Tak lain mitos itu melekat dengan kisah legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Bukan hanya Tangkubanparahu, legenda ini berkembang biak ke dalam aneka cerita. Sebagian dibagikan ceritanya oleh Kang Gan Gan saat jeda ngopi, sekitar setengah jam turun dari puncak. Di antaranya tentang bunga jaksi. 

Sebelum kisah tentang si bunga, kita lanjutkan perjalanan dulu. Titik pemberhentian berikutnya adalah warung makan Bu Eti (semoga aku tak salah ingat). Butuh waktu cukup panjang untuk sampai titik buat makan siang ini. 

Sebelum sampai tempat makan, titik pemberhentian adalah benteng Belanda. Benteng ini diperkirakan dibangun pada awal 1900-an, untuk kebutuhan pertahanan Belanda pada masa itu. Tempat yang seru buat ambil gambar. Sayangnya ada banyak coretan, ulah orang-orang iseng. 

Puas ambil gambar dan sejenak jeda, perjalanan pun berlanjut ke tempat yang sangat ditunggu. Karena waktunya makan! Pilihan menu di warung Bu Eti sederhana, tapi luar biasa nikmat. Aku bukan pemakai kata luar biasa. Tapi kok rasanya ini jadi kata yang pas setelah melakukan perjalanan yang cukup bikin lelah. Apalagi makannya di bawah saung, di tengah hutan pinus.

Baca juga: Menjajal Trans Metro Pasundan

Jadi, bagaimana kisah si bunga legenda tadi?

Alkisah, Nyai Dayang Sumbi yang setengah putus asa karena ingin dinikahi putranya sendiri, lari ke arah sebuah gunung. Di belakangnya, Sangkuriang mengejarnya dalam langkah yang lebih lebar. Jarak semakin dekat. Dalam kekalutannya, Dayang Sumbi memohon kepada Sang Penguasa Semesta untuk menyelamatkannya dari nafsu Sangkuriang. Petunjuk pun datang. Dayang Sumbi dituntun menuju rimbunnya hutan. Dan berubahlah ia menjadi satu tanaman yang kemudian dikenal sebagai bunga jaksi.

Meski mengerahkan segala kesaktiannya, Sangkuriang tak berhasil menemukan Sang Putri. Ketajaman nalurinya menunjukkan kalau Dayang Sumbi menuju gunung tersebut, namun bahkan ia tak menjumpai jejaknya. Ia pun berlari menuju ke arah timur. Gunung yang menaungi Sang Putri pun kemudian dinamai Gunung Putri. 

Selain Gunung Putri, cerita legenda Sangkuriang-Dayang Sumbi juga dikaitkan dengan kawasan dan gunung lain di Cekungan Bandung. 

Sementara terkait bunga jaksi sendiri, konon yang ada di Gunung Putri ini menjadi satu-satunya. Belum ditemukan di daerah lain. 

Sekilas bentuknya mirip pandan hutan atau pandan pantai. Ada yang menyebutkan mirip dengan pohon cangkuang. Tapi jika diperhatikan lebih detail, ada perbedaan pada bentuk dan panjang daun, serta batangnya. 


Baca juga perjalanan ke Baduy:


Pohon jaksi ini ada di jalur setelah meninggalkan warung makan Bu Eti. Setelah meninggalkan warung Bu Eti, kami agak kesulitan menemukan si pohon legenda. Kang Gan Gan bilang kemungkinan terlewat. Yang penasaran boleh ikut kembali ke arah sebelumnya. Yang tidak ingin, diminta tunggu. Tentu saja aku termasuk yang penasaran. Akhirnya bisa berfoto dengan Sang Putri besama beberapa anggota rombongan. Pohonnya sedang kusut, kurus dan mengering. Semoga bisa tumbuh segar lagi.


Meninggalkan warung, dengan perut terisi, energi kembali penuh untuk melanjutkan perjalanan. Tapi kali ini untuk pulang. Yup, bunga jakti menjadi titik akhir perjalanan. Kami tiba di area parkir pada pukul 14 lewat sedikit. Tak terlalu jauh dari yang diperkirakan. 

Perjalanan yang seru dan menarik. Buat yang ingin bergabung dengan Geowana, bisa cek akun IG-nya: geowana_ecotourism, untuk berkenalan dengan Sesar Lembang maupun perjalanan lainnya. Atau sekadar untuk menikmati alam. Buatku ini perjalanan pertama setelah aku menantang diri untuk terus menjaga tubuh tetap bugar mesti sudah memasuki usia emas. 

Yuk, kita jalan-jalan berjumpa dengan alam. Semoga terus terjaga kesehatan. Namaste.


Baca juga: Berkenalan dengan Roastery Tertua di Indonesia

Aroma Karsa, Karya Wangi Dee Lestari yang Menegangkan

Awal membaca buku ini, yang terpikir olehku adalah Raras sebagai tokoh utama. Entah, aku suka nama Raras. Dan pada suatu saat berharap menyematkan nama itu sebagai salah satu nama tokohku. Tapi ternyata bukan. Peristiwanya maju bertahun kemudian. Yang tampil adalah anak Raras, Suma, yang memiliki ketajaman penciuman yang tak biasa. Kemampuan yang menjadi muasal segala obsesi Raras. Bersama Jati, sosok yang dikenal dengan julukan si hidung tikus, Suma bertualang mencari jawaban atas satu kisah yang didengarnya sedari kecil, yaitu Puspa Karsa. Aroma Karsa, menjadi buku ketiga Dee Lestari yang kubaca. Baru sadar, ternyata kok nggak banyak, ya? Padahal Dee sudah menelurkan belasan karya. 


Baca juga: Perjalanan Menuliskan Fragmen 9 Perempuan

Aroma Karsa kudapatkan dari seorang kawan medsos. Sebagai kado ulang tahun kesetengah abad. Senang sekali, karena sudah lama mengangankan bisa baca buku ini. Maka demikianlah, akhirnya terbaca. Awalnya merasa lambat alurnya. Entah karena hari itu terlalu lelah. Hanya sanggup membaca 20 halaman. Sisanya ternyata tak tertahankan, ngebut. Tuntas dalam dua hari kemudian. 


Sinopsis

Cerita diawali dengan pertemuan Raras Prayagung dengan eyangnya, Eyang Janirah, yang sedang berada di ujung usia. Raras punya hubungan dekat dengan neneknya, mantan abdi dalam keraton yang berhasil menjadi bagian keluarga dan sukses sebagai pengusaha karena kecerdasan dan kegigihannya. Dalam pertumbuhannya sejak kecil hingga remaja di lingkungan istana keraton, ia menemukan rahasia tentang Puspa Karsa. Sebuah rahasia yang menjadi awal kesuksesannya. Rahasia yang masih menyimpan rahasianya yang lain. Itulah salah satu cerita yang kerap dituturkan oleh Eyang Janirah kepada Raras. Cerita paling menarik dan menyita perhatiannya dibandingkan cerita lain yang dibagikan sang eyang.

Akhirnya harinya tiba. Eyang Janirah berpulang. Raras segera mengambil alih semuanya. Tanggung jawab dan rencana dari mimpi-mimpi Eyang Janirah yang belum terwujud.

Baca juga: Mengenal Vincent van Gogh melalui Novel Lust for Life

Upaya perburuan Raras menemukan titik terang saat muncul satu sosok pencuri. Adalah Jati Wesi yang salah satu pekerjaannya meracik parfum di sebuah toko parfum kecil, Attarwalla. Rupanya ia meracik aroma yang adalah milik perusahaan Raras. Sebuah kesialan. Dari sekian ujicoba Jati, kenapa justru racikan itu yang terlacak.

Mendapati potensi Jati, Raras meminta pemuda itu bekerja padanya. Bukan pekerjaan biasa, bahkan ia meminta Jati untuk tinggal di rumahnya. Usut punya usut, Raras punya rencana terhadap Jati berkaitan dengan perburuan Puspa Karsa. Konflik pun muncul. Tanaya Suma, anak semata wayang Raras tak bisa terima. Selama ini Suma berpikir bahwa dialah yang punya hak melakukan perburuan terhadap bunga yang menjadi legenda sekaligus mitos tersebut. 

Menyadari adanya konflik dan sikap permusuhan dari Suma, Raras bukannya surut, malah semakin mengistimewakan Jati. Di sisi lain, kemarahan Suma terhadap Jati yang makin meruncing melahirkan keingintahuan besar pada diri gadis itu yang kemudian dengan diam-diam menacri tahu latar belakang kehidupan Jati. 

Dalam perjalanannya, banyak hal tak terduga terjadi. Satu per satu misteri dan rahasia terbongkar. Sekian peristiwa yang dialami Jati beserta kebetulan-kebetulan yang mengikutinya, menjadikan Jati lambat laun menyadari bahwa dirinya bukanlah sosok ia kira selama ini. Tidk ada yang kebetulan. Semuanya sudah dirancang, meski faktanya belum benderang. Hingga waktu melakukan ekspedisi Puspa Karsa tiba. Ekspedisi yang awalnya terasa mustahil akhirnya dapat terlaksana namun dengan sejumlah perubahan yang signifikan. Termasuk Suma yang akhirnya menemukan rahasia gelap Raras, ibu angkatnya itu. 

Lebih lengkapnya, baca sendiri saja, ya. Tidak seru kalau dicertakan lebih detail. Yang pasti, novel ini berujung koma. 

Baca juga: Book Sleeve, Pembaca Buku Wajib Punya


Aroma Karsa, Bukti Dee Lestari sebagai Periset yang Handal

Bisa dibilang aku bukan pembaca Dee, meski saat baca pertama karyanya aku mendaku diri punya kecenderungan menulis gaya dia. Tapi tak pernah mempelajari gaya penulisannya dengan serius. Itu pun sudah lupa detailnya karena sudah terlalu lama. tahun 2001 atau 2002, ya?

Membaca lagi karya Dee, buku yang diterbitkannya pada 2018 ini hal yang dengan jernih terbaca adalah kerja keras Dee dalam risetnya. Kubayangkan ia mengubek-ubek sejumlah hal sekaligus. Mulai dari metode pembuatan parfum hingga metode mencari jejak sejarah. Aku belum pernah baca tuturan Dee soal proses penulisan buku ini. Tapi aku yakin, cerita Bantar Gebang bukan semata ia peroleh dari referensi. Ia pasti pernah datang langsung ke lokasi dan mendapatkan suasana yang akan ia bangun dalam novel. Membayangkan tumpukan sampah menggunung di TPA yang pernah menewaskan banyak manusia itu sudah membuatku mual, apalagi mesti berada di lokasi. Kurasa itulah yang menjadikan tulisan di soal latar belakang Jati Wesi di Bantang Gebang terasa begitu nyata. 

Riset Dee soal Gunung Lawu juga menarik. Ada hal-hal mistis yang juga dikembangkan Dee dalam ceritanya. Aku pernah menyimak cerita soal manusia immortal yang tinggal di Gunung Lawu. Bukan hal yang mudah untuk dibuktikan. Tapi ketika itu dituangkan dalam cerita fiksi, jadilah bebas dan sangat menggoda buatku. 

Baca juga: Perempuan-Perempuan dalam Karya PAT

Penjabaran Dee untuk tiap tokohnya juga sangat matang. Masing-masing tokoh utama tertampilkan dengan baik. Penuturannya untuk masing-masing karakter membuatku terseret dan berasa langsung berhadapan dengan tokoh-tokoh lengap dengan keunikannya masing-masing.

Menuliskan ulang sedikit hal yang kutangkap saat membaca Aroma Karsa, menyadarkanku kalau Dee menulis dengan sangat keren. Dan hasilnya adalah buku yang keren. Kubayangkan jika novel Indonesia karya Dee ini dijadikan film, bakal keren. Tentu saja jika digarap oleh penulis skenario yang tepat, sutradara yang mumpuni, dan komponen pendukunga yang lainnya. Langsung terbayangkan bagaimana suasana mencekam di dalam hutan terlarang yang hanya diketahui oleh mereka yang diinginkan untuk datang.   

Aroma Karsa akan jadi buku referensiku kalau suatu kali menulis kisah petualangan. Kapan? Nantiiiiiii... tunggu, ya hehe. Terima kasih banyak untuk Eka Situmorang yang telah menghadiahkan buku yang dilengkapi dengan tanda tangan Dee ini buatku. Aku masih akan membacanya beberapa kali lagi.


Judul: Aroma Karsa

Penulis: Dee Lestari

Penerbit: PT Bentang Pustaka

Terbit: Maret 2018 (cetakan pertama) 

Tebal: 696 halaman


Baca juga: FSP di Kajian Jumaahan dan Majelis Sastra Bandung




Body Process, Sebuah Upaya Membebaskan Diri dari Depresi

Baru-baru ini aku belajar Body Process (BP). Apa itu body process? Nanti kita bahas, ya. Mungkin secara khusus BP tak cukup banyak. Namun ada referensi lain yang bisa dibagikan terkait Access Conciousness sebagai pencetus metode ini. Yang pasti ini merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dengan membebaskan diri dari persoalan kesehatan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, stres, gangguan makan/tidur, Obsessive-Compulsive Disorder (OCD), gangguan emosional akibat trauma, dll. Syukur-syukur jika nantinya bisa memberikan kontribusi bagi orang lain.

Baca juga: Stoikisme dan Upaya Melakoni Hidup Lebih Baik

Kapan hari secara random sedikit ngobrol dengan kenalan di satu media sosial. Membahas soal depresi. Pertanyaanku: dalam kondisi apa seseorang bisa menyebut diri sebagai depression survivor? jawab si kawan: semua yang berhasil bertahan hidup dari depresi boleh menyebut diri survivor, kok. Aku tak ingin memperpanjang dengan mencari tahu soal istilah ini. Hanya mencoba menggarisbawahi --setidaknya dari pengalaman orang yang kutanya baik pengalaman dirinya sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya, bahwa setiap orang pernah mengalami depresi. Kadarnya saja yang mungkin berbeda. Pun cara penanganannya. 


Mari Kenali Kondisi Kejiwaan Diri

Minggu lalu aku mendapat kunjungan keponakan. Generasi Z. Konon ia sedang mengalami stres yang berdampak pada pengerjaan skripsi yang tak tuntas-tuntas. Atau skripsinya yang membuat ia stres. Itu informasi awalnya. Tak ingin membahas si keponakan secara khusus. Sekadar memberikan gambaran bahwa gangguan kesehatan mental begitu mudah kita temukan di sekitar kita. Bahkan kita sendiri bisa jadi belum terbebas dari permasalahan tersebut. 

Mengacu pada istilah yang dikeluarkan World Health Organization (WHO), kesehatan mental diartikan sebagai kondisi kesejahteraan mental yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi tekanan dalam hidup, mengekspresikan kemampuannya, belajar dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, mereka yang mengalami gangguan mental berpengaruh terhadap kondisi emosi, pikiran, dan perilaku mereka. 

Masalah mental bukanlah hal yang remeh-temeh dan bisa dipandang sebelah mata. Terlebih jika gangguan yang lebih serius terjadi secara terus menerus. Selain membuat penderitanya merasa tidak bahagia juga mengakibatkan produktivitas terganggu. Perlu segera dicari solusi agar bisa lebih berdamai dengan diri sendiri dan keadaan, sehingga dimampukan untuk melakoni kehidupan dengan lebih sehat. 

Buatku, solusi pertama adalah menyadari dan mengakui jika diri punya masalah dengan mental. Setelahnya, barulah menemukan solusi berikutnya.

Baca juga: Doa, Meditasi, dan Vibrasi Energi

Ada banyak metode yang disarankan untuk mengatasi aneka gangguan mental, mulai dari hal-hal sederhana yang bisa dilakukan sendiri maupun dengan bantuan profesional.  

Pertama: jaga kesehatan fisik. Kita mencatat pemeo lama yang menyebutkan bahwa dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. 

Kesehatan fisik dapat dimulai dari apa yang masuk ke tubuh kita. Pilih makanan dengan gizi seimbang. Hindari konsumsi makanan dan minuman olahan, yang sebagian besarnya sangat royal dengan gula dan natrium yang tak bermanfaat bagi kesehatan jika dikonsumsi secara berlebihan. Konsumsi alkohon juga sebaiknya dikurangi atau dihindari. Jadwal makan juga disarankan untuk diperhatikan, agar tak mengalami masalah dengan lambung. Stres dan gangguan lambung sering kali berjalan beriringan. Bagi para perokok, perlu dipertimbangkan juga untuk menghentikan kegemarannya tersebut.

Fisik yang terjaga juga dipupuk lewat latihan. Olahraga. Aktivitas fisik ini dapat menghasilkan endorfin, senyawa kimia dalam otak yang punya peran memunculkan rasa gembira, meningkatkan mood, mengurangi stres. Jika dilakukan secara teraktur dapat meningkatkan kualitas tidur. Bagaimanapun tidur yang nyenyak memberikan pengaruh signifikan terhadap keseimbangan kimia di otak, sehingga membantu menjaga kesehatan mental. Olahraga apa yang tepat, bisa didiskusikan dengan dokternya jika sudah memiliki gangguan kesehatan. Atau bisa dibicarakan dengan pelatihnya. 

Aku sendiri memulainya dengan berjalan kaki, minimal 5000 langkah sehari. Dan itu sudah sangat membantu. 

Kedua: melakukan meditasi dan mngembangkan keterampilan koping

Meditasi merupakan salah satu yang banyak disarankan sebagai solusi mengatasi persoalan gangguan mental seperti stres, cemas, depresi, dan gangguan lainnya. Saat bermeditasi, kita diminta untuk berfokus pada pernapasan. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri, untuk menikmati masa "kini" dan tidak membiarkan pikiran berkelana. Apalagi pikiran-pikiran yang mengganggu dan menjadi pencetus masalah mental. 

Sedangkan keterampilan koping adalah kemampuan dalam membuat strategi dalam mengelola emosi, mengubah pola pikir, memanfaatkan atau mengatur waktu dengan tepat, dll. Ketreampilan ini dibutuhkan dalam menghadapi tantangan dan tekanan hidup yang berpotensi memberikan dampak terhadap kesehatan mental.

Belakangan ada metode baru yang mulai banyak dipakai, yakni Metode Sedona atau Sedona Methode. Selain membantu mengatasi aneka gangguan mental, metode ini juga mengarahkan kita untuk mendapatkan apa yang menjadi manifestasi kita dengan law of attraction. Salah satu hal yang --menurutku-- cukup signifikan memunculkan masalah gangguan mental ini adalah ketidaksesuaian antara ekspektasi dan kenyataan. Cukup penting untuk tak sekadar berekspekstasi namun juga melakukan praktik manifestasi. 

Ketiga: menyerahkannya kepada profesional. Dalam hal ini bisa berkonsultasi kepada psikolog atau psikiater jika membutuhkan pengobatan. Atau terapi alternatif yang lainnya, seperti hipnoterapi. Aku sendiri pernah melakukan ketiga-tiganya. 

Terapi psikologis penting dilakukan jika kita tak mampu menemukan masalah kita sendiri. Mereka yang profesional di bidang ini memiliki metodologi dalam menggali informasi yang mereka butuhkan. Dengan cara itu mereka akan melakukan identifikasi persoalan dan menentukan strategi dalam menghadapi atau mengatasinya. 

Baca juga: Hidup Sehat dengan Reiki


Mengenal Body Process (BP)

Persisnya adalah Access Body Process karena metode ini dikembangkan oleh Access Consciousness. Tetapi untuk memudahkan kita singkat BP saja. Access Consciousness sendiri adalah gerakan New Age pseudoscientific yang didirikan oleh Gary Douglas pada 1995 di Santa Barbara, California. 

BP merupakan teknik penyembuhan dengan pendekatan yang unik. Titik berangkatnya adalah tubuh. Tujuannya adalah mengaktifkan kemampuan alami tubuh dalam memulihkan diri sendiri. Karena tubuh kita menyimpan banyak potensi. Selain mampu menyembuhkan dirinya sendiri, tubuh pun dapat kita ajak kerja sama dengan menyampaikan permintaan. Tekniknya adalah dengan menggunakan sentuhan ringan pada tubuh dengan permintaan melepaskan energi yang terjebak. Bukan hanya pada aspek fisik, melainkan juga aspek emosional dan mental. Dengan BP, kita tak hanya merawat dan memelihara tubuh kita, namun juga memberikan ruang kepada tubuh untuk hidup lebih berdaya dan bebas dari batasan. 

Sebelum BP, ada metode lain dari Access Consciousness yang lebih dulu dikenal, yakni Access Bars (AB). Ini merupakan salah satu metode yang belakangan banyak dimanfaatkan dalam menangani depresi. Metode terapinya dengan memberikan sentuhan di 32 titik di kepala. Melalui sentuhan itu, tubuh akan melepaskan pikiran, perasaan, dan emosi yang mengganggu. Dengan begitu, terlepaslah trauma, redalah stres, pergilah depresi. Tentu saja tak mudah, terlebih untuk persoalan yang sudah berkarat. Barangkali dibutuhkan proses yang lama dan berulang.  

Prinsip yang mendasari teknik, baik pada BP maupun AB sama, yakni meng-unlock segala yang selama ini tersembunyi, terpendam, tertutupi, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak, bahkan hal-hal yang bisa jadi sebetulnya tak dimaui oleh tubuh. Misalnya nilai-nilai tertentu yang ditanamkan oleh keluarga dan lingkungan yang sebetulnya tak sejalan dengan pemikiran kita sendiri. 

Baca juga: Apakah Kita Boleh Marah?

Baik praktisi AB maupun BP tidak menyalurkan energi kepada klien. Klien juga tidak perlu menceritakan apa yang menjadi persoalannya. Tubuh klien yang akan memulihkan dirinya sendiri. Para praktisi hanya menjalankan fungsi sebagai mediator, sama sekali tidak ada upaya mempengaruhi klien. Urusan klien sendiri jika tubuhnya memutuskan untuk tidak melepaskan beban dalam dirinya. Praktisi memberikan ruang bagi tubuh untuk membuat pilihan.

Dalam tata laksana terapi dengan metode AB, klien akan diminta untuk berbaring secara rileks. Berikutnya praktisi akan melakukan sentuhan di 32 titik di kepala. Sedangkan pada BP, praktisi hanya meletakkan dua telapak tangan di dua lokasi. Ini untuk BP yang pernah kupelajari. Ada banyak titik lain dengan peruntukannya masing-masing. Durasi terapi bervariasi, kisaran 30-60 menit. Namun bisa jadi lebih cepat jika tubuh memberi isyarat untuk berhenti, dan sebaliknya isyarat untuk lanjut. 

Bagaimana efeknya?

Aku pernah menjadi klien AB. Tak lama mendapatkan sentuhan di beberapa titik di kepala, disergap rasa tenang lalu berubah menjadi kantuk. Aku tertidur dalam waktu sekitar setengah jam dan bangun dalam kondisi lebih segar. Sedangkan BP, aku pernah berperan sebagai klien, pernah pula sebagai praktisi. Sebagai klien, rasanya lebih kurang sama dengan efek AB. Sedangkan sebagai praktisi, aku merasakan sensasi yang berbeda. Ada rasa membahagiakan. Barangkali karena sebelumnya dibekali kekhawatiran di benakku dipenuhi pikiran. Ternyata tidak. Bisa menjalankan fungsi praktisi dengan baik. 

Seru, tapi masih buanyak sekali yang masih perlu dipelajari. Ada yang tertarik? Boleh kontak saiah kalau berminat, ya, di sini. Baik untuk belajar maupun sebagai klien.

Ini berbagi pengalaman dari sebagai pembelajaranku untuk hidup lebih sehat, dan terbebas dari depresi. Semoga bermanfaat. Namaste.

Baca juga: Memilih Batu Kristal yang Selaras dengan Energi Kita